Jakarta - Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet yakin jika berkaca dari belanja pemerintah pusat pada APBN 2021 yang mencapai Rp 1.951 trilun, pemerintah bisa memenuhi penyetoran modal awal untuk menjalankan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang tercatat pada Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja, meski APBN menyusut akibat pandemi Covid-19.
"Apalagi dalam konteks politik anggaran, penyetoran modal awal untuk jaminan pekerja ini menjadi penting dilakukan pemerintah sebagai upaya dalam menunjukkan keberpihakan kepada kesejahteraan pekerja," kata Yusuf saat dihubungi Tagar, Senin, 12 Oktober 2020.
Pengusaha akan lebih banyak diuntungkan dari skema bagi beban pesangon dalam program JKP.
Namun, dalam menjalankan program JKP ini, kata Yusuf, pemerintah dan perusahaan harus mempertimbangkan skala usaha dalam pembagian pesangon. "Saya kira, pembagian proporsi sebaiknya mempertimbangkan skala usaha, artinya jika skala usaha sifatnya kecil dan menengah pemerintah bisa menanggung porsi yang lebih besar dalam menanggung JKP ini," ucapnya.
Sebab, kata dia, daya saing usaha kelompok tersebut tidaklah besar. "Namun, tentu ini akan menyesuaikan lagi dari kapasitas anggaran nantinya," ujar Yusuf.
Selain itu, kata Yusuf, penting untuk pemerintah mengawasi secara ketat suatu perusahaan terkait pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini mengingat dalam program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) di Undang-Undang Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan, pemerintah turut bertanggung jawab dengan skema bagi beban pesangon dengan perusahaan.
"Dengan pembagian beban ini, pemerintah akan ikut bertanggung jawab apabila misalnya pemerintah tidak bisa menggejot pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, proses pengawasan yang lebih ketat juga terkait pengawasan PHK oleh suatu perusahaan," kata Yusuf.
Sebab, menurutnya, pengusaha akan lebih banyak diuntungkan dari skema bagi beban pesangon dalam program tersebut. "Seperti yang kita tahu siklus bisnis suatu usaha juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pertumbuhan ekonomi yang notabenennya menjadi tanggung jawab pemerintah," tutur Yusuf.
Sebelumnya, dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja yang disahkan oleh DPR, Jaminan Kehilangan Pekerjaan menjadi salah satu aturan baru. Untuk menjalankan program ini, pemerintah turut menggelontorkan dana paling sedikit Rp 6 triliun yang bersumber dari APBN.
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto mengatakan UU Cipta Kerja tetap mengatur pesangon dan menambah aturan terkait Jaminan Kehilangan Pekerjaan. "Ada kepastian pembayaran pesangon dan mendapatkan tambahan jaminan kehilangan pekerjaan, dan juga apabila terjadi PHK ada manfaat berupa peningkatan kompetensi ataupun upskilling serta diberikan akses kepada pekerjaan yang baru," katanya dalam konferensi pers virtual di Gedung Kemenko Perkonomian, Jakarta Pusat, Rabu, 7 Oktober 2020.
Senada dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartanto, Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan UU Cipta Kerja lebih memberikan kepastian bahwa hak pesangon diterima oleh pekerja atau buruh dengan adanya skema di samping pesangon yang diberikan pengusaha. Jaminan ini tidak ada dalam UU Ketenagakerjaan.
"Jaminan kehilangan pekerjaan yang manaatnya berupa cash benefit, vocational training, dan pelatihan kerja, ini yang kita tidak jumpai, tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003," ucap Ida. []
- Baca Juga: Besaran Pesangon PHK Turun Jadi 25 Kali Upah
- Pesangon di JKP UU Cipta Kerja Harus Sesuai Skala Usaha