Malam Mencekam di Kedubes Belanda, Antara Hidup atau Mati

Sebuah kisah mencekam yang diceritakan oleh Petrus Hariyanto, mantan Sekjen PRD, ketika mereka meloncat masuk ke Gedung Kedubes Belanda tahun 1995.
Gedung Kedutaan Besar Belanda di Indonesia di Jl. Rasuna Said, Jakarta Selatan. (Foto: Petrus Hariyanto)

Memandang kehidupan di luar tembok penjara bagiku adalah kemewahan. Kesempatan itu masih kudapat seminggu dua kali ketika aku menghadiri persidangan.

Dengan muka beringas dan menganyunkan pedang mereka berteriak agar kami keluar. Dinding kaca terluar dari Kedubes Belanda mulai dihancurkan.

Mobil Tahanan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan membawa kami dari LP Cipinang (Jakarta Timur) menyusuri jalan raya menuju Jalan Ampera, Jakarta Selatan. Bila tidak macet hampir satu jam waktu dibutuhkan untuk mencapai Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Saat seperti itulah aku gunakan untuk menikmati setiap jalan yang dilalui. Aku bisa melihat dunia luar yang terasa lebih indah dibandingkan di dalam tembok penjara.

Sesampai di gedung pengadilan aku dan kawan-kawan akan dimasukkan ke ruangan berpintu jeruji besi. Biasanya dijaga ketat aparat kepolisian. Letaknya di belakang Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Di sana tempat ruang tunggu, sebelum terdakwa memasuki ruang sidang.

Petrus Hariyanto. Persidangan Anda akan segera dimulai,” ujar petugas dari kejaksaan.

Baca juga: Kisah Slamet Gundul, Perampok Legendaris Jadi Bos di LP Cipinang

Petugas itu lantas membawa aku menuju ruang sidang. Ada beberapa ruang sidang di Pengadilan Jakarta Selatan. Karena berkas dakwaan kami terpisah maka ruang sidang juga berbeda-beda.

Petrus HariyantoPetrus Hariyanto didampingi pengacara Surya candra (LBH Jakarta) dan Leonard P Simorangkir. (Foto: Dok. Petrus Hariyanto)

Aku satu berkas sendirian, Pak Mochtar Pakpahan (Ketua SBSI) juga demikian. Sementara Ken Budha Kusumandaru (SMID Jabotabek), Victor da Costa (SMID Jabotabek) dan Ignatius Putut Ariontoko (SMID Purwokerto) satu berkas, mereka diadili secara bersamaan dalam satu ruang sidang.

“Apakah saudara terdakwa dalam keadaan sehat baik fisik dan rohani untuk mengikuti sidang ini?” tanya hakim ketua, Moedihardjo.

Setelah aku menjawab sehat, lantas aku dipersilahkan duduk di sebelah kiri hakim, satu tempat duduk bersama para pengacara.

Kali ini aku didampingi Pak Leo dan Surya Candra. Para pengacara yang membela kami baik di Pengadilan Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat terhimpun dalam Tim Pembela Hukum untuk Keadilan Indonesia (TPHKI).

Sedangkan yang di Surabaya, yakni; Dita Indah Sari (Ketua Umum PPBI), Coen (STN), dan Muhamad Sholeh (SMID Surabaya) dibela oleh pengacara kondang Adnan Buyung Nasution dan Trimoelja Soerjadi.

Hampir semua pengacara terkenal di negeri ini bergabung dalam TPHKI untuk membela kami. Bukan hanya pengacara berlabel pembela HAM, tapi beberapa pengacara pesohor yang selama ini menangani kasus-kasus pidana dan perdata juga ikut bergabung.

Dari pegiat HAM ada Garuda Nusantara, Luhut MP Pangaribuan, Trimedya Panjaitan, Dwiyanto Prihartono, Surya Candra, Johnson Panjaitan, Esther Indah Yusuf.

Aku sendiri demikian takut dan terpaku. Terdiam dan tak beranjak melihat kesadisan aksi mereka.

Beberapa pengacara kondang yang mau bergabung ke TPHKI antara lain; Rudhy Lontoh, Denny Kailimang, Leonard P. Simorangkir, dan Amir Syamsuddin.

Budiman SudjatmikoBudiman Sudjatmiko (kiri) dan beberapa aktivis lainnya saat disidang di PN Jakarta Selatan (Foto: Dok. Petrus Hariyanto)

Proses persidanganku baru memasuki tahapan pemeriksaan para saksi. Dalam berkas BAB (Berkas Acara Pemeriksaan) yang kudapat, kuhitung lebih dari 55 saksi yang telah diperiksa dan mereka akan didatangkan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum).

Entah berapa kali acara sidang akan digelar untuk merampungkan pemeriksaan para saksi tersebut? Pada sidang sebelumnya, maksimal hanya tiga sampai empat saksi yang bisa dihadirkan.

Kulihat petugas kejaksaan membawa seseorang memasuki ruang sidang setelah hakim meminta JPU menghadirkan saksi.

Baca juga: LP Cipinang, Surganya Penjara dan Cara Melarikan Diri

Saksi tersebut laki-laki beramput pirang dan berkulit putih, seperti orang Eropa. Tingginya sekitar 170 cm, berbadan ramping. Sebelum duduk di kursi, saksi ia sempat melihatku. Ekspresinya datar saja. Aku mencoba mengingat-ingat siapa orang tersebut? Apakah ada hubungannya dengan aktivitas politikku selama ini?

Lamunanku berhenti ketika hakim mulai berbicara.

“Nama saksi? Bekerja di mana?” tanya hakim ketua.

“Nama saya Lesmana Lukito. Saya bekerja sebagai Kepala Portier di Kedubes Belanda sejak tahun1992. Tugas saya mengkoordinir petugas portier yang bertugas membuka dan menutup pintu gerbang kedutaan dan rumah duta besar dan wakilnya. Juga bertugas mengabsen karyawan dan mencatat keluar masuk para tamu,”

“Apakah saudara saksi mengenal terdakwa? Coba jelaskan?” kata hakim. 

“Ya saya mengenal Petrus saat dia bersama Wilson dan Puto memimpin aksi “lompat Pagar” ke Kedubes Belanda pada tanggal 7 Desember 1995. Ketiga orang itu yang menghadap dan berbicara dengan Duta Besar HR Brower dan atase politik kedutaan HR Hoeks.’”

“Coba jelaskan apa yang dilakukan terdakwa bersama rekan-rekannya di sana?”

“Mereka melompat pagar Kedubes Belanda secara paksa. Saya tidak tahu kapan persisnya. Ketika saya datang pukul 06.00 pagi, mereka sudah ada. Kurang lebih sekitar 55 orang.”

PRDDari kiri Ken Budha kusumandaru, Victor da costa, dan Ignatius Putut Ariontoko (Foto: Dok. Petrus Hariyanto)

“Mereka menuntut bertemu dengan duta besar untuk menyampaikan tuntutan agar dipertemukan dengan wakil PBB di Indonesia, Pejabat Kemenlu RI, HJ Princen (tokoh pembela HAM). Mereka juga menyerukan agar Xanana Gusmao dibebaskan, serta hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa Timor-Timor,” ujar saksi.

Semakin lama saksi berbicara membuat aku mengingat kembali peristiwa yang sudah berlalu lebih dari satu tahun itu.

Saat itu, saksi yang bernama Pak Lesmana Lukito (blasteran Indonesia - Belanda) meminta aku untuk membuat daftar siapa saja yang ikut masuk ke Gedung Kedutaan Besar Belanda. Seingatku ada 58 orang, tapi dari kesaksiannya hanya 55 orang.

Pak Lesmana juga yang meminta aku, Wilson dan Puto dan kawan-kawan agar segera berpindah ke halaman belakang gedung itu. Mereka tidak ingin aksi kami menjadi tontonan orang-orang yang melewati gedung itu di Jalan Rasuna Said.

Apalagi, saat itu kami membentangkan dua spanduk, satu berwarna hitam dengan tulisan “Free Indonesia East Timor”, satu lagi berwarna merah dengan tulisan “Cabut 5 UU Politik. Referendum di Timor Timur”.

Aksi lompat pagar tersebut kami lakukan bertepatan peringatan 20 tahun invasi Negara RI ke Timor-Timur. Selain itu, ada momentum kedatangan Komisaris Tinggi PBB Urusan HAM, Jose Alaya Lasso di Jakarta.

Tidak seperti aksi lompat pagar sebelumnya, kali ini tidak dalam rangka mencari suaka politik. Di Kedubes Belanda tersebut kami ingin difasilitasi bertemu Jose Alaya Lasso untuk menyampaikan fakta-fakta pelanggaran HAM di provinsi ke-27 itu.

Aku sendiri mewakili Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (Sekjen SMID), Wilson mewakili SPRIM (Solidaritas Perjuangan Rakyat Indonesia untuk Maubere). Sedangkan CNRM ( Conselho Nacional de Resistência Maubere/Dewan Perlawanan Timor Leste Untuk Kemerdekaan) diwakili oleh Puto Naldo Rei. Kami bertiga memimpin aksi tersebut.

Secara bersamaan, Budiman Soedjatmiko, Ketua Presidium Sementara Persatuan Rakyat Demokratik (PS-PRD) dan Mariano Sabino Lopez atau Assanami mewakili Impettu (Ikatan Mahasiswa dan Pelajar Timor Timur) memimpin aksi lompat pagar Kedutaan Besar Rusia.

Peserta yang terlibat selain dari SMID berbagai kota juga dari PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia), STN (Serikat Tani Nasional, Jaker (Jaringan Kerja Kesenian Rakyat), SRS (Serikat Rakyat Solo), dan SRJ (Serikat Rakyat Jakarta).

Pagi hari, sekitar Pukul 03.30 WIB, peserta aksi sudah berada di sekitar Gedung Kedubes Belanda. Bahkan ada yang bersembunyi di gorong-gorong yang terdapat di sepanjang Jalan Rasuna Said, menanti aba-aba untuk memasuki gedung tersebut.

Tepat Pukul 04.00 WIB, Aku menuju ke tengah jalan raya dan berteriak meminta semua peserta untuk segera menaiki pagar Kedubes Belanda.

Baru saja menginjakan kaki di dalam areal halaman Kedubes Belanda aku sudah disambut sergapan satpam.

“Maling-maling,” teriak mereka sambil membawa bambu untuk memukulku.

Aku reflek mengatakan, “Kami bukan maling. Kami ingin mencari suaka politik.”

Perkataanku itu membuat satpam tidak jadi mengayunkan bambu ke tubuhku.

Aku baru sadar kalau di halaman Kedubes Belanda hanya sendirian. Yang lain rupanya salah melompat. Mereka berada di halaman Gedung Erasmus Huis (Pusat Kebudayaan Belanda). Dua gedung yang berbeda, dibatasi pagar besi.

Baca juga: Di LP Cipinang, Dia Mengaku Membunuh Mayjen MT Haryono

Karena hari masih gelap mereka tidak bisa membedakan kedua gedung tersebut. Mereka segera meloncat pagar lagi untuk memasuki Kedubes Belanda setelah aku memerintahkannya.

Di dalam halaman Kedubes Belanda peserta aksi dengan semangat meneriakkan;

“Viva Timor Leste

“A Luta Continua”

Serangan Pertama

Di belakang Kedubes Belanda terdapat kolam renang dan taman. Beberapa kursi terdapat di tepi kolam renang. Tempatnya cukup luas dan nyaman untuk beristirahat 58 orang.

Bagaikan itik menemukan kubangan air, mereka berebut masuk ke kolam renang. Mungkin mereka gerah, sejak pagi belum mandi. Mereka tertawa lepas, ada yang berenang ada juga yang sekadar berendam di air melepas ketegangan.

Mengendorkan urat saraf yang menegang sepanjang dini hari tadi karena menanti dengan berdebar untuk melompat pagar memasuki areal Kedubes Belanda. Lengah sedikit, kami semua akan tertangkap aparat. Hari itu, aparat sudah bersiaga mengantisipasi terjadinya aksi lompat pagar karena pengalaman sebelumnya.

Kalian masuk ke sini bila diserang. Kedua pintu harus ditutup. Dijamin aman di sini.

Bahkan hampir semua Kedubes ramai-ramai meninggikan tembok agar tidak diterobos aktivis pejuang Tim-Tim. Seperti perhelatan APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) pada tanggal 12 November 1994 di Jakarta setahun lalu, para aktivis TIm-Tim berhasil menembus Kedubes USA. Mereka meminta suaka politik.

Dari sekian kedubes, hanya Belanda dan Rusia yang temboknya tidak tinggi dan mampu dilompati. Sebenarnya itu pertimbangannya, bukan soal geopolitik negara tersebut.

Sementara yang lain berenang dan berjemur sinar matahari, aku, Puto, dan Wilson sibuk melobi atase politik Kedubes Belanda HR Hoeks.

“Kami menegaskan tidak akan meminta suaka politik. Kami ingin dipertemukan dengan Alayo, HJ Princen, dan pejabat Departemen Luar Negeri RI. Kami ingin membicarakan nasib rakyat Timor Timur yang begitu menderita setelah dipaksa berintegrasi ke RI,” ujar Puto.

HR Hoek berjanji akan memenuhi tuntutan kami. Ia mewanti-wanti kami tidak boleh ke halaman depan. Harus berada di halaman belakang.

Menjelang jam makan siang, tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara teriakan keras “seret keluar penghianat bangsa”.

Kulihat massa bersenjata tajam memasuki halaman dengan meloncat pagar Kedubes Belanda. Mereka ingin merangsek ke belakang tetapi berhasil dihadang pihak keamanan Kedubes.

Kami melarikan diri, ada yang bersembunyi ke dapur, ada yang masuk ke dalam ruangan Kedubes Belanda. Sekitar setengah jam suasana baru mereda.

Kami mendapat arahan dari Pak Lesmana bila nanti diserang kembali lari ke areal parkir bawah taman. Letaknya dekat kolam renang. Ruangannya tertutup dengan akses keluar masuk dua pintu yang ada rolling door-nya.

“Kalian masuk ke sini bila diserang. Kedua pintu harus ditutup. Dijamin aman di sini,” ujar Pak Lesmana.

Aku meminta kawan-kawan menyiapkan diri bila ada serangan susulan. Buyung Husnansyah (SMID Jabotabek), Pius Wisnu (SMID Yogyakarta), Akbar alias Bebek (SMID Semarang), Andi Arief (Ketua SMID Yogyakarta), Narso (SRS), serta Samuel Gobai (satu-satunya dari OPM) mengumpulkan apa saja yang bisa dijadikan senjata.

Gunting besar pemotong rumput dibelah menjadi dua untuk dijadikan ujung tombak. Mereka juga menemukan pipa besi panjangnya satu setengah meter dengan diameter sekitar 7 mm. Batu sebanyak dua ember kecil berhasil mereka kumpulkan. Ada juga beberapa pisau yang diambil secara diam-diam dari dapur ketika terjadi penyerbuan.

Rasanya, kawan-kawan siap menghadapi serangan susulan.

Serangan Kedua

Sekitar Pukul 15.00 WIB, atase Kedubes Belanda memanggil kami bertiga. Kami dibawa masuk ke dalam gedung menuju ruang pertemuan. Di sana ternyata sudah hadir HJ Princen, Caspar Jan Kamp, Pejabat Perwakilan PBB di Jakarta, dan Duta Besar Belanda HR Brower.

Baru sekitar 15 menit mediasi berlangsung, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar. Dinding Kedubes Belanda terbuat dari kaca, sehingga aku bisa melihat situasi di luar, bahkan di pintu gerbang.

Aparat kepolisian yang dipimpin Kapolres Jakarta Selatan S.Y Wenas ternyata membiarkan massa entah dari mana memasuki Kedubes Belanda dengan cara memanjat tembok.

Mereka datang menaiki dua bus patas ac. Dari warna kulitnya, aku menduga pemuda Timor Timur yang ada di Jakarta. Mereka pasti dibina militer menjadi semacam laskar pro-integrasi.

Dengan muka beringas dan menganyunkan pedang mereka berteriak agar kami keluar. Dinding kaca terluar dari Kedubes Belanda mulai dihancurkan. Kemudian mereka menuju halaman belakang.

Jantungku rasanya mau copot. Bagaimana nasib kawan-kawan yang di belakang? Apakah mereka bisa selamat menghadapi massa bersenjatakan pedang itu?

Tak lama kemudian, mereka berhasil menemukan pintu belakang. Karena dinding dan pintu terbuat dari kaca, aku bisa melihat dengan jelas aksi barbar mereka. Dinding belakang juga ditebas dengan pedang. Pecahan kaca berserakan di mana-mana. Pihak keamanan kedubes berusaha menutup pintu, taruhannya kepalanya terkena serpihan kaca. Terihat darah memuncrat dari kepala mereka.

Aku sendiri demikian takut dan terpaku. Terdiam dan tak beranjak melihat kesadisan aksi mereka. Satu langkah lagi mereka akan masuk ke gedung, kami terancam dibantai.

Dalam hati aku berdoa,”Tuhan, apakah saatnya aku mati sekarang?”

Setelah muncul kekuatan untuk melarikan diri, aku refleks memasuki sebuah ruangan yang tak kuketahui itu ruangan apa. Aku menutup pintu dan mengganjalnya dengan meja. Nafasku demikian memburu dan begitu ketakutan. Aku tak tahu Wilson dan Puto lari kemana.

Berdoa dan berdoa itu yang hanya bisa aku lakukan. Memohon keselamatan dariNya. Sendirian dalam ruagan yang sangat asing bagiku.

Setelah tidak terdengar kegaduhan, aku mencoba memberanikan diri keluar dari kamar tersebut. Suasana sunyi. Aku tak melihat satu orang pun. Mereka pergi entah kemana?

Dinding tembok dari kaca sudah roboh semuanya. Pecahan kaca ada di mana- mana.

Darah dan Tangisan Histeris

Yang pertama kutemui Buyung Husnansyah, Narso, dan Pius Wisnu. Mereka menceritakan peristiwa penyebuan itu dengan wajah marah.

“Aku yakin satu dari mereka ada yang mati. Samuel Gobai berhasil memukul satu orang yang berusaha menerobos rolling door yang belum tertutup sepenuhnya. Ia memukul salah satu dari penyerang dengan pipa besi, tepat mengenai kepala. Bunyinya “peng” dan orang itu terkapar,’” ujar Buyung.

“Kami dilempari dan membalas. Andi Arief mengambil inisiatif mengkoordinir kawan-kawan untuk membalas lemparan mereka. Aku sempat mendengar Andi Arief mengatakan kalau ini mungkin akhir dari hidupnya. Kami terdesak dan masuk ke garasi,” ucap Buyung dengan terbata-bata.

Narso dengan kaki penuh luka dan berdarah menceritakan betapa dramatisnya situasi yang mereka hadapi. Selain diancam akan ditebas pedang, mereka juga melempari kawan-kawan yang bersembunyi lewat lubang ventilasi.

“Ima dari (SMID Yogyakarta) menangis histeris. Tangannya terkena lemparan batu. Suasana mencekam itu lebih dari satu jam,” ucap Narso dengan emosi.

“Aku dan Yanto (SMID Pusat) berada di kamar mandi. Karena pintunya berbentuk koboy, aku bisa melihat aksi beringas mereka. Setelah melompat mereka melempari. Mereka melempari rolling door dan mengepung garasi. Mereka berteriak, ”bunuh pengkhianat bangsa.”

“Yanto menjadi emosi dan mau membantu kawan-kawan. Kucegah dengan kupegang tangannya. Kukatakan kepadanya kalau kamu keluar mereka membunuhmu. Aku sendiri berdoa dengan khusuk karena aku merasa ini saat matiku,” ucap Pius dengan bibir bergetar.

Pius menyaksikan kawan-kawan bisa meloloskan diri dari garasi. Katanya, kawan-kawan berebut masuk ke dalam gedung yang pintunya kecil dan lantainya berserakan pecahan kaca.

Akibatnya, banyak kaki yang terluka. Ketika menyelamatkan diri dari garasi, Samuel Gobai melindungi kawan-kawan dari lemparan batu.

“Aku menyaksikan tubuh dan kepalanya Gobai menjadi tameng bagi kawan-kawan dari lemparan batu. Aku salut, kawan yang satu ini berani dan tubuhnya kuat,” kata Pius.

Kami semua dievakuasi ke lantai tiga. Tangisan dan darah bercecer di mana-mana membuat situasi semakin mencekam. Langkah pertama menenangkan yang menangis dan histeris.

“Tenang kawan-kawan. Situasi sudah aman. Pasti pihak keamanan akan mencegah para preman itu menyerang kita lagi. Aku menyaksikan Dubes Belanda kepalanya berdarah. Pasti mereka akan memprotes Pemerintah RI karena daerah kedaulatannya dilanggar,” ucapku menenangkan kawan-kawan.

“Kita segera bentuk pasukan keamanan. Kumpulkan semua barang yang bisa kita jadikan senjata. Buat brigade dari meja dan kursi, dan ada yang jaga."

“Hanya lantai tiga yang lampunya dimatikan, sementara lainnya tetap menyala. agar mereka tidak bisa melihat keberadaan kita. Bila lainnya terang, kita bisa melihat kedatangan mereka.”

“Harus ada yang berjaga di atap gedung ini. Awasi pergerakan dari luar,” kataku ketika memimpin rapat.

Di lantai satu, Akbar alias Bebek (SMID Semarang) mengkoordinir regu jaga. Ia dibantu Megi (SMID Yogyakarta), dan beberapa teman. Bebek membalut tangannya dengan lilitan handuk agar mampu menangkal sabetan pedang. Ia berada di pos terdepan berhadapan dengan massa pro-integrasi yang akan menyerang.

Lantai dua dijaga Buyung cs. Apapun yang bisa dijadikan senjata mereka ambil. Cara ini kami lakukan karena mereka melakukan cara-cara kekerasan. Tidak ada pilihan, kami yang mati atau mereka yang mati. Aparat kepolisian tidak bisa diandalkan. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan polisi membiarkan kelompok pro-integrasi memanjat dan memasuki Kedubes Belanda.

Aku juga meminta Pius Yogya untuk membuat kronologis. Sebelumnya, tugas itu dijalankan Ima (SMID Yogyakarta). Karena dia sedang histeris, diganti oleh Pius. Di gedung ini banyak terdapat pesawat telepon. Dan sudah dicek bisa digunakan. Melalui telpon Pius mengirimkan kronologis peristiwa yang terjadi hari ini.

Kawan-kawan memberi laporan kalau gedung empat lantai ini kosong. Sudah ditinggalkan para karyawan, pihak keamanan, bahkan duta besarnya. Mungkin mereka mengalami trauma karena mendapat serangan yang begitu membabi-buta.

Suasana begitu mencekam, ditambah udara begitu dingin karena AC tetap menyala. Dari atap gedung ini aku bisa menyaksikan kalau pintu gerbang dijaga Brimob dan TNI.

Beberapa mobil polisi di parkir di depan dengan tetap menyalakan lampunya yang khas. Suasananya seperti yang digambarkan dalam film-film laga di mana sebuah gedung dikuasai kelompok tertentu dan polisi mengepungnya.

Kelaparan melanda kawan-kawan. Kami hanya bisa minum, di setiap sudut terdapat tempat minum. Kami tinggal menginjak akan keluar air sendiri dan langsung diminum tanpa perlu gelas.

Seharian ini hanya makan siang saja, itupun hanya dengan sayur dan tempe goreng.

”Pelit betul Kedubes Belanda ini. Masak hanya makan hanya dengan menu begini. Masih mending kalau ditangkap polisi, diberi nasi Padang,” ucap Bebek Semarang dengan menggerutu.

Aku meminta Yanto dan beberapa teman untuk ke dapur. Yang kami dapat hanya roti beku dan ayam beku. Karena jumlahnya sedikit menjadi rebutan kawan-kawan.

Kedubes BelandaSetelah berhasil melompat masuk ke Kedubes Belanda, peserta aksi membentangkan dua spanduk (Foto: Dok. Petrus Hariyanto/repro buku "Renetil, Lha Luta Libertasaun Timor Lorosa'e)

Ada juga yang bertugas mendengarkan siaran radio luar negeri berbahasa Indonesia. Dari berita di radio disebutkan di Kedubes Rusia yang dipimpin Budiman Soetjatmiko dan Mariano juga diserbu massa pro-integrasi.

Setelah aku cek lagi, ternyata lantai dua dan satu juga sudah dikuasai Brimob dan satuan kepolisian lainnya. Kami benar-benar sudah dikepung.

Dari siaran radio itu kami juga mengetahui kalau JB Sudarmanto Kadarisman, Duta Besar RI untuk Belanda dipanggil Menteri Luar negeri negara tersebut. Hal itu berkaitan dengan dua diplomat negara Belanda di Jakarta terluka karena penyerbuan kelompok pro-integrasi.

Dengan perut yang lapar dan badan mulai demam aku berusaha tidur. Tetapi kepala terlalu tegang dan otak ku maunya berpikir langkah apa saja yang harus dihadapi kedepannya?

Sebuah malam yang begitu panjang dan menegangkan.

Ditangkap Polisi

Hari kedua sama saja seperti malam kemarin. Tidak ada pihak staf Kedubes yang masuk kerja, walau hari itu Jumat. Sesekali pihak keamanan Kedubes Belanda yang berpakain polisi datang melihat situasi kami. Mereka sampaikan kalau para karyawan memang diliburkan karena banyak yang mengalami trauma.

Kami benar-benar menguasai sepenuhnya gedung ini. Kami dengan leluasa mendatangi setiap sudut ruangan. Kami juga dengan bebas menggunakan pesawat telpon yang hampir tersedia di setiap ruangan.

Aksi mogok makan digelar untuk mendesakan tuntutan agar kami tidak diserahkan kepada aparat polisi. Kami juga menuntut agar sebagian mendapat suaka politik ke Negara Portugal.

Awalnya kami tidak meminta suaka politik. Karena perkembangan yang terjadi, sebagian pemuda Timor-Timur mendesak aku, Puto dan Wilson untuk meminta suaka politik. Mereka kuatir ditangkap polisi dan mendapat represi.

Kami juga menuntut agar di temui utusan HAM PBB, yang datang ke Indonesia. Pada hari Kamis, Josse Ayala Lasso diterima oleh Komisi I DPR RI, Aisah Aimini. Bahkan sebelumnya bertemu Xanana Gusmao di LP Cipinang.

Tapi tuntutan kami tidak pernah terealisir. Pihak Kedubes Belanda justru mengundang Brimob (Brigade Mobil) masuk ke Gedung Kedubes Belanda. Kami terkejut ketika tahu bahwa lantai empat sudah dipenuhi Brimob dengan membawa senapan otomatis.

Setelah aku cek lagi, ternyata lantai dua dan satu juga sudah dikuasai Brimob dan satuan kepolisian lainnya. Kami benar-benar sudah dikepung. Aku protes kepada atase politik Kedubes Belanda.

“Kami tidak bisa menghadapi tekanan pemerintahan Soeharto. Tapi kami berjanji akan mengawal Anda semuanya sampai ke kantor polisi. Mereka juga berjanji tidak akan menyiksa kalian,” ujar atase politik Kedubes Belanda.

Dengan menyanyikan lagu darah juang mengangkat tangan kiri ke atas, kami digiring keluar gedung. Setiap jengkalnya, kanan kiri diapit polisi, sampai kami memasuki dua bus yang tersedia di halaman gedung ini.

Dengan kawalan ketat kami segera dibawa keluar gedung. Jalan yang kami lalui benar-benar sudah dibebaskan dari kemacetan. Begitu lengang jalan yang kami lalui. Entah berapa ratus aparat polisi yang mereka kerahkan untuk menangkap kami.

Ternyata, kami dibawa ke Polres Jakarta Selatan, di dekat Blok M. Kami digiring untuk dibawa ke lantai tiga. Di setiap tangga yang kami lalui mereka menyiagakan pasukan, berjejer berdiri rapat tanpa terputus. Mereka melakukan pengamanan begitu ketat. Mereka berpikir kami penjahat berbahaya dan penghianat bangsa yang layak diperlakukan seperti itu.

PRD(Foto: Dok. Petrus Hariyanto/repro buku "Renetil, Lha Luta Libertasaun Timor Lorosa\'e)

Dan setelahnya, tidak hanya penyidik dari Polres Jaksel, tetapi dari berbagai kesatuan intel militer, berebut mengintrogasi kami. Sebuah malam yang panjang dan menegangkan buat aku, Wilson, Puto karena menyandang tugas sebagai koordinator aksi tersebut. []

*Petrus Hariyanto, Mantan Sekjen PRD
Bagian 11 dari cerita berseri "Kisah-kisah di Balik Jeruji Besi"


Berita terkait
LP Cipinang, Kisah Saat Dibesuk, Kopi Campur Autan, dan Kebutuhan Seks
Kisah Petrus Hariyanto, mantan Sekjen PRD, ketika mendekam di LP Cipinang sebagai tahanan Orde Baru karena dituding makar.
Hari Kedua di LP Cipinang, Seharian Kami Tak Makan
Hangatnya mentari telah membangunkanku dari tidur lelap, hari kedua di LP Cipinang. Sinarnya begitu leluasa menerobos ke ruang sel.
Disiksa Dulu Sebelum Masuk ke LP Cipinang
Kisah Petrus Hariyanto hari kedua menjalani tahanan di LP Cipinang. Bagian 3 dari cerita berseri Kisah-kisah di Balik Jeruji Besi.
0
Penduduk Asli Pertama Amerika Jadi Bendahara Negara AS
Niat Presiden Joe Biden untuk menunjuk Marilynn “Lynn” Malerba sebagai bendahara negara, yang pertama dalam sejarah Amerika Serikat (AS)