Novel Bagian Satu : Kebas

Cici sama sekali tidak meneteskan air mata, melihat Surono, suaminya, tengkurap di lantai dengan bersimbah darah - Novel Kebas karya Siti Afifiyah.
Novel Kebas karya Siti Afifiyah. (Foto Ilustrasi: Tagar/Pexels/George Becker)

Kebas

Ditulis oleh Siti Afifiyah*


"Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit adalah berharap kepada manusia." - Ali bin Abi Thalib


*Genre: crime, thriller, mystery


Satu | Dua | Tiga | Empat | Lima | Enam | Tujuh | Delapan | Sembilan | Sepuluh | Sebelas | Dua Belas


SATU

Cici Widjati sama sekali tidak meneteskan air mata, melihat Surono - suaminya - tengkurap di lantai dengan bersimbah darah. Sepucuk pisau masih tertancap di punggung Surono. 

Perempuan yang tampak lebih tua dari usianya itu juga tidak memberontak ketika polisi memborgol kedua tangannya. Ia malah tersenyum samar. Merasa telah bebas. Lepas dari segala penderitaan.

Sesaat kemudian senyum samarnya lenyap, berganti perih melihat dua anaknya yang masih kecil, Rido dan Lili, menangis sesenggukan. 

"Izinkan saya bicara kepada anak saya," pelan suara Cici kepada Seno Aji Perkasa, penyidik yang memutuskan untuk menahannya. 

Seno, pria berbadan tinggi tegap, berkaos putih berlapiskan jaket hitam, itu mengangguk dingin, "Ya. Silakan." 

Dengan kedua tangan diborgol, Cici mendekati Rido dan Lili. Kedua anaknya itu memeluknya erat.

"Jangan khawatir, Sayang. Kalian tahu pasti ibu tidak mungkin melakukan hal demikian. Ini hanya salah paham. Ini tidak akan lama. Kalian baik-baik sama nenek. Ibu akan segera pulang," bisik Cici kepada mereka.

Seno memberi isyarat kepada anak buahnya yang berseragam polisi agar segera membawa Cici ke Polda Metro. Sebelum banyak wartawan datang. Ia tidak menyukai publikasi. Tak punya satu pun akun media sosial.

"Ayo, Bu," polisi berseragam berkata di samping Cici. 

Rido melepas tangan ibunya dengan berat. Lili mencengkeram daster Cici dengan sangat kuat. 

Cici berkata di telinga Lili, "Nenek akan mengantar kakak dan adik mengunjungi Ibu. Jangan takut." Cici membiasakan Lili memanggil Rido yang berusia sembilan tahun dengan sebutan kakak. Membiasakan Rido memanggil Lili yang berusia tujuh tahun dengan sebutan adik. Walaupun demikian, Rido dan Lili saling memanggil nama masing-masing.

Dua polisi membimbing Cici menuruni tangga kayu. Turun ke lantai satu, melintasi meja panjang dengan piring-piring kosong berderet dalam rak kaca. Di dinding bagian kanan terpampang tulisan 'Warteg Berkah Jaya'. Di dinding sebelah kiri terpampang jam menunjukkan pukul setengah tiga pagi.

Cici didorong masuk ke dalam mobil yang terparkir di tepi jalan depan warung.

Rido dan Lili menangis. Tangan mereka digenggam Seno yang berusaha menenangkannya.

Seno berjongkok ke arah Rido dan Lili, "Pak Polisi akan mengantar kalian ke rumah nenek di Tegal. Tapi sebelum berangkat ke sana, kita mampir sebentar ke kantor."

Seno berusaha menggunakan bahasa sehalus mungkin. Tapi dalam pikirannya, ketajamannya sebagai seorang penyidik: Rido dan Lili adalah juga tersangka. Bukan hanya Cici yang tersangka. Karena di tempat pembunuhan Surono, ditemukan ibu dan dua anak ini.

Beberapa petugas dari tim pusat laboratorium forensik masih berada di lantai atas. Di ruangan yang sempit yang semakin terasa sesak. Mereka semua menggunakan sarung tangan, berada di sekitar Surono yang sudah menjadi jenazah. 

Seorang petugas memotret mayat Surono dari berbagai sudut. Surono yang mulutnya disumpal kain itu berkulit sawo matang. Berkumis tipis. Rambutnya lurus. Tinggi 160 sentimeter. Bentuk wajahnya kotak. Memakai kaos merah dan celana hitam.

Petugas itu membuat gerakan hati-hati. Memastikan jangan sampai dirinya menginjak simbahan darah.

Petugas lain mencabut pisau dari punggung Surono. Memasukkannya dalam plastik. Ia kemudian mencabut kain dari mulut Surono. Kain itu berupa sapu tangan warna merah bermotif singa menangis. Selanjutnya petugas itu membuka tangan kanan Surono yang mengepal kuat. Begitu kepalan tangan itu terbuka, terlihatlah sebuah kalung emas dengan liontin berbentuk bintang.


***


Di sebuah ruangan yang lengang di Polda Metro Jaya, Cici duduk dengan wajah pucat dan lelah. Ia sudah lima jam di tempat ini.

Cici sebenarnya cantik, tapi kecantikannya tersembunyi dalam ketidakpeduliannya pada penampilan. Rambut panjang ia gelung dan ikat dengan karet gelang yang biasa ia pakai untuk mengikat bungkusan makanan di warungnya. Badan langsingnya tenggelam dalam daster batik lusuh kedodoran. Wajahnya tidak berjerawat, tapi berminyak. Dan ia bau bawang. 

Setiap hari Cici bangun jam dua pagi untuk memasak macam-macam makanan untuk dagangan di warungnya. Nasi, opor ayam, sayur nangka, tempe tahu goreng, telur balado, gulai jengkol, orek tempe, dan perkedel kentang. 

Ia biasa dibantu dua karyawan. Tapi sudah seminggu terakhir dua karyawannya itu pulang kampung. Yang satu karena ayahnya sakit parah. Satunya lagi karena mau menikah. Seminggu terakhir ini ia sendirian tetap memaksa jualan. Ragam menu makanan yang ia buat semampunya saja. Tidak selengkap saat dua karyawannya ada. 

Rido dan Lili sebenarnya biasanya tinggal di Tegal. Di rumah ibunya. Mereka sekolah di sana. Rido kelas tiga sekolah dasar. Dan Lili kelas satu sekolah dasar. 

Biasanya Cici mengajak Rido dan Lili ke Jakarta pas musim liburan sekolah. Tapi tiga hari lalu, didera kerinduan mendalam, ia meminta kakak lelakinya mengantar mereka ke Jakarta.

Jadilah Cici dan dua anaknya tidur berdesakan di kasur yang ia gelar di lantai atas. Kasur dalam kamar sempit berdinding tripleks.

Sedangkan Surono? Cici sudah membuang jauh-jauh lelaki tak berguna itu. Sebulan lalu ia menendang Surono dari kehidupannya. Tapi Surono kadang datang dan dengan tanpa rasa malu, meminta uang kepadanya. Cici melihat Surono adalah laki-laki tanpa harga diri. Ia senang Surono mati.

Mereka belum bercerai. Mereka pisah rumah tanpa kejelasan. Cici ingin mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, tapi ia terlalu sibuk dengan warungnya. Nanti-nanti saja, pikirnya.

Cici membetulkan letak duduknya. Sementara di seberang meja, Seno sejak tadi mengamati bahasa tubuh Cici. 

"Jadi pas Ibu keluar dari kamar, Ibu mendapati suami Ibu sudah dalam keadaan tengkurap dengan pisau tertancap di punggung?" kata Seno. 

Cici tampak kesal, "Saya sudah bilang tadi. Kenapa pertanyaan sama diulang-ulang?"

"Benarkah Ibu tidak mendengar suara apa-apa?"

Cici menghela napas berat. Rasanya ia ingin menggebrak meja. 

Sebelum Cici membuka mulut, terdengar suara ketukan pintu. Seorang petugas masuk, mendekati Seno, berbisik di telinganya dan kemudian keluar.

Seno mengamati Cici dengan seksama. Sebenarnya Cici menyukai sosok Seno yang kalem dan dingin ini. Tapi ia jengkel diinterogasi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terhitung banyaknya. Banyak pertanyaan sama diulang-ulang pula.

"Jadi Ibu tidak membunuh suami Ibu?" Seno memecah keheningan.

"Tidak," suara parau Cici. Ia tak tahu lagi bagaimana meyakinkan polisi menyebalkan di depannya itu.

"Tapi semua bukti berkata sebaliknya."

"Saya tidak membunuhnya, Pak. Saya tidak tahu bagaimana orang itu tahu-tahu ada di sana," Cici tidak sudi menyebut kata suami atau nama suaminya itu.

Seno mengangkat sebuah kalung emas dengan liontin berbentuk bintang. "Ibu bisa menjelaskan ini?"

"Saya tidak tahu, Pak. Itu bukan punya saya."

"Semakin Ibu banyak menyangkal, semakin mempersulit kerja polisi, semakin berat hukuman yang akan Ibu terima. Ibu bisa dihukum mati kalau terbukti melakukan pembunuhan berencana."

Lidah Cici kelu. Setelah terdiam beberapa saat, ia berkata, "Bagaimana saya mengakui sesuatu yang saya tidak lakukan, Pak?" [] 


(Bersambung)


*Pemimpin Redaksi Tagar.id


Novel Kebas selengkapnya klik DI SINI






Berita terkait
Kisah Kesehatan Mental, Novel The Other Side Diadaptasi Jadi Film
Cerita dari Novel The Other Side sudah banyak menarik rumah produksi untuk mengangkatnya sebagai film layar lebar. Simak ulasannya.
Novelis Abdulrazak Gurnah Pemenang Nobel Sastra 2021
Novelis asal Tanzania, Abdulrazak Gurnah, berhasil meraih Hadiah Nobel Sastra 2021
Film Once Upon a Time in Hollywood, Diadaptasi Jadi Buku Novel
Film yang disutradarai oleh Quentin Tarantino, yakni Once Upon a Time in Hollywood akan diadaptasi menjadi sebuah novel.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.