UU Kesehatan Jiwa tidak Permisif bagi ODGJ yang Lakukan Tindak Pidana

"Orang dengan gangguan jiwa yang terkena kasus pidana, seharusnya tetap ada unit menyerupai penjara dalam rumah sakit jiwa.” - Psikiater Nova Riyanti Yusuf
Pelaku saat diamankan di Polres Lamongan, setelah melakukan penyerangan terhadap pengasuh Ponpes KH Hakam Mubarok, Minggu 18/2. (lut)

Jakarta, (Tagar 21/2/2018) –  Penyerangan terhadap pemuka agama sudah terjadi 21 kali. Sebanyak 15 kali penyerangan dilakukan orang yang tidak waras. Penyerangan itu terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia dari kurun waktu Desember 2017 hingga Februari 2018.

Hal tersebut merupakan catatan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto.

"Dari Desember sampai Februari itu tercatat sudah ada 21 kali penyerangan ke ulama, tokoh agama, ke rumah ibadah. Sebanyak 15 kali dilaksanakan orang yang tidak waras," kata Wiranto kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (20/2/2018).

Mengenai spekulasi penyerangan beruntun itu hanya kebetulan atau dilakukan secara terorganisasi oleh kelompok tertentu, Wiranto menyerahkan sepenuhnya pada pihak kepolisian untuk melakukan penyelidikan.

"Tetapi, tentu lewat penyidikan dan penyelidikan yang akurat. Dari situ nanti akan ada penjelasan ke publik bahwa ini dilakukan kelompok tertentu atau dilaksanakan perorangan," kata Wiranto.

Sementara itu Kepala Badan Intelijen Negara ( BIN) Budi Gunawan menyebut bahwa kasus penyerangan terhadap pemuka agama yang terjadi akhir-akhir ini sudah diprediksi dan dideteksi pihaknya.

Menurutnya, kasus tersebut adalah salah satu bagian dari kampanye hitam yang dilancarkan menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

"Seluruh jajaran sudah mendeteksi dan memprediksi di tahun politik ini 2018-2019 akan marak kampanye hitam. Wujudnya isu-isu PKI, agama, SARA, politik identitas," kata Budi di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (15/2/2018).

Budi mengimbau masyarakat lebih waspada serta tak mudah dipolitisasi dan diprovokasi oknum-oknum yang punya kepentingan tersebut.

"Masyarakat harus lebih waspada, lebih peka. Jangan mudah terpolitisasi, terprovokasi, terhasut sehingga terseret dalam permainan itu," kata Budi.

ODGJ tidak Bisa Diproses Hukum

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan, kepolisian tengah mendalami kemungkinan adanya benang merah dari sejumlah penyerangan terhadap pemuka agama belakangan ini.

"Kalau kita lihat sekarang, kan, faktanya masih berdiri sendiri. Apakah nanti ada benang merah terkait satu dengan lainnya, kami belum tahu," ujar Setyo, di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Selasa (20/2/2018).

Sementara itu Kapolda Jawa Timur,  Irjen Polisi Machfud Arifin menyatakan kalau memang tersangka dinyatakan mengalami gangguan kejiwaan, proses hukum kasus tersebut tidak bisa dilanjutkan.

Pernyataan itu ia sampaikan ketika kunjungan ke kediaman Pengasuh Ponpes Karangasem KH Hakam Mubarok, Senin (19/2/2018) yang baru saja diserang orang gila.

Kapolda meminta masyarakat tenang, tidak mengaitkan peristiwa itu dengan peristiwa lainnya.

"Saya meminta masyarakat agar tidak berasumsi, serta mengaitkan peristiwa ini dengan peristiwa yang sebelumnya pernah terjadi," ujarnya.

Terlepas dari spekulasi di balik penyerangan pemuka agama yang dilakukan orang gila, menarik mencermati pernyataan Kapolda Jatim bahwa kalau memang tersangka dinyatakan mengalami gangguan kejiwaan, proses hukum kasus tersebut tidak bisa dilanjutkan.

Tentu saja ia berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 44 yang menyebutkan adanya alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang atau pelakunya (subjektif). Misalnya, karena pelaku tidak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.

Fenomena orang gila menyerang pemuka agama sangat mencolok tidak alamiah. Bagaimana mungkin orang gila mampu memilih siapa yang ingin diserang. Tapi katakanlah benar itu gila, pertanyaannya benarkah orang yang mengalami gangguan kejiwaan tidak bisa dipidana? Ternyata jawabannya tidak seratus persen benar. Ada  Undang-Undang No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang memungkinkan orang dengan gangguan kejiwaan bisa dipidana.

Dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, Pasal 71 mengatur bahwa untuk kepentingan penegakan hukum, seseorang diduga Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang melakukan tindak pidana harus mendapatkan pemeriksaan kesehatan jiwa untuk menentukan kemampuan seseorang dalam mempertanggungjawabkan tindak pidana yang telah dilakukannya; dan atau menentukan kecakapan hukum seseorang untuk menjalani proses peradilan.

Yang dimaksud dengan ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Artinya, kalau memenuhi kriteria diagnostik, misalnya Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ), maka termasuk sebagai ODGJ.

Melanjutkan pasal 71, dilengkapi oleh pasal 73 bahwa pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilakukan oleh tim yang diketuai oleh dokter spesialis kedokteran jiwa dan dapat melibatkan dokter spesialis lain, dokter umum, dan atau psikolog klinis

Psikiater Nova Riyanti Yusuf mengkritik kepolisian yang seperti tidak menyadari kehadiran UU No. 18 Tahun 2014 yang merupakan instrumen penegakan hukum.

“Saya mengimbau pihak kepolisian bisa menjadi institusi percontohan yang menggubris Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. UU ini tidak permisif bagi ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa) yang terkena kasus pidana, seharusnya tetap ada unit menyerupai penjara di dalam rumah sakit jiwa kalau UU Kesehatan Jiwa dipatuhi,” tutur Nova.

Siti Afifiyah

Berita terkait