Catatan Kelam Kasus Ayah Perkosa Anak di Jawa Tengah

Jateng punya sederet kasus asusila terhadap anak sepanjang 2019. Perlu ada hukuman maksimal agar predator anak jera.
Ilustrasi. (Foto: Dream.co.id)

Semarang - Angka pemerkosaan ayah terhadap anaknya sendiri di Jawa Tengah (Jateng) cenderung tak mengalami penurunan dari tahun lalu. Sejumlah praktisi hukum mendesak supaya hukum kebiri maupun hukuman mati bisa diterapkan untuk pertama kali di Jateng.

Raut wajah bersalah tak nampak pada terpidana kasus pemerkosaan anak berinisial I Ny. Ia masih terlihat santai usai menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri (PN) Semarang. Pria itu dihukum dengan pidana penjara 13 tahun dan denda sebesar Rp 1,5 miliar.

“Banding,” tegas dia saat ditemui wartawan, sebagaimana diabadikan Tagar, Senin 18 November 2019.

I Ny merupakan oknum notaris asal Denpasar, Bali, yang didakwa melakukan perbuatan asusila terhadap korban dengan inisial T, anak tirinya sendiri. Saat persidangan, jaksa sempat menjerat terdakwa dengan empat pasal sekaligus. 

Pertama, pasal 76 D jo pasal 81 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kemudian kedua, pasal 285 KUHP subsider pasal 289 KUHP dan lebih subsider pasal 290 ayat 2 KUHP. 

Lalu ketiga, pasal 45 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT. Dan keempat, pasal 46 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Kalau ada hukuman mati bisa diberikan itu. Atau bisa juga hukuman kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Perkosaan anak1Oknum notaris asal Bali berinisial I Ny didakwa memperkosa anak tirinya sendiri. (Foto: Tagar/Sigit AF)

Kasus I Ny menambah jumlah perilaku asusila ayah yang tega perkosa maupun berbuat cabul terhadap anak di Jateng. Sebelumnya, data dari Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) menyebutkan sepanjang 2018 ada 9 kasus asusila yang dilakukan ayah terhadap anaknya sendiri.

Jumlah tersebut terdiri dari 10 korban dan 9 pelaku. Sedangkan hingga September 2019 ada 8 kasus terdiri dari 8 korban dan 9 pelaku.

Di antara kasus yang menyita perhatian publik pada tahun ini, yakni kasus ayah berinisial ML yang tega memperkosa anak kandungnya di Kabupaten Blora. Ia melakukan perbuatan asusila selama tiga tahun.

Juga kasus seorang ayah berinisial AL, warga Desa Kaliboto, Kecamatan Bener, Purworejo, tega menyetubuhi anak kandungnya sejak kelas 3 sekolah dasar hingga 6 tahun lamanya. 

Selain itu, ada juga seorang ayah berinisial PRO, warga Sidorejo Lor, Kecamatan Sidorejo, Salatiga mencabuli anaknya sejak korban berusia 10 tahun pada 2014. Terakhir korban sudah berusia 15 tahun.

Yang tak juga hilang dibenak publik adalah kasus seorang ayah berinisial SGN asal Cilacap mencabuli anak tirinya berkali-kali. Ia melakukan perbuatan biadab itu sejak korban berusia 12 tahun dan masih bersekolah kelas satu SMP hingga terakhir berusia 17 tahun.

Tak kalah miris, seorang ayah berinisial AS, warga Desa Tahunan Kecamatan Sale, Kabupaten Rembang tega memperkosa anak kandungnya sendiri yang masih berusia 14 tahun ketika itu.

Terakhir, Polres Purbalingga meringkus Ts warga Kecamatan Karangrejo atas dugaan perbuatan biadab pemerkosaan yang dilakukan terhadap anaknya sendiri, sebut saja YS.

Perbuatan bejat itu tak hanya dilakukan sekali. Menurut keterangan kepolisian, sejak Agustus 2018, pria itu sudah mulai memperkosa anaknya. Tindakan Ts baru terbongkar setelah YS melahirkan anak hasil hubungan mereka pada akhir November 2019 lalu.

Hukuman Mati atau Kebiri

Menyikapi permasalahan ayah yang mencabuli anak, Sekretaris Komunitas Peduli Hukum (KPH) Jateng, Darma Wijaya Maulana, mendesak agar para jaksa penuntut umum dan majelis hakim yang mengadili perkara perlindungan anak, apapun jenisnya, untuk menuntut maupun memutus dengan hukuman paling berat.

Di mata Darma, kasus penistaan terhadap anak di Jateng sangat memprihatinkan, baik dari sisi jumlah kasus maupun hasil persidangan yang tergolong ringan. Di sisi lain, kata dia, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) tak kunjung disahkan oleh anggota DPR RI.

Baginya, para pelaku pelecehan seksual maupun kekerasan lain, semestinya diberi hukaman berat. Ia menegaskan, kalau memang pelaku perkara tersebut terbukti melakukan perbuatan asusila, setidaknya hukuman maksimal atas ancaman hukuman yang ada harus dijatuhkan. 

“Kalau ada hukuman mati bisa diberikan itu. Atau bisa juga hukuman kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik,” tutur Darma Wijaya Maulana, saat dihubungi Tagar, Minggu 29 Desember 2019.

Lebih lanjut dikatakan Darma, mirisnya permasalahan asusila yang dilakukan seorang ayah, bukan hanya menimpa keluarga dari kalangan miskin maupun kalangan ayah tak berpendidikan semata.

Dalam kasus I Ny misalnya. Ia adalah predator anak dari kalangan intelektual. Pelaku tercatat sebagai alumnus doktor ilmu hukum Universitas Islam Sultan Agung atau Unissula Semarang dan alumnus magister kenotariatan Universitas Diponegoro atau Undip Semarang. 

Kasus I Ny hingga kini masih tahap banding di tingkat Pengadilan Tinggi Jateng. Dan kasus tersebut juga berhasil menyita sekaligus menggegerkan publik Jateng, khususnya dari kalangan pemerhati dan aktivis perempuan dan anak.

Terbukti sejumlah lembaga dan organisasi perempuan anak datang mengawal perkaranya selama persidangan di Semarang. Mulai Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak atau Komnas PA Kota Semarang.

Jadi biar para predator tidak sewenang-wenang lagi melakukan tindakan asusila pada anak di Kota Semarang maupun Indonesia.

Perkosaan anak2Kepala Divisi Bantuan Hukum pada LRC-KJHAM Nihayatul Mukaromah. (Foto: Tagar/Sigit AF)

Ada pula aktivis dari Koalisi Masyarakat Peduli Anak dan Perempuan atau Kompar, Komunitas Peduli Hukum atau KPH Jateng. Selanjutnya Karangtaruna Kartini Kota Semarang dan LRC-KJHAM, Komunitas Peduli Hukum (KPH) Semarang. Tak ketinggalan ikut menyoroti para pegiat dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Darma memaparkan sebagaimana pasal 81 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Ia berharap perkara anak, yang nantinya terbukti di pengadilan, agar diberikan tuntutan dan putusan yang paling berat. 

Dengan begitu, pengadilan, kejaksaan, maupun kepolisian, dapat menjadi institusi aparat penegak hukum, yang benar-benar ditakuti oleh predator anak.

“Jadi biar para predator tidak sewenang-wenang lagi melakukan tindakan asusila pada anak di Kota Semarang maupun Indonesia,” tegas pria yang juga Ketua Komunitas Pemerhati Korupsi atau Kompak Jateng ini.

Sementara itu, Kepala Divisi Bantuan Hukum pada LRC-KJHAM, Nihayatul Mukaromah secara terpisah juga menyampaikan harapan serupa. Ia meminta majelis hakim Pengadilan Tinggi Jateng bisa mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 dalam putusan kasus I Ny. 

Menurut Nihayatul, dalam kasus korban seorang perempuan dan anak, paling pas bagi pelaku bisa diberikan pidana tambahan berupa hukuman kebiri. Untuk itu, sekali lagi ditegaskan, melalui kasus Nyoman bisa menjadi tonggak pertama kali penerapan hukuman kebiri tersebut di Jawa Tengah.

“Apapun jenisnya, kalau kasus terhadap perempuan dan anak agar diberi hukuman paling berat,” ujar dia.

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati menyebutkan, di dalam sistem peradilan pidana terpadu untuk kerangka kasus kekerasan perempuan dan anak, negara lewat pengadilan dan aparat pemerintah lain wajib memberikan perhatian pada korban. Sehingga di dalam penanganan kasusnya, korban terlindungi dan tidak mengalami ancaman.

Dengan begitu, lanjutnya, korban bisa leluasa menyampaikan kekerasan yang diterima. Dan yang paling penting pelaku mendapatkan hukuman paling maksimal.

“Perhatian khusus tentu harus diperhatian lantaran ini sudah menyentuh mental si korban,” imbuh dia. []

Baca juga: 

Berita terkait
Predator Anak jika Dikebiri, Muncul Sifat Perempuan
Ketua Kesehatan Indonesia Raya (Kesira) Jawa Timur, dr Benyamin Kristianto MARS membeberkan dampak seseorang yang dikebiri.
LPSK: Hukuman Predator Anak Belum Maksimal
Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai penerapan hukuman maksimal bagi predator anak belum maksimal.
Kak Seto Minta Pemerintah Setujui Hukum Kebiri
Ketua LPAI Seto Mulyadi meminta pemerintah segera memutuskan tindakan hukum kebiri. Mengingat banyaknya kejadian kekerasan seksual terhadap anak.
0
Indonesia Akan Isi Kekurangan Pasokan Ayam di Singapura
Indonesia akan mengisi kekurangan pasokan ayam potong di Singapura setelah Malaysia batasi ekspor daging ayam ke Singapura