Jokowi yang Dijepit Keadaan

Satu sisi Jokowi akan menghadapi kemarahan DPR, jika mengeluarkan Perppu KPK. Di sisi lain, demo rusuh juga menghawatirkan. Tulisan Eko Kuntadhi.
Presiden Jokowi berbincang dengan para tokoh dan budayawan usai pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019). Presiden menyatakan akan mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu KPK. (Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay)

Ini negeri demokrasi kata mereka. Tapi mereka menganggap Presiden Jokowi adalah raja.

Setidaknya itu yang saya lihat belakangan ini.

Begini. Dalam sistem demokrasi kita, ada aturan main ketatanegaraan. Presiden, meski sebagai kepala negara, tetap dibatasi kekuasaannya. Dia juga berposisi sebagai kepala pemerintahan, sebagai lokomotif eksekutif.

Tapi di tempat lain, ada kekuatan penyeimbang yang namanya parlemen, atau legislatif. Mereka dipilih lewat Pemilu. Yang memilih adalah rakyat.

Tugas parlemen ini salah satunya membuat undang-undang. Berkoordinasi dengan eksekutif. Rancangan UU misalnya, bisa diajukan oleh parlemen bisa juga diajukan oleh pemerintah. Lalu RUU dibahas bersama. Setelah disepakati detail-detailnya, maka diketuk putusan RUU itu disahkan sebagai UU.

Apakah sudah langsung berlaku hukum yang baru? Belum. Keputusan pengesahannya harus ditandatangani Presiden. Lalu dicatatkan ke lembaran negara. Diregistrasi. Kemudian, UU itu dapat nomor register. Makanya ada UU nomor sekian, tentang bla bla bla.

Di satu sisi akan menghadapi kemarahan DPR, jika mengeluarkan Perppu. Di sisi lain, demo yang rusuh juga menghawatirkan.

Gimana jika Presiden tidak mau menandatangani UU yang disahkan DPR tersebut? Aturan ketatanegaraan kita mengatakan, meskipun Presiden menolak menandatangani, UU itu otomatis akan didaftarkan ke lembaran negara dalam jangka waktu 60 hari. Jadi, ditandatangani atau tidak, UU tetap berlaku.

Bagaimana sebetulnya cara pembahasan UU? Biasanya dibuatkan daftar isian masalah. Dalam proses pembuatan DIM ini, bisa melibatkan berbagai unsur, termasuk stakeholder, akademisi, LSM, serta masyarakat luas.

DIM inilah yang dijadikan rujukan dalam merumuskan pasal-pasal dalam UU yang akan dibicarakan. Tentu saja yang namanya masalah, tidak jarang ada yang saling bertentangan. Karena itu pembahasan sebuah RUU, pasti seru. Ada tarik menarik dalam merumuskan bunyi pasal-pasalnya.

Maklum saja, UU adalah produk hukum yang dibuat dengan mekanisme politik. Setiap pasal akan punya konsekuensi tersendiri. Apalagi yang membahas DPR, dengan segala kepentingannya.

Sistem percaya, justru dengan tarik menarik kepentingan itu tercipta titik keseimbangan dalam merumuskan pasal-pasal dalam UU.

Lalu bagaimana jika sebuah UU disahkan, tetapi ada pihak yang tidak sepakat dengan pasal-pasalnya. Kita punya Mahkamah Konstitusi. Masyarakat atau siapa pun bisa mengajukan gugatan ke MK. Nanti MK akan memutuskan. Keputusan MK berfikat final dan mengikat.

Asyik kan, sistem ketatanegaraan kita. Semuanya bisa diselesaikan dengan cara adem. Mekanisme dan lembaganya sudah tersedia.

Tapi ada alternatif lain dalam mengeluarkan sebuah UU, yaitu Perppu (peraturan pemerintah pengganti UU). Syaratnya keadaan genting dan memaksa. Tentu saja untuk kondisi genting tersebut ukurannya subjektif Presiden.

DPR bereaksi. Mereka menolak usulan Perppu. Baik Parpol pendukung maupun oposisi, semua satu suara.

Perppu ini mememang memberi wewenang luar biasa kepada Presiden untuk menerbitkan sebuah aturan. Tanpa melalui mekanisme pembahasan legislatif. Tapi jika terus menerus Perppu diobral, kita justru mendorong Presiden untuk menjadi powerfull. Perppu mestinya memang dikeluarkan dalam keadaan tertentu saja. Bukan jadi barang yang murahan.

Inilah yang saya sebutkan, belakangan pendukung demokrasi justru mendorong Presiden seperti raja. UU yang sudah disahkan DPR, diminta untuk ditelikung dengan menuntut Presiden menerbitkan Perppu tentang KPK.

Caranya dengan melakukan tekanan massa. Demo. Bikin rusuh. Agar syarat keadaan genting terpenuhi.

DPR bereaksi. Mereka menolak usulan Perppu. Baik Parpol pendukung maupun oposisi, semua satu suara. Padahal ujung-ujungnya, Perppu juga harus melewati persetujuan DPR agar jadi UU.

Persoalannya, revisi UU KPK baru saja diketuk. Baru saja disetujui. Jika Jokowi mengeluarkan Perppu, pasti dia akan berhadapan dengan DPR. Akan ada debat konstitusional untuk menuding Presiden abai pada mekanisme konstitusi normal. Ini akan jadi senjata politik DPR untuk menyerang Presiden. Pembahasannya pasti gak habis-habis.

Di sinilah Jokowi seperti dijepit. Di satu sisi akan menghadapi kemarahan DPR, jika mengeluarkan Perppu. Di sisi lain, demo yang rusuh juga menghawatirkan. Meskipun sebetulnya, dari survei Kompas, masyoritas masyarakat setuju revisi UU KPK. Cuma yang minoritas gak setuju ini berisiknya minta ampun.

Dalam politik Jokowi seperti ditinggalkan sendiri menghadapi semua tekanan. Belum lagi gerombolan kadal gurun yang gak berhenti berusaha memanaskan situasi.

Sudah saatnya Presiden bersikap. Ajarkan publik dewasa dalam bernegara dan berkonstitusi. Jika memang tidak sepakat dengan sebuah UU, konstitusi sudah menyediakan ruang untuk menggugatnya. MK adalah solusi. Bukan malah menyerah dengan tekanan jalanan.

Menyerah dengan tekanan jalanan dengan mengeluarkan Perppu adalah pelajaran konstitusi yang tidak sehat. Publik akan terbiasa menggunakan cara berisik dan berisiko untuk menekan. Jangan jadi kebiasaan.

Sudah cukup tekanan massa jadi penentu sebuah proses hukum. Kejadian Pilkada Jakarta, kasus ibu Meliana di Sumatera Utara, dan banyak kejadian lain membuat orang akhirnya tidak percaya pada jalan yang beradab dan adem. Semua akan diselesaikan dengan kemarahan di jalan.

Akhirnya, siapa yang paling 'gila', itulah yang diikuti.

Masyarakat boleh menekan. Boleh demonstrasi. Tapi mereka juga harus diajarkan cara berkonstitusi. Sebab selain orang yang turun ke jalan menyuarakan aspirasinya, ada juga rakyat yang di rumah. Yang mungkin saja tidak setuju dengan tuntutan mereka.

Buktinya survei Kompas menjelaskan, lebih banyak orang yang setuju revisi UU KPK ketimbang yang menolaknya. Dan yang setuju revisi UU KPK itu juga rakyat bagian sah dari rakyat Indonesia

*Penulis adalah Pegiat Media Sosial

Baca juga:

Berita terkait
Pratikno Sebut Draft Perppu UU KPK Telah Disiapkan
Menteri Sekretaris Negara Pratikno telah menyiapkan draf Perppu UU KPK, tinggal menunggu keputusan Presiden Jokowi
Jokowi Kaji Terbitkan Perppu UU KPK, Menkumham Bungkam
Menkumham Yasonna Laoly memilih bungkam tentang peluang diterbitkannya Perppu sebagai upaya pencabutan UU KPK hasil revisi.
Presiden Terbitkan Perppu, DPR Bahas Periode Mendatang
Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) merupakan hak presiden.
0
DPR Terbuka Menampung Kritik dan Saran untuk RKUHP
Arsul Sani mengungkapkan, RUU KUHP merupakan inisiatif Pemerintah. Karena itu, sesuai mekanisme pembentukan undang-undang.