Jakarta - Hipertensi ternyata dapat mengancam nyawa seseorang karena mampu merusak organ tubuh, seperti jantung, otak, mata, ginjal, serta pembuluh darah perifer. Hal itu bisa terjadi lantaran tidak ditangani dengan cepat dan tepat.
Menurut ketua umum (Ketum) InaSH dan Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (PERHI) dr. Tunggul D, Situmorang, hipertensi sudah menjadi masalah kesehatan global yang bisa mengakibatkan kematian dan sering kali terabaikan oleh masyarakat.
"Hipertensi tidak bergejala (silent killer) dan merusak organ-organ penting, antara lain otak, jantung, ginjal, pembuluh darah besar sampai ke pembuluh darah kecil," kata dr. Tunggul D, Situmorang dalam konferensi pers "Cegah Kerusakan Organ Akibat Hipertensi! 14th Scientific Meeting Indonesian Society of Hypertension (InaSH) 2020 di Kantor Sekretariat InaSH, Kamis, 20 Februari 2020.
Dia mengatakan kerusakan organ tersebut dapat berdampak pada kecacatan. Bahkan, penyembuhan penyakit itu memerlukan biaya yang tinggi hingga mengakibatkan menurunnya kualitas hidup penderitanya.
Mengatasi persoalan hipertensi tersebut, Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (PERHI) telah meluncurkan Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi. Dalam program ini menekankan diagnosis hipertensi yang sangat ditentukan oleh Man, Material, Method (3M) yaitu dokter dan pasien, alat pengukur, serta termasuk persiapannya.
Hipertensi tidak bergejala (silent killer) dan merusak organ-organ penting.
Dia mengatakan adanya program tersebut menjadi salah satu cara efektif untuk mengatasi hipertensi. Sehingga, bisa menjadi pemacu ketika menangani penyakit tersebut.
"Pemeriksaan Tekanan Darah di Rumah (PTDR) berperan cukup penting untuk deteksi, diagnosis, dan evaluasi terapi yang efektif serta bermanfaat memberikan gambaran variabilitas tekanan darah," ucap dia.
Data penelitian PERHI tahun 2017 menunjukkan ada 63 persen pasien yang sedang diobati hipertensi tidak terkontrol. Hal ini menunjukkan sebagian besar pasien yang menderita penyakit tersebut tidak terobati secara optimal.
dr. Tunggul mengharapkan dengan adanya buku PTDR yang diterbitkan InaSH, penderita hipertensi bisa lebih mengetahui tentang penanganan penyakit ini.
"Dalam buku PDTR dijelaskan lebih rinci tentang PTDR untuk diagnosis hipertensi, cara menggunakan PTDR untuk pasien, frekuensi pemantauan dan target pengendalian tekanan darah," ujarnya.
Namun sayangnya, kata dia, hingga sekarang kepedulian terhadap hipertensi dan kesadaran akan pencegahan sekaligus pengobatannya di Indonesia masih rendah.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) tahun 2018 tercatat sebanyak 63 juta orang atau sebesar 34,1 persen penduduk di Indonesia menderita hipertensi. Dari angka populasi hipertensi tersebut, hanya sebesar 8,8 persen terdiagnosis hipertensi dan 54,4 persen yang rutin minum obat. []
Baca juga:
- Gejala dan Penanganan Pertama Hipertensi Usia Muda
- Milenial Tidak Sabar Bakal Terserang Penyakit Hipertensi