TAGAR.id, Jakarta - Antono, alumnus Institut Teknologi Bandung, angkatan 1976 jurusan mesin, mengadukan Yayasan Pembina Masjid Salman (YPMS) ITB ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengaduan berkaitan dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi. Penyalahgunaan wewenang dalam pemanfaatan barang milik negara.
Menindaklanjuti laporan Antono, KPK meminta Irjen Kemendikbudristek (Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi) melakukan tindak lanjut sesuai ketentuan yang berlaku.
Namun, kata Antono dalam suratnya kepada Irjen Kemendikbudristek, diterima Tagar, Rabu, 18 Mei 2022, selang seratus hari kemudian tidak ada tanggapan jelas dari Irjen Kemendikbudristek.
Baca juga : Wawancara Antono Pelapor Dugaan Tindak Pidana Korupsi di Institut Teknologi Bandung
Surat dibuat Antono sepanjang dua halaman dengan lampiran 64 halaman. Dalam surat di antaranya dijelaskan telah diperoleh bukti-bukti awal bahwa sejak tahun 2007 hingga saat laporan ini dibuat pada tahun 2021, YPMS telah menggunakan aset milik negara di ITB berupa tanah dan/atau bangunan yang status resminya adalah BMN (barang milik negara) maupun yang berstatus sebagai kekayaan negara yang dipisahkan. Yaitu lahan dan bangunan-bangunan yang terletak di Jalan Ganesha No. 7 Bandung, berada di blok lahan Ganesha-7.
"Penggunaan BMN oleh YPMS ini adalah sebuah perbuatan melawan hukum, karena dilakukan tanpa memperoleh persetujuan dari Menteri Keuangan c.q. DJKN," kata Antono dalam suratnya.
Surat menyebutkan bahwa juga telah diperoleh bukti awal lebih lanjut bahwa pada tanggal 21 Mei 2019 kedua belah pihak yaitu ITB dan YPMS, telah membuat sebuah perjanjian kerja sama pemanfaatan BMN yang sama yaitu BMN di lahan Ganesha-7, untuk jangka waktu selama 25 (dua puluh lima) tahun hingga tanggal 21 Mei 2044.
Oleh karenanya tindakan YPMS bersama sejumlah pimpinan badan publik ITB selama belasan tahun ini, diduga merupakan sebuah tindak pidana korupsi.
Perjanjian kerja sama antara kedua belah pihak ini (untuk selanjutnya disebut sebagai Perjanjian 2019), juga dibuat tanpa memperoleh persetujuan dari Menteri Keuangan c.q. DJKN.
Berdasarkan ketentuan perundangan mengenai BMN, hanya pihak Kemenkeu saja yang berhak untuk menentukan jumlah penerimaan negara dari setiap pemanfaatan BMN oleh pihak ketiga. Tidak adanya persetujuan Kemenkeu atas pemanfaatan BMN lahan Ganesha-7 oleh YPMS sejak tahun 2007 hingga kini, dapat diartikan sebagai tidak ada pendapatan yang diterima oleh negara dan/atau oleh ITB.
"Oleh karenanya tindakan YPMS bersama sejumlah pimpinan badan publik ITB selama belasan tahun ini, diduga merupakan sebuah tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerugian keuangan negara, serta telah memperkaya pihak lain. Dalam konteks inilah maka kasus ini Pelapor adukan kepada KPK," kata Antono.
Laporan ini baru hanya menaksir jumlah kerugian keuangan negara atas perbuatan melawan hukum terhadap tanah milik negara yang berstatus sebagai BMN saja. Sedangkan jumlah kerugian keuangan negara akibat perbuatan melawan hukum terhadap kekayaan negara yang dipisahkan, maupun jenis-jenis kerugian lainnya, belum diperhitungkan.
Dalam hal ini taksiran jumlah kerugian keuangan negara adalah sebagai berikut:
• Jumlah kerugian materiil: 94,387 miliar rupiah
• Jumlah kerugian potensiil: 393,204 miliar rupiah
Keterlibatan YPMS sebagai entitas badan hukum dan/atau keterlibatan orangorang yang mewakili YPMS dalam kasus Tipikor yang dilaporkan ini, dapat dikategorikan sebagai sebuah tindak kejahatan korporasi. Sehingga oleh karenanya, terhadap YPMS juga dapat dikenakan tuntutan pembubaran yudisial (judicial dissolution).
Ketentuan pada Pasal 62 huruf c dari UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, juga memberikan payung hukum untuk dapat dilakukannya penuntutan pembubaran yudisial tersebut.
Berita ini masih memerlukan verifikasi dari pihak-pihak yang disebutkan dalam surat Antono. []