Rencana DPR meminta penjelasan kepada Mahkamah Agung perihalnya dikabulkannya Peninjauan Kembali (PK) terpidana kasus korupsi sudah tepat. Mahkamah Agung, lembaga yang berjuluk “benteng terakhir peradilan” itu mesti menjelaskan ke publik, apa yang terjadi sesungguhnya dengan putusan PK itu. Dikabulkannya sejumlah PK para koruptor itu membuat publik bertanya: ada apa sebenarnya dengan para hakim agung itu?
Komisi III, komisi yang membidangi hukum telah mengagendakan rapat dengar pendapat dengan Mahkamah Agung pada awal Januari ini. Agenda utama raker meminta penjelasan Mahkamah Agung perihalnya dikabulkannya sejumlah PK yang diajukan para terpidana kasus korupsi yang sebelumnya telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Seberapa pun pun keringanan hukuman yang dijatuhkan para hakim agung melalui sidang PK, itu menyiratkan tidak pekanya Mahkamah terhadap perang melawan korupsi yang selama ini gencar disuarakan, termasuk oleh Presiden Joko Widodo.
Sebelumnya di era Kamar Pidana Mahkamah Agung diketuai Hakim Agung Artidjo Alkostar bisa dikatakan tak ada satu pun kasus korupsi yang dikurangi hukumannya.
Pekan lalu Mahkamah Agung mengabulkan PK yang diajukan mantan Bupati Buton, Sulawesi Tenggara, Samsu Umar Abdul Samiun. Mendapat vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hukuman tiga tahun sembilan bulan penjara, hukuman ini didiskon sembilan bulan oleh hakim PK. Potongan hukuman yang diketuk pada 12 Desember itu serta merta semakin membuat publik bertanya: ada apa dengan MA?
Sebelumnya hal sama terjadi pada mantan hakim konstitusi Patrialis Akbar. Mahkamah Agung, melalui sidang PK, mengurangi hukuman terpidana korupsi kasus suap dari pengusaha impor daging sapi ini dari delapan tahun pidana menjadi tujuh tahun pidana penjara. Selama 2019 tercatat sembilan terpidana korupsi dikurangi hukumannya oleh Mahkamah Agung.
Sebelumnya di era Kamar Pidana Mahkamah Agung diketuai Hakim Agung Artidjo Alkostar bisa dikatakan tak ada satu pun kasus korupsi yang dikurangi hukumannya. Mahkamah menjelma menjadi lembaga yang ditakuti para terpidana koruptor yang mencoba-coba mencari keringanan hukuman lewat mekanisme kasasi atau PK. Alih-alih mengurangi -apalagi menghapus hukuman- Artidjo justru memperberat hukuman para koruptor. Semangat memberantas korupsi dan perang terhadap para koruptor begitu terasa di Mahkamah Agung.
Tapi, seperti telah “diramalkan,” begitu Hakim Agung Artidjo pensiun pada 22 Mei 2018, permintaan PK para terpidana kasus korupsi berhamburan menyerbu Mahkamah. Para koruptor bak melihat setelah “hakim penyikat koruptor” di Mahkamah itu pergi, kini pintu pengurangan hukuman terbuka lebar bagi mereka. Data menunjukkan dari sekitar 26 permohonan PK yang diajukan para terpidana kasus korupsi, 21 diantaranya diajukan setelah Artidjo pensiun sebagai hakim agung.
Putusan hakim memang tidak bisa diintervensi. Hakim dan putusannya bersifat independen, artinya ia “mutlak” melekat pada diri hakim itu sendiri. Bahkan ketua pengadilan atau ketua Mahkamah Agung tak bisa “mengganggu” indepensi seorang hakim. Hakim -hakim yang benar dan baik tentu saja- memutuskan sebuah kasus berdasar fakta hukum dan keyakinannya yang semuanya ia pertanggungjawabkan ke publik, juga Tuhan. Itu sebabnya hakim dijuluki “wakil Tuhan.” Sebutan yang teramat mulia, sekaligus berat.
Melihat fenomena pengurangan hukuman melalui mekanisme PK ini, kita bisa kemudian bertanya: apakah para hakim telah mempertimbangkan dari segala hal atas putusannya itu? Apakah mereka tak paham pengurangan itu juga berdampak pada persepsi publik atas perilaku korupsi? Atau, lebih jauh lagi, apa yang terjadi sebenarnya pada kamar pidana Mahkamah?
Kita tahu korupsi adalah musuh utama bangsa ini untuk maju. Presiden Jokowi dan para menteri beberapa hari lalu, pada Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember, di di SMKN 57, Jakarta, memberi petuah pada para pelajar betapa buruknya korupsi itu, betapa sangat hinanya perilaku korupsi. Dan kini Mahkamah mengurangi hukuman para koruptor itu. []
Penulis: wartawan senior; pengamat hukum