Novel Bagian Sepuluh : Kebas

Seno Aji Perkasa turun dari jip, merapatkan jas lengan panjang anti air, mengeratkan penutup kepala --- Novel Kebas bagian sepuluh.
Ilustrasi Novel Kebas Bagian 10. (Foto: Tagar/Pexels/Pixabay)

Kebas

Ditulis oleh Siti Afifiyah*


"Kusimpan sendiri gelombang geramku dalam laut pahamku." – Ahmad Mustofa Bisri


*Genre: crime, thriller, mystery


Satu | Dua | Tiga | Empat | Lima | Enam | Tujuh | Delapan | Sembilan | Sepuluh | Sebelas | Dua Belas


SEPULUH

Dini hari hujan disertai kilat petir dan angin kencang di Jakarta Selatan. Seno Aji Perkasa turun dari jip, merapatkan jas lengan panjang anti air, mengeratkan penutup kepala. Ia berlari menuju keramaian di dekat ambulans dan mobil patroli di tepi Kali Cideng, Setiabudi. 

Tak lama kemudian Rudi Liben datang menghampirinya. "Apa kita tak boleh tidur?" 

"Tutup mulutmu, Brur," Seno memperhatikan seorang petugas yang sedang mengangkat mayat anak kecil. Mayat itu dimasukkan dalam kantong berwarna oranye. Diletakkan di sebelah kantong mayat satunya lagi. 

Seno berlari mendekatinya. Membuka kantong mayat itu. Seketika darahnya mendidih. Mayat itu adalah Lili. Anak perempuan berusia 7 tahun. Anak Cici Widjati. Jasadnya sudah kaku dengan sumpalan kain di mulut. Seno mencabut sumpalan itu. Melebarkannya. Sapu tangan warna merah dengan motif singa menangis. 

Dengan menahan napas, Seno membuka kantong mayat kedua. Rido. Anak laki-laki usia 9 tahun. Anak Cici Widjati. Ada sumpalan kain di mulutnya. Seno mencabutnya. Sama. Sapu tangan merah dengan motif singa menangis. 

Seno menoleh kepada seorang petugas, laki-laki tinggi kurus dengan telinga lebar. "Siapa yang pertama kali menemukannya?"

Petugas itu menunjuk seorang pria yang sudah ubanan yang sedang berdiri di bawah kolong jembatan, dekat tumpukan sampah plastik yang menggunung. "Namanya Suhandi. Pekerja harian yang membersihkan kali ini. Ia tinggal di kolong jembatan."

Seno mendekati Suhandi, "Jam berapa Bapak menemukannya?"

Suhandi mematikan rokoknya, "Sejam yang lalu. Saya sedang berjalan sambil merokok, tiba-tiba ada suara cukup keras. Dua kali. Seperti suara orang terjun ke kali. Saya mendekati suara itu. Keadaan gelap, tapi saya curiga, saya dekati, saya nyalakan korek api, saya melihat dua karung yang mencurigakan. Sepertinya mereka dilempar dari atas jembatan."

"Bapak melihat orang yang melemparnya?"

"Sepertinya laki-laki. Jauh. Tidak terlalu jelas. Kalau melihat pakaian dan cara jalannya sepertinya laki-laki. Dia buru-buru pergi dengan mobil."

"Bapak melihat pelat nomor mobilnya?"

"Tidak."

"Pakaiannya seperti apa?"

"Seperti jaket loreng yang biasa dipakai tentara. Pakai tudung."

Seno membuka ponsel, menghubungi Leo Ramdan, anggota penyidik dalam timnya, "Tolong telusuri keberadaan Rusdi, kakak Cici Widjati."

Dari kejauhan Rudi Liben berlari di bawah hujan mendekati Seno. "Ada yang melihat nomor mobil tersangka."

Refleks Seno berlari menuju jipnya. Rudi mengikuti. Secepat kilat Seno tancap gas bersamaan petir yang menyambar.

"Kevin Nasution, Jalan Permata Hijau Nomor 34 kebayoran Lama, Jakarta Selatan," Rudi menyebutkan nama dan alamat pemilik pelat mobil yang diduga melemparkan mayat Rido dan Lili ke kali.

Jip berhenti di depan rumah megah dua tingkat dengan banyak pohon palem berderet. Rudi Liben memencet tombol pintu. Tak lama kemudian seorang penjaga membuka lubang kecil di pagar.

Seno menunjukkan lencana. "Polisi. Kami mau bertemu Kevin Nasution."

"Mohon tunggu sebentar," penjaga itu berlari ke pos jaga, menelepon tuan rumah.

Sepuluh menit kemudian penjaga itu membuka pintu pagar lebar-lebar. Jip Seno meluncur ke halaman dalam yang sangat luas. 

Seorang bapak berbaju piyama membuka pintu ruang tamu. Ia tampak masih sangat mengantuk. Ia memperkenalkan namanya Sugiarto Nasution.

Pandangan mata Seno menyapu seluruh isi ruangan. Ruangan luas yang tampak sempit karena terlalu banyak guci dipajang di sana-sini. Guci-guci dalam rak kaca. Seperti toko guci.

Sugiarto memberi isyarat kepada Seno dan Rudi untuk duduk. "Saya ayah Kevin Nasution. Anak saya sedang tidur. Ada yang bisa saya bantu?"

"Tolong dibangunkan. Ada kasus pembunuhan," kata Rudi.

Sugiarto tampak syok, "Pembunuhan?"

Rudi menyodorkan secarik kertas, "Itu mobil atas nama Kevin Nasution. Mobil itu digunakan untuk membuang mayat ke Kali Cideng."

"Ya Tuhan. Benar itu mobil anak saya. Mobilnya hilang dua hari lalu."

"Kami harus bicara dengan Kevin Nasution."

Sugiarto bangkit, "Baik saya bangunkan anak saya."

Beberapa menit kemudian Kevin Nasution muncul sambil mengucek-ucek mata. Seorang anak muda. Seorang mahasiswa. Kulitnya putih pucat. Rambutnya lurus pendek.

"Saya hari ini tidur dari jam delapan karena sakit. Saya ada keluhan asam lambung. Saya bawa tidur cepat. Ayah saya tahu," Kevin menggosok-gosok pahanya yang terbungkus celana pendek.

"Ceritakan bagaimana mobilmu hilang," kata Rudi.

"Dua hari lalu saya lagi makan di restoran. Pas saya mau pulang, mobil saya tidak ada."

Sugiarto menyela, "Anak ceroboh. Dia tinggalkan kunci di dalam mobil."

Kevin menunduk malu. Tidak suka disebut ceroboh di depan orang lain.

Rudi memperhatikan Kevin, "Makan di restoran, sendiri atau bersama teman?"

"Sama teman-teman."

"Teman-teman. Siapa saja?"

Kevin menyebutkan nama lengkap tiga temannya. Rudi mencatatnya.

Setelah Seno dan Rudi pamit pergi, Sugiarto menggerutu, "Polisi bodoh. Apa mereka tidak mencatat laporan kehilangan mobil?"


***


Berdiri di lorong menuju sel tahanan Cici Widjati, Seno Aji Perkasa tampak tak perkasa. Ia menarik napas dalam-dalam. Tak tahu bagaimana cara yang tepat memberi tahu Cici tentang kematian dua anaknya. 

Ia kemudian membalik badan. Mendekati seorang petugas jaga. Memintanya agar membawa Cici ke ruang putih, sebutan untuk ruang pemeriksaan khusus. 

Cici muncul dengan balutan baju tahanan warna oranye. Wajahnya tampak agak tenang.

Seno memberitahunya. Dan kekhawatirannya pun terjadi. Begitu mendengar Rido dan Lili sudah mati, Cici Widjati hilang kendali. Ia menangis meraung-raung kemudian menuding-nuding Seno. 

"Kamu pembunuh! Pembunuh! Gara-gara kamu, dua anakku mati! Kamu bilang akan melindungi anak-anakku. Nyatanya kamu biarkan mereka mati!" Sumpah serapah caci maki berhamburan dari mulut Cici.

Seno dengan segenap ketenangannya berkata, "Cukup! Duduk!"

Dan seperti dihipnotis, Cici menuruti kata-kata Seno.

"Kalau kamu jujur sejak awal, mungkin anak-anakmu selamat," Seno sudah memegang kendali. Sudah mendapat perhatian Cici. "Dan sekarang mungkin kamu menjadi target. Jangan bohong lagi. Ceritakan semuanya."

Sebelum Cici membuka mulut, terdengar suara ketukan pintu. Rudi Liben masuk, mendekati Seno. "Tuhan memanggilmu." Tuhan adalah sebutan untuk atasan Seno.

Seno merasa malas, "Sekarang?"

"Ya."

Seno bangkit berdiri. Rudi Liben mengambil alih tempat duduk Seno. Dan Cici kembali mengamuk, menerjang ke arah Rudi Liben, mencakar dan menggigit. Rudi Liben dengan sigap menangkap kedua tangannya. Memborgolnya.

Seno masuk ke ruangan besar di lantai sembilan. Ruangan Tuhan. Namanya Anton Imam Santoso. Di dalam ruangan ini juga ada Dame John Hutapea. Berdiri paling dekat dengan Anton. Juga ada Tommy Sandi, seorang penyidik seperti dirinya. Juga ada Yuri Catalina. Seno merasa bisa meraba ke mana arah pertemuan mendadak ini. 

Anton Imam tampak menahan kemarahan. Anton sebenarnya sangat mengandalkan Seno. Ia tahu reputasi Seno. Tapi ia tidak bisa begitu saja mengabaikan laporan Dame John Hutapea. Tentang keputusan Seno melepas dua anak Cici dijemput Rusdi, pamannya. Dua anak Cici yang akhirnya mati dibunuh.

Sebelumnya Dame John Hutapea mengancam akan membuat rame atas apa yang dilakukan Seno sebagai kecerobohan fatal. Seorang polisi yang jauh dari kompeten. Seorang polisi yang tidak bisa membaca arah masalah. Tidak bisa membaca arah bahaya. Tidak peka. Tidak tajam. Polisi yang tumpul. Sehingga Cici Widjati yang sudah jatuh, kini tertimpa tangga pula. Penderitaannya bertambah-tambah.

Anton Imam tidak suka keributan, "Mulai sekarang kasus Surono diambil alih Tommy Sandi. Dan kamu Seno, kamu diskors selama tiga bulan sambil menunggu pemeriksaan dewan pengawas."

Seno tidak bicara sepatah kata pun. Ia mendekati Anton Imam, meletakkan lencana dan pistol di meja atasannya itu. Setelah menatap satu per satu orang dalam ruangan, Seno pergi begitu saja.

Anton Imam bertambah geram melihat anak buahnya yang keras kepala itu. Sementara Seno bertekad akan menyelesaikan apa yang telah ia mulai. Yaitu mengusut tuntas kasus pembunuhan Surono, Rido, dan Lili. []


(Bersambung)


*Pemimpin Redaksi Tagar.id


Novel Kebas selengkapnya klik DI SINI





Berita terkait
Novel Bagian Sembilan : Kebas
Nina Yahya menutupi rambutnya yang dicat warna caramel dengan handuk. Ia duduk di depan cermin, mengoleskan pelembab - Novel Kebas bagian sembilan.
Novel Bagian Delapan : Kebas
Psikiater itu seorang perempuan berusia 60 tahun. Namanya Herawati. Bedaknya tebal. Alisnya seperti bulan sabit --- Novel Kebas bagian delapan.
Novel Bagian Tujuh : Kebas
Di ruang pemeriksaan lantai lima Polda Metro, Alya Yahya duduk di kursi dengan posisi agak condong ke depan --- Novel Kebas bagian tujuh.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.