Mereka Terpasung di Balik Tembok Suram Brebes

Sebuah bangunan di tepi jalan Desa Kebogadung, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, itu tampak sepi dari luar.
Seorang pengendara motor melintas di depan bangunan panti rehabilitasi Yayasan Bina Lestari Mandiri Brebes di Desa Kebogadung, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes, Senin, 7 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Farid Firdaus)

Brebes - Sebuah bangunan di tepi jalan Desa Kebogadung, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, itu tampak sepi dari luar. Pagar setinggi sekitar tiga meter kokoh mengelilingi sehingga tak terlihat aktivitas di dalam bangunan.

Di pagar bercat biru muda berpadu hitam itu terpasang papan bertuliskan Yayasan Bina Lestari Mandiri Brebes. Seperti tertulis di papan, yayasan ini menjadi tempat untuk merehabilitasi orang-orang yang menderita gangguan jiwa.

‎Saat Tagar masuk ke dalam bangunan, Senin, 7 Oktober 2019, pandangan langsung tertumbuk pada jejeran ruangan berukuran 3x2 meter dan 4x6 meter. Kondisi ruangan-ruangan itu pengap. Bau tak sedap sesekali menusuk-nusuk hidung.

Di dalam ruangan tanpa pintu itu hanya ada dipan terbuat kayu. Di ruangan inilah, orang-orang dengan gangguan jiwa menghabiskan hari-harinya sejak diserahkan keluarganya ke yayasan untuk disembuhkan.

Siang itu, sebagian pasien berada di ruangan yang menjadi kamar mereka masing-masing. Sebagian lain berada di luar ruangan. Kaki mereka dirantai. Ada yang berbicara sendiri. Ada yang hanya duduk diam.

Salah satu yang sedang berada di ruangan ‎adalah Siti Komariah, 35 tahun. Perawakannya kurus dengan rambut ikal pendek. Kaki kanannya terikat rantai yang dikaitkan ke dipan.

Saat Tagar menghampiri ruangannya, Siti tengah duduk di atas dipan sembari menatap ke luar ruangan. Ia berbicara dengan suara keras. 

Wartawan ya?” katanya begitu melihat kamera diarahkan kepadanya.

“Rumahnya di mana?” tanya Tagar.

"Rumah saya di Pulosari (Desa Pulosari, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes)”.

Ia lalu menceritakan sandal baru berwarna oranye yang dibelikan oleh seorang saudara yang datang menjenguk. 

"‎Belinya di Bandung," katanya penuh semangat.

Siti sudah setahun lebih menjadi pasien di panti rehabilitasi Yayasan Bina Lestari Mandiri. Seperti pasien lain, ia tidur, makan, minum, buang air di ruangan yang ditempati. Mereka hanya keluar dari ruangan saat dimandikan perawat yang ditugaskan yayasan‎.

Tak jarang pasien dibawa ke sini dalam keadaan kaki dan tangan diikat pakai rantai.

ODGJSeorang pasien ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) dengan kaki dirantai di panti rehabilitasi Yayasan Bina Lestari Mandiri Brebes, berada di ruangan yang menjadi kamarnya, Senin, 7 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Farid Firdaus)

Abdul Hadi, petugas perawat yang setiap hari mengurus para pasien, mengungkapkan, ‎pasien biasanya memanggil dirinya saat hendak buang air kecil atau besar. 

"Nanti diambilkan ember untuk buang air dan dibersihkan," ujar Hadi.

‎Sebagai petugas perawat yang setiap hari mengontrol ruangan-ruangan tempat pasien dirawat, memberi makan dan memandikan mereka, keberadaan Hadi sudah tak asing bagi mayoritas pasien.

Pria berkumis ini sudah empat bulan menjadi petugas perawat di panti rehabilitasi yayasan‎ di sela menjadi guru kelas 6 di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Asy-Syafi'iyyah Jatibarang. Selain Hadi, ada tiga petugas perawat lain yang setiap hari bergantian merawat para pasien.

"Biasanya kalau saya datang, mereka (pasien) manggil pak guru, pak guru," kata Hadi.

Tidak ada keluarganya, terus dibawa ke sini.

ODGJRantai yang membelit kaki pasien ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) di panti rehabilitasi Yayasan Bina Lestari Mandiri Brebes. (Foto: Tagar/Farid Firdaus)

‎Pengurus Yayasan Bina Lestari Mandiri, Soleh Musyadad, mengatakan ada 25 orang penderita gangguan jiwa yang saat ini dirawat di panti rehabilitasi. Terdiri dari 20 pasien laki-laki dan lima pasien perempuan. Usia mereka berkisar ‎25 hingga 50 tahun.

Soleh mengakui‎ seluruh pasien tersebut dipasung menggunakan rantai. Langkah itu disebutnya bukan untuk menyiksa pasien. Tetapi untuk mencegah mereka mengamuk dan melukai orang maupun satu sama lain.

"Terutama yang baru datang. Kalau kondisinya sehat fisiknya, tetap dikolong. Pakai rantai, tak jarang pasien dibawa ke sini dalam keadaan sudah diikat tangan dan kaki oleh pihak keluarga. Jika dibiarkan bebas, apalagi di tempat baru, kami khawatir pasien akan ngamuk-ngamuk," kata Soleh.

Selain pertimbangan kondisi pasien, alasan lain pasien dipasung dikemukakan Soleh, “Fasilitas di sini juga belum layak. Kami belum ada MoU dengan Dinas Kesehatan. Baru dengan Dinas Sosial."

Pasien yang berada di panti berasal dari sejumlah daerah. Antara lain Brebes, Tegal, Pemalang, dan Cirebon. Mereka rata-rata dibawa ke panti oleh keluarganya.

"Ada juga yang dibawa Satpol PP dan Dinas Sosial dari hasil razia pengemis atau gelandangan. Tidak ada keluarganya, terus dibawa ke sini," ujarnya.

Kami bukan tenaga ahli yang memiliki ilmu medis atau latar belakang sebagai psikolog, jadi pengobatan seperti inilah yang kami mampu.

ODGJSiti Komariah dengan kaki dirantai, pasien ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) di panti rehabilitasi Yayasan Bina Lestari Mandiri Brebes, Senin, 7 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Farid Firdaus)

Menurut Soleh, pemicu gangguan jiwa pasien yang dirawat‎ adalah masalah ekonomi dan keluarga. 

"Paling banyak karena ekonomi. Ketika di bawa ke sini, kondisinya sudah berat (parah)," ujar dia.

‎Selama di panti rehabilitasi, para pasien mendapat pengobatan dengan cara dibacakan doa-doa dan diminumi air putih yang sudah didoakan oleh Ketua Yayasan Bina Lestari Mandiri, Kiai Mundzir Rofii.

Pengobatan di yayasan ini tak bisa dilepaskan dari Kai Mundzir karena sosoknya pada tahun 80-an dianggap masyarakat setempat bisa menyembuhkan orang gila sehingga kerap dimintai bantuan.

"Kami ini kan bukan tenaga ahli yang memiliki ilmu medis atau latar belakang sebagai psikolog, jadi pengobatan seperti inilah yang kami mampu. Niat kami hanya membantu seperti awal mula yayasan ada," tutur Soleh.

‎Dengan pengobatan non medis tersebut, sejumlah pasien ada yang sudah sembuh dan beraktivitas seperti orang normal. Pasien yang berangsur sembuh secara berkala dan perlahan dilepas rantainya.

‎"Lama penanganan tidak mesti. Ada yang sampai tujuh bulan, ada yang 40 hari sudah sembuh. Tergantung kondisi dan lama sakitnya. Ada juga yang sampai empat tahun karena gilanya sudah lama. Kalau ada keluarganya kami kembalikan ke keluarganya, kalau tidak ada kami kembalikan ke Dinas Sosial," kata Soleh.

Ada juga yang sampai empat tahun karena gilanya sudah lama.

ODGJSeorang pasien dengan kaki dirantai di panti rehabilitasi Yayasan Bina Lestari Mandiri Brebes, berada di ruangan yang menjadi kamarnya, Senin, 7 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Farid Firdaus)

‎Masduki, salah satu pasien yang dianggap sudah berangsur sembuh dari gangguan jiwa yang dideritanya. Setiap sore, suara orang mengaji selalu terdengar dari ruangan 3x2 meter yang ditempati pria paruh baya itu.‎

"Dia pintar mengaji. Hampir setiap hari mengaji," kata Abdul Hadi.

Saat diajak berkomunikasi, Masduki belum benar-benar bisa berkonsentrasi. Beberapa kali Tagar harus mengulang pertanyaan yang sama hingga dua atau tiga kali untuk memastikan jawabannya.

Masduki bercerita aktivitasnya setiap hari. Ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur. Setiap pagi Masduki bangun pukul 04.30 kemudian mendengarkan orang-orang mengaji di masjid yang terletak tepat di depan panti.

"Pada pukul 07.00 saya mandi. Kadang saya mandi sendiri, kadang juga dimandikan," tuturnya.

Setelah mandi, Masduki sarapan kemudian kembali tidur. Biasanya sekitar pukul 11.30 dirinya kembali terbangun karena lapar. Sembari menunggu waktu makan siang tiba, Masduki kembali melantunkan ayat-ayat Alquran.

Setelah makan siang ia kembali tidur sampai pukul 16.00. Pada jam tersebut Masduki mandi kemudian makan sore. Sekitar pukul 20.00 Masduki tidur dan akan kembali bangun pada pukul 04.30 seperti biasanya. Rutinitas itu berulang setiap hari.‎

Dia pintar mengaji. Hampir setiap hari mengaji.

ODGJSeorang pasien ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) dengan kaki dirantai di panti rehabilitasi Yayasan Bina Lestari Mandiri Brebes, berada di ruangan yang menjadi kamarnya, Senin, 7 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Farid Firdaus)

‎Tahun ini merupakan tahun keempat Masduki dirawat di panti rehabilitasi Yayasan Bina Lestari Mandiri. Sebenarnya, sejak empat bulan lalu ia sudah diperbolehkan pulang karena sudah dianggap sembuh.

Beberapa kali, Masduki juga diminta membantu pengurus Yayasan Bina Lestari untuk mengantarkan makanan ke sawah atau membantu menggarap sawah milik kiai Mundzir Rofii.

Namun, Masduki masih tetap berada di panti rehabilitasi karena keluarganya enggan menerima kembali kehadirannya.

"Masduki sudah bisa dikatakan sembuh. Perilakunya juga sudah mulai seperti orang normal dan bisa diajak berkomunikasi. Tetapi, keluarga meminta agar Masduki tetap dirawat di sini karena khawatir kambuh dan mengamuk," ungkap Hadi.

Meski sudah dikatakan sembuh, rantai yang melilit kaki Masduki belum dilepas. Seperti kekhawatiran keluarganya, petugas perawat mengantisipasi kemungkinan Masduki kambuh.‎ Sementara dari gelagatnya, ia tampak tidak nyaman dengan rantai yang membatasi gerak kaki kirinya.

Masduki sudah bisa dikatakan sembuh. Perilakunya juga sudah mulai seperti orang normal.

ODGJMasduki, pasien ODGJ (orang dengan gannguan jiwa) yang sudah berangsur sembuh, tap kakinya tetap dirantai, di panti rehabilitasi Yayasan Bina Lestari Mandiri Brebes, berada di kamarnya, Senin, 7 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Farid Firdaus)

‎Kakak-adik Dipasung

‎Sekitar 3,4 kilometer dari tempat Siti Komariyah dan Masduki dirawat, Triyono 27 tahun, tak bisa leluasa bergerak karena kedua kakinya dirantai. Warga Desa Buaran, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes itu menderita gangguan jiwa sejak lulus SMP.

Kondisi itulah yang memaksa keluarganya memasung kedua kaki Triyono dengan cara dirantai. Rantai itu ditancapkan ke tembok samping rumah.

"Soalnya kalau tidak dirantai, merusak barang-barang di rumah," ujar ibu Triono, Sarinah 63 tahun.

‎Alasan pemasungan itu juga dilatarbelakangi peristiwa yang hampir mencelakakan Triyono dan ayahnya beberapa tahun silam. Kala itu, Triyono yang sudah mengidap gangguan jiwa tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya lalu terjun ke sumur sedalam sekira yang berada di dapur.

Ayah Triyono yang mengetahui kejadian itu sontak berupaya menolong dengan mengulurkan tali ‎ke dalam sumur. Tapi Triyono justru menarik kuat-kuat tali itu hingga ayahnya ikut terjerembab ke dalam sumur. Beruntung, keduanya bisa diselamatkan warga.

"Saya langsung meminta tolong ke warga sehingga mereka bisa diangkat dari dalam sumur," cerita Sarinah.

Soalnya kalau tidak dirantai, merusak barang-barang di rumah.

ODGJLima pasien ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) pasien panti rehabilitasi Yayasan Bina Lestari Mandiri Brebes, dibawa ke luar kamar masing-masing, namun tetap dalam kondisi kaki dirantai, Senin, 7 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Farid Firdaus)

‎Tak hanya Triyono, kakaknya, Turipah, 26 tahun, juga harus dipasung dengan cara dirantai karena gangguan jiwa yang dideritanya sejak berusia 14 tahun. Penyakit itu mulai diidap Turipah setelah ia pulang dari Jakarta.

"Pulang dari ‎bekerja di pabrik di Jakarta jadi aneh. Awalnya sering diam, terus tiba-tiba mengamuk, lari-lari keluar rumah. Takutnya ketabrak motor atau mobil. Jadi dirantai. Kalau Triono sepertinya menderita gangguan jiwa karena ketularan kakaknya," kata Sarinah.

Berbeda dengan Triyono yang setiap hari dipasung, rantai yang mengikat kaki Turipah beberapa kali dilepas ketika kondisinya tampak membaik. Seperti terlihat pada Senin, 7 Oktober 2019.

‎Ibu satu anak itu tampak sedang membersihkan beberapa ikan di dapur. Ketika diajak berkomunikasi, ia menyahut.

"Mau digoreng untuk makan anak saya," jawab Turipah saat ditanya Tagar akan diapakan ikan yang sedang dicucinya.

‎Sarinah menyebut, kondisi anak ketiganya itu sedang stabil meski masih kerap berbicara sendiri sehingga rantai yang membelit kakinya dilepas. 

"Kalau kambuh ya dirantai," ucapnya.

Sarinah tidak pernah membawa kedua anaknya berobat ke rumah sakit jiwa maupun ke puskesmas. Dia mengaku tidak mengetahui pengobatan medis bisa diupayakan untuk menyembuhkan anak-anaknya.

Ketika hal itu disarankan petugas Dinas Kesehatan yang mendatangi rumahnya, Sarinah juga cenderung enggan mengikuti saran tersebut. 

"Kalau dibawa ke rumah sakit nanti repot. Yang menengok ke rumah sakit siapa. Ayahnya juga sudah tua," ucapnya.

ODGJ masih dianggap tabu atau aib keluarga. Kalau bisa malah disembunyikan sekalian.

ODGJTriyono, warga Desa Buaran, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes, menderita gangguan jiwa (ODGJ) sehingga memaksa keluarga untuk merantai kakinya. (Foto: Tagar/Farid Firdaus)

Tidak Boleh Dipasung

Apa yang dilakukan terhadap ‎Triyono dan Sukinah, juga Siti Komariyah dan Masduki, sebenarnya sudah tidak diperbolehkan. Sebab sejak 1977 pemerintah sudah melarang praktik pemasungan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Larangan itu diperkuat melalui Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Kesehatan Jiwa.

Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, Johan Assani mengakui jumlah praktik pemasungan ODGJ masih banyak dilakukan masyarakat.

"Di Brebes tahun ini ada 53 kasus pemasungan. Ada yang dipasung dengan cara dikerangkeng sampai dirantai," kata Johan, Senin, 7 Oktober 2019.

Menurut Johan, pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang masih rendah terkait peng‎obatan medis terhadap penderita gangguan jiwa menjadi salah satu faktor penyebab.

"Seharusnya perlu dukungan keluarga. Tapi temuan di lapangan banyak keluarga menolak untuk dirawat, bukan mendukung pasien untuk sembuh‎," kata dia.

‎Faktor penyebab lain, Johan melanjutkan, yakni masih terbatasnya fasilitas kesehatan di Brebes yang memiliki layanan pendukung untuk pasien OGDJ.

Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Brebes menurut dia terus berupaya membangun akses fasilitas kesehatan untuk ODGJ selain memberikan edukasi kepada masyarakat.

"Sehingga bisa mendukung target Indonesia bebas pasung," ujar Johan.

Senada. Programer Kesehatan Jiwa Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, Fatqiyaturohmah, mengatakan praktik pemasungan masih ada karena ketidaktahuan masyarakat dalam memperlakukan ODGJ.

"Saat kami datangi misalnya, beberapa keluarga kami arahkan untuk membawa ke rumah sakit jiwa, tapi banyak yang menolak. Keluarga tidak mau karena malu. ODGJ masih dianggap tabu atau aib keluarga. Kalau bisa malah disembunyikan sekalian," ujarnya.

Menurut dia, perlakuan keluarga atau masyarakat bisa memperparah penyakit yang diderita OGDJ jika tidak tepat, seperti dipasung, dikurung, atau diasingkan. 

"Kami akan menggalakkan penyuluhan terkait penanganan pasien penyakit jiwa sampai ke desa agar hal itu tidak terus terjadi," katanya. []

Baca juga:

Berita terkait
23 ODGJ Dipasung di Gunungkidul Karena Stigma Negatif
Masyarakat dan keluarga di Gunungkidul yang hidup di sekitar ODGJ diimbau untuk mengubah stigma negatif.
UU Kesehatan Jiwa tidak Permisif bagi ODGJ yang Lakukan Tindak Pidana
"Orang dengan gangguan jiwa yang terkena kasus pidana, seharusnya tetap ada unit menyerupai penjara dalam rumah sakit jiwa.” - Psikiater Nova Riyanti Yusuf
Rantai Kaki Jamil Khairi Dibuka, Program Aceh Bebas Pasung Berkobar
Lewat program Aceh Bebas Pasung, Jamil Khairi akhirnya menikmati rasa bebas dari rantai di kaki.