Jakarta - Praktisi Hukum Dicky Siahaan merespons maraknya permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan para pemegang polis asuransi.
Dicky menyarankan agar Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidak ragu mengabulkan permohonan PKPU yang dimohonkan oleh Pemilik Polis Asuransi Jiwasraya dan Asuransi Wahana Artha Life.
OJK hanya berwenang untuk mempailitkan dan bukan untuk memohonkan PKPU dan karenanya tidak seorang pun diperkenankan untuk menafsirkan
"Jika memang fakta-fakta hukumnya kuat sebab sebelumnya Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sudah mengabulkan permohonan PKPU atas Asuransi Jiwa Kresna/AJK yang dimohonkan oleh pemilik polisnya (Putusan Nomor 389/Pdt. Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt. Pst tanggal 10 Desember 2020)," kata Dicky kepada Tagar, Senin, 25 Januari 2021.
Menurut informasi, para nasabah menolak proposal yang diajukan AJK. Sebab, dalam PKPU tertulis Grace Period atau masa tenggang mulai dibayar selama 12 bulan dari tanggal perjanjian perdamaian.
Sementara, dalam table ditulis bahwa pembayaran dimulai Juli 2022, sedangkan dalam skema pembayaran tanggal 7 September 2020 yang diajukan AJK sebelum PKPU sudah disetujui oleh sebagian besar nasabah pemegang 8.054 polis, pembayaran dimulai sejak September 2020.
Dicky mengatakan, PKPU tersebut membuktikan bahwa sebelum putusan terjadi, AJK tidak siap dengan komitmennya untuk bayar polis.
"Sehingga putusan PKPU AJK tersebut tidak sebatas dianggap benar lagi (res judicata pro veritate habetur) tapi sudah benar, tepat dan adil (equum et bonum est lex legum) serta dapat menjadi pegangan dan acuan bagi Pengadilan Niaga dalam memutus setiap permohonan PKPU yang diajukan oleh pemilik polis sekaligus menjadi obat bagi pemilik polis (lex semper dabit remedium)," ujarnya.
Alasan lain Pengadilan Niaga harus mengabulkan permohonan PKPU oleh pemilik polis, kata dia, karena dalam Pasal 50 Undang-Undang No 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian, OJK hanya diberikan kewenangan untuk mempailitkan perusahaan asuransi.
Sementara, pengacara yang menang melawan AJB Bumiputera 1912 dalam perkara wanpresrtasi ini menambahkan, pailit dan PKPU dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU memiliki pengertian, prosedur dan proses yang berbeda.
Lebih lanjut, Dicky menjelaskan, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.
"PKPU adalah sebuah cara yang digunakan oleh debitur maupun kreditur dalam hal debitur atau kreditur menilai debitur tidak dapat atau diperkirakan tidak akan dapat lagi melanjutkan pembayaran utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dengan maksud agar tercapai rencana perdamaian (meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditur) antara debitur dan kreditur agar debitur tidak perlu dipailitkan," tuturnya.
Dicky mengatakan, bahwa adanya perbedaan, prosedur dan proses pailit dengan PKPU tersebut pulalah yang menjadi dasar bagi pembuat undang-undang menamakan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU.
- Baca juga: Asuransi AIA Pailit, Anggota DPR RI Bahas Kasus di Komisi XI
- Baca juga: Asuransi Indosurya Life Berupaya Pulihkan Permodalan
Selanjutnya, jika teks atau redaksi undang-undang perasuransian telah terang benderang dan jelas menyebutkan bahwa OJK hanya berwenang untuk mempailitkan dan bukan untuk memohonkan PKPU dan karenanya tidak seorangpun diperkenankan untuk menafsirkan sekalipun itu OJK karena penafsiran terhadap kata-kata yang jelas adalah penghancuran (interpretatio cessat in claris) dan apa yang telah jelas dinyatakan dalam undang-undang maka itulah hukumnya (la bouche de droit/spreekhuis van de wet).[]