Novel Bagian Lima : Kebas

Saat matahari bersinar terang, tampak jelas tempat pembunuhan Surono itu berada di sebuah bangunan yang ganjil --- Novel Kebas bagin lima.
Ilustrasi Novel Kebas Bagian 5. (Foto: Tagar/Pexels/Pusat Safety)

Kebas

Ditulis oleh Siti Afifiyah*


"Bila kutitipkan resahku pada angin, pastilah angin menyeru badai." – Ahmad Mustofa Bisri


*Genre: crime, thriller, mystery


Satu | Dua | Tiga | Empat | Lima | Enam | Tujuh | Delapan | Sembilan | Sepuluh | Sebelas | Dua Belas


LIMA

Saat matahari bersinar terang, tampak jelas bangunan warteg tempat pembunuhan Surono itu berada di sebuah tempat yang tidak biasa. Tampak ganjil. Bangunan warteg itu terbuat dari batako pada bagian bawah yang seperti ditempel secara asal-asalan. Dan memakai sambungan kayu untuk membuat lantai dua. 

Bangunan semi permanen itu seperti ditancapkan begitu saja di atas reruntuhan bagian depan rumah tua. Pada bagian belakang bangunan warteg, terdapat bagian bangunan rumah tua yang tidak sepenuhnya runtuh. Masih ada sisa-sisa tembok menjorok ke bagian belakang. 

Seno melepas garis polisi berwarna kuning bertuliskan 'dilarang melintas garis polisi', memberi jalan kepada Yuri untuk masuk ke dalam warteg. Yuri tidak langsung masuk ke dalam. Ia melongok ke bagian samping bangunan, "Fyuhhhh, berantakan sekali. Tempat apa ini?"

Kursi, meja, dan rak, berserakan dengan posisi terbalik di lantai. Beberapa ubin terkelupas. Kaca jendela pecah. Tembok kusam. Seperti rumah yang puluhan tahun tak berpenghuni.

"Rumah setan," lirih suara Seno seperti bicara pada dirinya sendiri.

Yuri menengok kepadanya dengan dahi berkerut, "Apa?"

"Orang-orang sini menyebut tempat ini rumah setan. Sedang kita telusuri siapa pemilik asli rumah ini," Seno membuka pintu bercat hijau luntur. Pintu yang begitu dibuka langsung mengarah ke tangga kayu.

"Dan kita belum punya saksi satu pun?" Yuri menatap Seno dengan pandangan menuntut.

Seno mengangguk, sekilas matanya mengarah kepada Rudi Liben, teman sejawatnya, pria berkulit gelap dan berambut ikal, di ujung gang di depan sana, sedang berbicara dengan seseorang. "Kita lagi ambil keterangan orang-orang di sekitar sini." 

Diam-diam Seno merasakan sesuatu yang aneh di tempat ini. Sesuatu yang ia rasakan seperti ketika tadi jam setengah tiga pagi melakukan penangkapan. Sesuatu yang berusaha ia tepis. Ia harus mengedepankan logika. Bukan perasaan. Walaupun demikian, perasaan ganjil itu tidak mau hilang. Sangat mengganggunya. 

Yuri menapaki tangga kayu menuju lantai dua. Matanya menyapu seisi ruangan. Terdapat sketsa dibuat dari kapur putih di lantai. Sketsa Surono. Darah yang mengalir di lantai sudah kering. Ia merasa heran dengan penjelasan Seno di awal. Bahwa sidik jari Cici ada di pisau yang menancap di punggung Surono. Tapi tak setetes pun darah memercik ke baju Cici.

Sesaat kemudian Yuri agak tersentak merasakan pundaknya disentuh seseorang. Beberapa detik berikutnya ia bisa berpikir jernih. Tanpa harus menoleh ia tahu siapa orang yang begitu berani lancang menyentuh pundaknya. Orang dengan aroma parfum mint yang menyengat. Pasti Dame John Hutapea.

Dengan halus Yuri membuat gerakan satu dua langkah ke depan kemudian membalik badan. Mendapati Dame John memberikan senyum terbaiknya. Tapi ia tidak terkesan.

"Memburu berita utama juga?" Dame tersenyum genit. 

Yuri merasa jengah, namun tetap bisa menguasai diri, "Kamu tahu itu bukan aku."

Dame menyentuh sekilas lengan Yuri, "Aku serius. Dame John Hutapea Law Firm selalu terbuka untukmu. Kapan pun kamu siap. Aku tidak sanggup membayangkan kita harus selalu bertarung di pengadilan dan kamu selalu di pihak yang kalah. Kamu tahu kita bisa jadi partner hebat."

"Itu hanya akan terjadi dalam mimpimu," Yuri membuka tas, mengeluarkan setumpuk foto, memberikannya kepada Dame. "Foto yang indah, kamu sudah lihat?"

Dame membuka lembar demi lembar foto Surono yang berlumuran darah dengan perut tersumpal kain. "Baiknya kamu kasih kasus ini ke orang lain. Daripada kamu harus malu dua kali di pengadilan."

Yuri merasa diintimidasi tapi tetap menahan diri. "Setelah ini aku akan bicara dengan anak-anak Cici. Tentunya kamu juga harus tahu kan?"


***


Di lantai bawah, Seno memperhatikan meja panjang yang di atasnya terdapat deretan piring kosong dalam rak kaca. Ia melihat sudut meja bergeser sedikit. Tidak lurus seperti yang ia lihat tadi jam tiga pagi.

Begitu saja intuisi memberinya sinyal tertentu. Tahu- tahu kakinya melangkah mendekati ujung meja. Ia mendorong meja itu. Menyingkap karpet plastik bermotif kembang-kembang. Dan mendapati lantai kayu yang mencurigakan.

Lantai kayu itu tidak rata. Ada kayu berbentuk segi empat yang digergaji pada pinggiran-pinggirannya. Dengan pisau kecil, Seno mencongkel ujung kayu. Kayu terangkat. Ada tangga di bawahnya.

Seno dengan pandangan awas menengok ke kiri dan kanan lalu mendorong kakinya turun ke bawah. Menuruni tangga.

Tangga itu membawanya ke ruang bawah tanah serupa terowongan pengap. Seno menyalakan senter ponsel, memeriksa tiap inci terowongan yang dilewati.

Ia berhenti saat merasakan kakinya menginjak sesuatu. Ia arahkan senter pada sesuatu itu. Kaos biru dengan percikan darah. Seno mengeluarkan plastik bening dari saku jaket. Dengan sarung tangan, ia masukkan kaos itu ke dalamnya.

Detik berikutnya ia menelepon kawannya di Puslabfor, "Segera datang ke sini," pintanya.

Seno menutup ponsel dan serta-merta meraih pistol begitu mendengar suara. Ia berjalan dengan posisi siap menarik pelatuk. Seekor tikus berlari ketakutan menjauhinya. Seno bernapas lega.

Aura di tempat ini sungguh bikin tidak nyaman. Lembap dan suram. Dan ada peti yang biasa digunakan untuk jenazah. Peti itu dalam keadaan terbuka. Kosong. Terdapat bantal dan kasur tipis di dasar peti.

Di ujung terowongan, Seno menemukan kertas cokelat bekas bungkus makanan. Sepertinya makanan baru. Belum basi. Dan botal bekas air mineral. Juga tiga puntung rokok. Seno memeriksa semua tanpa menyentuhnya.

Beberapa saat kemudian pandangan Seno mengarah ke atas. Pada besi penutup pintu kontrol trotoar. Ia mendorongnya kuat-kuat dan menggesernya ke samping. Selanjutnya ia melompat ke atas dan mendapati dirinya berdiri di trotoar Jalan Sudirman di seberang Hotel Sahid.

Seno membalik badan, berjalan cepat ke arah TKP. Mendekati Rudi Liben yang wajahnya penuh tanya. Rudi yang sejak tadi mencari-carinya. Rudi yang baru saja mewawancarai lima orang yang diduga berada dekat TKP saat pembunuhan berlangsung. Rudi memperhatikan keringat bercucuran di dahi Seno.

Seno menyerahkan bungkusan kaos biru berlumur darah kepada Rudi, "Berikan ini ke Puslabfor. Sebentar lagi mereka datang. Kita ketemu di kantor satu jam lagi."

Rudi membiarkan Seno bergegas mendekati jip tua yang terparkir di dekat puing bangunan. Rudi tidak heran. Ia sudah terbiasa dengan spontanitas Seno yang seringkali di luar dugaan.

Enam belas menit kemudian Seno sudah memarkirkan jipnya di halaman Polda Metro. Ia berjalan setengah berlari. Merasa harus secepatnya bertemu Cici Widjati. Namun mendekati lobi, tiba-tiba langkahnya terhenti. 

Sekian detik Seno seperti berada di alam lain. Ia melihat sesuatu yang sepertinya tidak mungkin. Melihat seorang perempuan keluar dari taksi. Perempuan dengan rok panjang dan blazer berwarna cokelat pucat. Dengan sneaker berwarna senada. Rambutnya. Bahasa tubuhnya. Cara berjalannya. Seno mendadak berkeringat dingin. Ya Tuhan. Apakah itu dia? Alya Yahya? Alyaku? []


(Bersambung)


*Pemimpin Redaksi Tagar.id


Novel Kebas selengkapnya klik DI SINI







Berita terkait
Novel Bagian Satu : Kebas
Cici sama sekali tidak meneteskan air mata, melihat Surono, suaminya, tengkurap di lantai dengan bersimbah darah - Novel Kebas karya Siti Afifiyah.
Novel Bagian Dua : Kebas
Kantor majalah online Investigasi di Bandung itu berbentuk ruangan terbuka dengan meja-meja dibatasi sekat pendek --- Novel Kebas bagian dua.
Novel Bagian Tiga : Kebas
Dame John Hutapea merapikan dasi bermotif kotak ungu di depan cermin. Rambutnya yang gondrong ia sisir klimis ke belakang --- Novel Kebas bagian 3.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.