Novel Bagian Sebelas : Kebas

Tanda penunjuk waktu di laptop bagian bawah sebelah kanan menunjukkan angka 02.15. Laptop itu menyala di atas meja --- Novel Kebas bagian sebelas.
Ilustrasi Novel Kebas Bagian 11. (Foto: Tagar/Pexels/vlad-bagacian)

Kebas

Ditulis oleh Siti Afifiyah*


"Yakinlah, ada sesuatu yang menantimu setelah sekian banyak kesabaran yang kau jalani, yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa betapa pedihnya rasa sakit." – Ali bin Abi Thalib


*Genre: crime, thriller, mystery


Satu | Dua | Tiga | Empat | Lima | Enam | Tujuh | Delapan | Sembilan | Sepuluh | Sebelas | Dua Belas


SEBELAS

Tanda penunjuk waktu di laptop bagian bawah sebelah kanan menunjukkan angka 02.15 dini hari. Laptop itu menyala di atas meja. Bersisian dengan printer dan buku catatan yang terbuka. Sementara Alya Yahya duduk bersila di lantai di samping tempat tidur. Singlet bertali warna burgundy dan celana lentur berbahan katun sepanjang betis membuatnya terlihat seksi tapi tidak vulgar. 

Alya meluruskan kedua tangannya di paha. Dadanya masih naik turun tak beraturan. Ia memejamkan mata. Berusaha mengatur pernapasan. Beberapa waktu terakhir Alya cukup sering mengalami gangguan kecemasan. Kadang ia terlalu banyak berpikir tanpa bisa dicegah. Panik memikirkan hal-hal yang belum terjadi. 

Ia seorang introvert yang tidak mudah menceritakan masalah pribadi kepada orang lain. Kadang kecemasan demi kecemasan menumpuk memenuhi pikirannya. Hingga kepalanya serasa terbakar. Duduk di lantai dengan posisi bersila, fokus pada pernapasan, satu di antara cara yang Alya tempuh untuk mengatasi serangan panik mendadak.

Pertemuan dengan Seno Aji Perkasa sangat mempengaruhinya. Mengguncangnya secara emosional. Di permukaan ia tampak biasa saja. Tampak baik-baik saja. Tapi tidak dengan batinnya. Batinnya bergejolak. Memberontak. 

Ia berusaha mengendapkan ke dasar pikiran, peristiwa yang ia belum memahaminya itu. Ia menerima kenyataan dirinya masih mencintai Seno. Cinta yang tak akan berubah sampai kapan pun. Ia juga berusaha menerima kenyataan bahwa keadaan sudah tak lagi sama. Keadaan sudah terlalu rumit. Ia tidak mau membuat keadaan menjadi lebih kacau.

Saat tak ada kata yang tepat untuk mewakili perasaannya, buliran air bening jatuh dari mata Alya. Butiran bening itu membasahi pipinya. Sekuat tenaga ia menahan diri. Tak mau suara tangisannya didengar adiknya. Alya membenamkan wajahnya ke bantal. Menangis tanpa suara.

Namun serangan panik belum berakhir. Alya merasakan dadanya berdebar-debar hebat. Serangan yang begitu kuat seperti melumpuhkan seluruh persendiannya. Susah payah ia merangkak, menggapai tas yang tergeletak di ujung kasur. Saat tas itu teraih, ia menumpahkan isinya. Kotak bedak, lipstik, kartu pers, satu strip Xanax. 

Ia memungut satu strip obat itu. Xanax 1 mg. Ada sepuluh tablet masih utuh. Ia ambil satu butir. Memasukkannya ke dalam mulut. Mendorongnya dengan segelas air putih. Ia mendapatkan obat itu dari dokter langganannya di Bandung. Dokter Faisal Amir. Dokter yang ia datangi ketika ia mengalami panic attact. Serangan panik yang ia alami sejak melahirkan Kayla dua tahun silam. Serangan itu tidak selalu datang. Kadang-kadang saja. Timbul tenggelam. 

Ketika tulisannya tentang pelecehan seksual anak dipersoalkan keluarga korban, Alya cemas. Kecemasannya bertambah-tambah saat Denny Satria atasannya yang seharusnya melindunginya justru cenderung menyalahkannya. Alya ingin mengundurkan diri dari majalah Investigasi, tapi ia tidak bisa begitu saja pergi. Ia butuh uang untuk membeli makanan. Ia butuh bekerja untuk mendapatkan uang. 

Ia bukan wartawan super dengan banyak jaringan di mana-mana. Ia wartawan biasa saja. Wartawan rata-rata. Yang kalau ia pergi, Denny Satria akan dengan mudah mencari orang lain untuk menggantikan tempatnya.

Dalam situasi pikiran kacau seperti itu Alya mendatangi Dokter Faisal Amir. Dokter yang meresepkan Xanax. Alya menyimpannya dalam tas. Ia bertekad tidak mengkonsumsi obat itu. Hanya menyimpannya untuk berjaga-jaga. Ia tahu efek samping obat itu. Ia tidak mau kecanduan. Tidak mau menjadi tergantung pada obat.

Menjadi yatim piatu sejak umur 15 tahun, kehidupan yang keras menempa Alya. Orang-orang yang dicintainya hilang begitu saja. Lenyap. Ibunya. Ayahnya. Seno Aji Perkasa. Dan kini Seno Aji Perkasa ternyata masih hidup. Seno Aji Perkasa dengan tatapannya yang menghunjam jantungnya. Yang hanya bisa ia lihat. Tak bisa ia sentuh. Seno Aji Perkasa yang membuat pertahanannya runtuh. Ia menelan obat itu.

Kira-kira sepuluh menit kemudian Alya kembali pada ketenangannya. Ia bangkit berdiri, mengganjal bagian bawah meja dengan keset kemudian mendorongnya dengan pelan ke ujung ruangan. Ia lakukan dengan hati-hati supaya tidak berisik. Ia tidak mau Nina dan Candra terbangun gara-gara ulahnya ini.

Sekarang ia mendapatkan satu bagian dinding yang cukup lapang di sisi tempat tidur. Atmosfer yang membuatnya bisa berpikir jernih. Tentang apa tujuannya datang ke Jakarta. Yaitu menulis feature story, karangan khas tentang Cici Widjati. Ia sudah begitu sombong di depan Denny Satria. Meremehkan koresponden di Jakarta. Ia berutang dengan ucapannya. Ia harus membuktikannya.

Seketika ribuan pertanyaan memberondong kepala Alya. Pertanyaan yang menyalakan api semangatnya. Siapa Cici Widjati. Siapa Surono. Bagaimana mereka bertemu. Siapa teman-teman mereka. Dari mana mereka berasal. Bagaimana mereka berada di Jakarta. Mengapa Cici bisa membunuh suaminya. Benarkah Cici membunuh suaminya. Kalau bukan Cici, lalu siapa yang membunuh Surono. Apa motifnya. Mengapa manusia bisa membunuh manusia. 

Alya menghubungkan laptop dan printer, mencetak foto-foto Cici Widjati. Foto-foto itu kemudian ia tempel di tembok secara berurutan berdasarkan tahun. Ia membuat tanda di sana sini yang hanya ia yang mengerti.

Foto-foto itu diambil Alya dari akun Instagram Cici Widjati. Alya pada awalnya tidak menyangka pedagang warteg itu main Instagram. Ternyata yang ia dapatkan sungguh di luar dugaan.

Cici Widjati punya tiga akun Instagram. Dari akun pertama, Alya menjadi tahu Cici pernah menjadi penyanyi dangdut. Dari akun kedua, Alya menjadi tahu Cici pernah menjadi pelayan kafe. Dari akun ketiga Alya menjadi tahu Cici pernah menjadi guru taman kanak-kanak.

Beberapa menjadi tanda tanya besar buatnya. Dari tiga akun itu sama sekali tak ada foto Surono. Juga tak ada foto dua anaknya, Rido dan Lili. Juga tak ada foto yang menunjukkan ia adalah pedagang warteg. Tak ada foto-foto makanan yang biasa dilakukan orang-orang yang hobi kulineran.

Yang juga menarik perhatian Alya, ada tiga perempuan yang sering berada dalam satu frame dengan Cici. Mereka tampak akrab seperti sahabat. Alya sudah mencatat nama tiga perempuan itu. Ia juga sudah menelusuri akun media sosial tiga perempuan itu.

Tiga perempuan itu bernama Tuti Surati, Telni Wilujeng, dan Marti Rahayu. Alya menjadikan mereka sebagai prioritas untuk segera ditemui. Tak ada alamat jelas, tapi Alya tahu apa yang akan dilakukan pada tahap awal.

Alya dengan jemari lentiknya blusukan ke berbagai akun media sosial, mencari jejak digital Surono. Namun yang ia temukan hanya kegelapan. Tak ada petunjuk sama sekali. Yang ia tahu hanya Surono itu suami Cici Widjati. Mereka terpaut usia 15 tahun. Ini berdasarkan pengakuan Cici Widjati kepada polisi.

Di mana Surono tinggal setelah diusir Cici Widjati. Siapa teman-teman Surono yang bisa ditemui. Dari catatan yang ia dapat dari Seno, tak ditemukan KTP pada mayat Surono. Tak ada dompet. Tak ada uang. Tak ada kunci. Kedua saku celana panjang Surono kosong. Mungkin seseorang telah mengambilnya. Siapa. Untuk apa. Kenapa. 

Efek Xanax membuat Alya sangat mengantuk. Kantuk yang tak tertahankan. Ia tertidur dengan posisi kepala rebah di meja. Sebagian rambutnya menutupi papan ketik laptop yang masih menyala. []


(Bersambung)


*Pemimpin Redaksi Tagar.id


Novel Kebas selengkapnya klik DI SINI





Berita terkait
Novel Bagian Sepuluh : Kebas
Seno Aji Perkasa turun dari jip, merapatkan jas lengan panjang anti air, mengeratkan penutup kepala --- Novel Kebas bagian sepuluh.
Novel Bagian Sembilan : Kebas
Nina Yahya menutupi rambutnya yang dicat warna caramel dengan handuk. Ia duduk di depan cermin, mengoleskan pelembab - Novel Kebas bagian sembilan.
Novel Bagian Delapan : Kebas
Psikiater itu seorang perempuan berusia 60 tahun. Namanya Herawati. Bedaknya tebal. Alisnya seperti bulan sabit --- Novel Kebas bagian delapan.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.