Disiksa Dulu Sebelum Masuk ke LP Cipinang

Kisah Petrus Hariyanto hari kedua menjalani tahanan di LP Cipinang. Bagian 3 dari cerita berseri Kisah-kisah di Balik Jeruji Besi.
Tempat nongkrong di depan kamar nomor 3 di LP Cipinang (Foto: Dok. Petrus Hariyanto)

Oleh: Petrus Hariyanto*

Untuk mengatasi perut keroncongan aku menyiasatinya dengan tidur. Tetapi aku gagal memejamkan mata, yang ada justru aku lebih sering mengaduh. Selain lapar perut juga terasa perih.

Terdengar suara Victor memanggilku.

"Bung, ayo kita makan. Voorman (pemuka) blok ini mengajak kita dan Pak Mochtar makan bareng. Cepetan ya karena setelah magrib pintu sel akan ditutup!" pinta anak muda berdarah Timor Leste ini.

Ajakan makan itu sungguh membuat aku lega. Sebentar lagi akan menemui makanan yang lezat. Terbayang aku akan makan dengan lahap. Entah berapa piring yang akan aku santap agar mampu memuaskan laparku.

Rupanya Pak Mochtar juga bergegas ke kamar nomor satu dengan menenteng tiga tumpuk rantang.

"Istriku baru saja kirim kemari. Ayolah kita makan ramai-ramai! Kalau cuma yang di rantang ini tidak cukup untuk makan berempat. Istriku tidak tahu kalau aku bersama kalian," ujarnya kepadaku.

Yang mengundang makan seorang napi bernama Andi. Wajah dan kulitnya putih bersih, tak ada tanda-tanda menakutkan sebagai napi kriminal. Yang membuat aku heran lagi, dia pemuka blok. Semacam kepala suku di blok. Dia pimpinan para napi di blok 3E. Dalam hati aku bertanya apa yang menyebabkan anak muda ini masuk penjara?

"Ayo silahkan makan. Kami tahu kalian belum makan sejak malam pertama datang. Ya begini, ala kadarnya makanan di penjara. Kami yang masak lho, ini bukan dari dapur penjara," ujarnya dengan ramah.

Aku langsung mengambil nasi sepiring penuh. Aku ambil juga lauk punya Pak Mochtar. Ketika kutanya itu apa dia jawab namanya arsik, makanan khas Batak, terbuat dari ikan mas yang besar. Baru kali ini aku melihat masakan arsik.

Baca juga: Hari Kedua di LP Cipinang, Seharian Kami Tak Makan

Ketika nasi mulai masuk ke mulutku dan mengunyah, aku hampir muntah. Sekuat tenaga aku menahannya, takut menyinggung tuan rumah.

"Rasa nasinya apek ya? Nanti kalau sudah sering memakannya, rasanya akan biasa saja. Berasnya dicuci sampai sepuluh kali lho. Biar terlihat putih dan tidak terlalu apek," ujar Iwan Lecek teman Andi sekamar.

Dalam bayanganku beras dicuci sampai sepuluh kali apa masih ada nilai gizinya? Kata mereka beras itu dibeli dari oknum di dapur. Setiap hari mereka datang ke blok menawarkan beras, sayur-mayur, daging. Barang barang itu bisa disebut barang curian. Harganya miring, lebih murah dari harga di warung bang Jon.

Itulah kenapa para napi berebut ingin menjadi tamping dapur, bisa nyari tambahan penghasilan. Selain itu, setiap tanggal 17 Agustus mereka mendapat remisi karena dianggap berkelakuan baik, mau membantu pekerjaan birokrasi penjara.

Untuk menjadi tamping tidak sembarang napi bisa. Yang utama mampu menyogok birokrasi penjara. Sebagai tamping dapur mereka juga mendiami sel yang ada di dapur. Blok dapur bersebelahan dengan blok kami 3E dan 3F. Masuk golongan blok yang kehidupannya tidak keras.

Akhirnya, nasi sepiring pun habis ludes. Selain lapar, aku menyiasatinya dengan menambahkan arsik sebanyak mungkin di setiap nasi yang kukunyah. Rasa nasi yang tak enak itu lumayan tertutupi oleh lezatnya arsik. Begitu kuat bumbu yang membalut ikan mas itu.

Usai kami makan tak lama kemudian Andi sang voorman didampingi Iwan Lecek berkeliling ke blok sambil meminta para napi masuk ke selnya masing-masing. Setelah semua anggota sel masuk, lalu pintu akan digembok dari luar.

Kami pun bergegas dan masuk ke sel. Setelah pintu dikunci, kami akan tetap berada di dalam kamar sampai pukul enam pagi besok harinya. Dari dalam kami sudah tidak mampu melihat langit lagi. Bagaimana indahnya bintang dan rembulan bersinar tak bisa kita nikmati lagi. Entah sampai berapa kali purnama lagi kami akan seperti ini?

Obrolan Pengantar Tidur

Malam ini adalah malam kedua kami berada di LP Cipinang. Kami patut bersyukur karena baru saja lambung kami terisi nasi. Tidak seperti tadi malam, kami harus cepat-cepat pergi tidur karena kelaparan.

Saatnya sekarang menikmati suasana malam di penjara. Kami duduk bertiga di ruang depan sambil merokok. rasanya begitu nikmat. Berbeda dengan tadi siang, merokok terasa hambar.

Kalau soal rokok, masing-masing dari kami membawa stok begitu banyak sekali. Aku sendiri stok rokoknya cukup sampai sepuluh hari ke depan.

"Kamu kok bisa tertangkap? Di daerah mana kamu tertangkap? Sama siapa kamu tertangkap?" tanyaku ke Putut.

Nama lengkapnya Ignatius Putut Ariontoko. Paling muda di antara kami. Menurut pengakuannya dia belum lama menjadi anggota SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) Cabang Purwokerto. Dia kuliah di Universitas Jenderal Soedirman, dan aktif di kelompok mahasiswa pecinta alam.

Dikirim ke Jakarta untuk menghadiri Deklarasi PRD (Partai Rakyat Demokratik) pada tanggal 22 Juli 1996. Naasnya, dia lantas tak bisa langsung pulang karena tak ada ongkos. Ketika meletus "Peristiwa 27 Juli" ia terjebak di Jakarta dan ikut dalam pelarian dengan kami semua. Putut tidak sendirian, banyak anggota dan pengurus dari daerah yang seperti dia.

"Aku bersembunyi bersama Garda Sembiring, Damianus Pranowo dan Victor da Costa. Kami tinggal di kos-kosan sekitar UI (Universitas Indonesia). Tepatnya di kos milik temannya Garda, mahasiswa teknik UI," katanya.

"Dini hari tanggal 12 Agustus 1996, kami tertangkap. Proses penangkapannya brutal sekali. Pintu langsung didobrak. Mereka langsung memukul dan menginjak tubuh kami. Kami diseret dan dimasukan ke dalam mobil. Mata kami ditutup dan dibawa dengan mobil ke suatu tempat yang rahasia," ungkap Putut.

"Tempat itu markas BIA (Badan Intelejen ABRI). Mataku tidak ditutup, sehingga aku tahu dibawa kemana. Setelah perempatan Kantor Harian Republika mobil belok kanan. Sekitar dua ratus meter belok kiri jalannya agak menanjak. Nama daerahnya Pejaten. Beberapa saat kemudian mobil berhenti di sebuah wisma bernama Soedirman. Pintu gerbang dibuka, setelah aku masuk ke dalam pintu langsung ditutup lagi. Rupanya aku masuk ke tempat yang begitu rahasia," ujarku menimpali ucapan Putut.

Petrus HariyantoTaman di depan sel sebagai tempat nongkrong (Foto: Dok. Petrus Hariyanto)

Akupun bertanya kembali kepada mereka karena selama sama-sama disekap di sana tidak pernah bertemu.

"Kalian disiksa ya?"

"Wah iya. Seringnya saat intrograsi. Bila jawabanku tidak berkenan mereka akan ringan tangan. Kepalaku pernah ditusuk dengan ballpoint. Mereka menampar dan memukul keningku," ujar Ken Ndaru dengan nada emosi.

"Aku lebih parah lagi. Baru awal intrograsi aku sudah disetrum dengan alat genggam sebesar bungkus rokok."

"Mereka juga sering memukulku di bagian rusuk, lambung, ulu hati, dan telinga."

"Yang membuat aku takut dan trauma setiap malam mereka selalu berteriak-teriak. Mereka katakan "patahkan kakinya", "buang saja mayatnya", "buang saja mayatnya pakai tikar"," ungkap Putut dengan wajah marah juga.

Selama ditahan di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, menurut Ken Ndaru mereka mendapat perlakuan yang tidak manusiawi.

"31 Agustus, kami mengajukan Victor untuk berobat ke rumah sakit. Ia sakit parah, sedikit banyak imbas penyiksaan dan intrograsi yang tidak manusiawi di BIA. Tanggal 13 November ia dilarikan ke rumah sakit, itupun karena desakan kami semua. Penyakitnya sudah begitu gawat. Kami yakin kalau tidak segera dibawa ke rumah sakit, Victor akan lewat," ujar Ken Ndaru dengan wajah bersedih.

"Aku sudah membaca di media kalau penyiksaan yang kita hadapi telah dilaporkan ke Komnas HAM oleh TPHKI (Tim Pembela Hukum dan Keadilan Indonesia). TPHKI adalah gabungan lawyer dari berbagai LSM dan IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia) yang akan mendampingi kami. TPHKI mengadu dua kali. Yang pertama tanggal 26 September, dan yang kedua pada tanggal 15 November, dua hari setelah Victor mendapat perawatan medis di Rumah Sakit Muhammadiyah," ujarku menimpali perkataan Ken Ndaru.

Saat itu Abdul Hakim Garuda Nusantara SH, LLM dari Elsam mengatakan kepada Marzuki Darusman (anggota Komnas HAM) kalau aktivis PRD mendapat siksaan berat dari aparatur BIA. Garuda meminta Komnas HAM turun langsung dan menjumpai para tahanan di Kejagung dan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Beberapa hari kemudian mereka mengunjungiku di Gedung Bundar (Kejaksaan Agung). Sebelumnya mengunjungi Budiman cs di Gedung Pidum. Mereka masuk ke kamar selku untuk memeriksa kondisiku.

Baca juga: Saat Pertama Masuk LP Cipinang

"Nah ini dia orang kedua PRD. Apa benar kamu ditahan di BIA sebelum ditahan di sini?" tanya Marzuki Darusman.

Marzuki Darusman tidak sendirian, ia didampingi Asmara Nababan dan Clementino Dos Reis Amaral, Bambang W Soeharto dan Sugiri.

Pertanyaan mereka langsung aku sambar.

"Saya disekap di BIA sejak 11 Agustus sampai tanggal 17 Agustus, menjelang dini hari. Mereka memperlakukan aku dengan tidak manusiawi. Pemeriksaan pertama digeber selama 26 jam nonstop, tanpa henti dan istirahat," ungkapku penuh semangat

Aku juga menceritakan selama diintrograsi selalu dicaci maki, ditekan, bahkan diancam dengan pistol.

"Mereka mengancam akan menghabisi keluargaku di Ambarawa kalau aku tidak mau kooperatif. Mereka katakan di sini tidak berlaku hukum. Tidak pernah ada yang bisa lolos kalau sudah masuk di sini," ujarku meniru perkataan petugas yang menginterogasiku.

Mereka lantas mencatat semua pernyataanku. Bahkan Asmara Nababan meminta aku tabah menjalani ini semua. Dari semua anggota Komnas HAM hanya dia yang kukenal. Bahkan kantor LSM-nya di Mampang, setiap malam kami jadikan markas SMID.

Suara Khas di Malam Hari

Suasana telah begitu sunyi. Kamar sel sebelah kiri dan kanan sudah tak terdengar lagi aktivitas para napi. Mungkin mereka sudah terlelap dalam tidur.

Ndaru dan Putut juga sudah mencari tempat untuk berbaring. Dalam kesunyian justru terdengar jelas suara sirine palang pintu kereta api. Suaranya yang khas, seperti lonceng kecil dipukul berkali-kali dengan irama yang sama. Tak lama kemudian terdengar gemuruh suara kereta api. Bila cepat berarti kereta api yang keluar dari Stasiun Jatinegara, bila lambat kereta yang akan masuk ke stasiun peninggalan zaman Belanda itu.

Saat seperti ini membuat aku melamun. Ingat semua kenangan di BIA. Sungguh aku trauma berada di tempat itu. Kini aku mensyukuri sudah berada di sini.

Dua hari lagi, tanggal 12 Desember 1996, sidang akan dimulai. Sungguh bahagia aku akan menghadapi momen itu. Bagiku, proses beracara di sidang pengadilan itu merupakan kesempatan kami berbicara di depan publik. Persidangan itu akan kami jadikan arena perlawanan kepada rezim Ode Baru. Tak sejengkalpun kami surut untuk melawan. []

*Petrus Hariyanto, Mantan Sekjen Partai Rakyat Demokratik (PRD)

*Bagian 3 dari cerita berseri "Kisah-kisah di Balik Jeruji Besi"

Berita terkait
0
Penduduk Asli Pertama Amerika Jadi Bendahara Negara AS
Niat Presiden Joe Biden untuk menunjuk Marilynn “Lynn” Malerba sebagai bendahara negara, yang pertama dalam sejarah Amerika Serikat (AS)