Untuk Indonesia

Paradoks Utang Pemerintah

Paradoks Utang Pemerintah, ulasan Abra el Talattov Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).
Abra el Talattov Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)

Oleh: Abra el Talattov*

Kebijakan fiskal merupakan instrumen pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya Anggaran yang dimiliki untuk menstimulus dan mempengaruhi perekonomian Nasional. Di tengah kinerja pertumbuhan ekonomi yang stagnan dalam empat tahun terakhir ini, penting bagi pemerintah untuk mendesain kebijakan fiskal yang ekspansif sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi. Konsep fiskal ekspansif tersebut diejawantahkan pemerintahan Jokowi – JK dalam bentuk pembangunan infrastuktur yang massif.

Tantangannya, porsi anggaran negara untuk mendanai pembangunan Infrastruktur selama lima tahun (2015-2019) hanya sanggup menutupi 41,3% (Rp1.978,6 triliun) dari total kebutuhan dana yang diproyeksikan sebesar Rp 4.796, 2 triliun sebagaimana yang tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Selebihnya pemerintah mengandalkan kontribusi BUMN (22,2%) dan Swasta (36,5%).

Dengan tantangan keterbatasan anggaran pemerintah untuk membangun infrastruktur ternyata tidak membuat Presiden Jokowi menyurutkan nyali dan bahkan terus berupaya meningkatkan alokasi belanja infrastruktur meskipun harus berhadapan dengan problem defisit fiskal.Secara historis, tren defisit fiskal dalam kurun 5 tahun terakhir mengalami fluktuasi. Tahun 2014 defisit anggaran sebesar 2,25% terhadap PDB sementara tahun 2015 sebesar 2,59% atau tumbuh naik sebesar 0,34%. Kemudian pada tahun 2016 defisit anggaran turun sebesar 0,1% menjadi 2,49%. Pada tahun 2017 kembali mengalami kenaikan 0,02% defisit menjadi 2,51%. Kondisi ekstrim justru terjadi tahun 2018, dimana defisit anggaran berada diangka 1,76% atau turun sebesar 0,75%.

Salah satu misi utama yang ingin dicapai dalam proses pembangunan infrastruktur  ialah mendorong peningkatan daya saing ekonomi nasional. Daya saing menjadi penentu sejauh mana bangsa Indonesia dapat memenangkan kompetisi di level global. Merujuk pada laporan World Economic Forum (WEF) yang berjudul the global competitiveness report, peringkat daya saing global Indonesia pada tahun 2014 berada pada posisi ke-34 dari 144 negara. Sementara itu, indeks daya saing infrastruktur Indonesia menempati peringkat ke-56 pada tahun 2014.

Dengan potret tersebut, Presiden Jokowi melalui program Nawacita berambisi memperbaiki daya saing Indonesia utamanya daya saing infrastruktur Indonesia yang ditargetkan dapat menempati posisi ke-40 di dunia. Melalui peningkatan daya saing, pemerintah mengharapkan terjadinya arus masuk investasi yang lebih banyak sehingga kapasitas dan produktivitas ekonomi domestik pun semakin membesar yang pada ujungnya akan bermuara pada pembangunan ekonomi yang berkualitas.

Masih dalam laporan WEF (2018) yang sama, hasil dari identifikasi beberapa faktor penghambat investasi di Indonesia menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur menjadi problem terbesar ke-4 setelah Korupsi, inefisiensi birokrasi, dan akses pembiayaan. Artinya, urgensi pembangunan infrastruktur baik secara kuantitas maupun kualitas  memang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Pembangunan infrastruktur terbukti sangat relevan dengan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam meningkatkan daya saing ekonomi dan menarik investasi lebih masif.

Beban Utang

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pembangunan infrastuktur merupakan syarat utama memperbaiki daya saing bangsa. Meskipun dengan ruang fiskal yang terbatas, pemerintah tetap harus memutar otak untuk menutup defisit fiskal, yaitu dengan mengoptimalkan pembiayaan utang. Konsekuensinya, terjadi penambahan utang yang cukup sifgnifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Hingga akhir tahun 2018, total utang pemerintah pusat mencapai Rp 4.418,30 triliun atau tumbuh 10,59% dibandingkan tahun 2017 (Rp 3.995,25 triliun). Utang pemerintah yang bersumber dari pinjaman mencapai Rp 805,62 triliun (2018) atau mengalami kenaikan 4,48% dibandingkan tahun 2017 (Rp740,54 triliun). Sementara itu, utang pemerintah yang bersumber dari Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 3.612,90 triliun (2018), naik sebesar 17,75% dibandingkan tahun 2017 (Rp 3.248,93 triliun).

Sementara itu, jika stok utang pemerintah pada akhir tahun 2018 dibandingkan dengan stok utang pada akhir tahun 2014, pertumbuhan stok utang pemerintah pusat mencapai 69,36% dari Rp2.608,78 triliun menjadi Rp4.418,30 triliun. Dalam periode yang sama, stok Pinjaman mengalami peningkatan sebesar 18,90% dari Rp677,56 triliun (2014) menjadi Rp805,62 triliun (2018). Sedangkan stok SBN mengalami kenaikan sebesar 87,08% dari Rp1.931,22 triliun (2014) menjadi Rp3.612,90 triliun (2018).

Kemudian dari struktur utang pemerintah berdasarkan Mata Uang (ekuivalen rupiah), diketahui bahwa proporsi utang pemerintah dalam denominasi Rupiah semakin meningkat dari 56,6% pada tahun 2014 menjadi 57,4% per Juni 2018. Begitupun dengan pangsa utang pemerintah berdenominasi Dolar Amerika Serikat mengalami kenaikan dari 29,1% pada tahun 2014 menjadi 30,8% per Juni 2018.

Sampai saat ini, investor asing masih menjadi pemilik mayoritas stok SBN tradable dengan proporsi sebesar 37,8% per Juni 2018. Di satu sisi, dominasi investor asing pada SBN tradable mencerminkan kepercayaan investor global terhadap kondisi perekonomian domestik. Namun di sisi lain, besarnya porsi kepemilikan asing tersebut mengandung risiko yang tidak kecil karena akan menyebabkan pasar SBN sangat rentan terhadap aksi penarikan dana secara besar dan tiba-tiba atau yang biasa disebut sudden reversal. Dampaknya tentu akan bersifat sistemik terhadap perekonomian nasional karena dalam jangka pendek akan mempengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah.

Di tengah peningkatan utang pemerintah pusat, ternyata diikuti pula dengan kenaikan rasio utang pemerintah terhadap PDB sejak tahun 2012 hingga tahun 2018. Pada tahun 2015 outstanding utang pemerintah mencapai Rp 3.165 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 27,4%. Kemudian pada tahun 2018 akumulasi utang pemerintah menjadi Rp 4.220 triliun atau setara dengan 29,8% terhadap PDB.

Rasio utang pemerintah terhadap PDB merupakan salah satu indikator kesinambungan fiskal yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pengambilan utang. Semakin meningkat rasio utang terhadap PDB maka risiko kegagalan kesinambungan fiskal semakin meningkat. Meskipun rasio utang pemerintah terhadap masih dalam batasan “wajar” mengingat batasan utang yang diamanatkan oleh UU Nomor 17 tahun 2003 adalah 60% dari PBD.

Berita baiknya, rasio utang pemerintah terhadap PDB Indonesia masih lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN seperti Thailand (42%), Filipina (42%), Malaysia (51%), dan Vietnam (62%). Bahkan lebih kecil apabila dibandingkan dengan negara-negara emerging markets lainnya, seperti Brasil (74%), India (69%), Afrika Selatan (53%), dan China (48%).

Utang pemerintah yang dimanfaatkan untuk kegiatan produktif sebetulnya dapat meningkatkan kapasitas ekonomi nasional sehingga berdampak positif terhadap kinerja penerimaan pajak. Salah satu indikator untuk melihat kinerja perpajakan ialah melalui rasio penerimaan pajak terhadap PDB (Tax Ratio). Peningkatan utang idealnya dibarengi dengan peningkatan tax ratio sehingga dapat menjamin pembayaran kewajiban utang di masa mendatang. Sayangnya, peningkatan rasio utang terhadap PDB sejak tahun 2013-2017 berbanding terbalik dengan penurunan tax ratio. Baru pada tahun 2018, tax ratio mengalami peningkatan dari 10,7% pada 2017 menjadi 11,5% pada 2018.

Kebijakan utang di satu sisi berdampak positif dalam meningkatkan pembangunan negara karena adanya naiknya alokasi dana pada sektor pendidikan, kesehatan, transfer daerah dan Dana Desa, dan belanja infrastruktur. Namun di sisi yang lain utang memiliki dampak negatif terhadap risiko pengelolaan APBN misalnya pada peningkatan bunga utang pemerintah.

Untuk mengukur sejauh mana pembayaran bunga utang menjadi beban fiskal maka dapat dilihat perbandingan pembayaran bunga utang baik dengan belanja negara maupun dengan belanja pemerintah pusat. Pada tahun 2014, rasio pembayaran bunga utang terhadap belanja negara sebesar 7,5%.  Rasio tersebut terus meningkat hingga mencapai 11,3% pada APBN 2019. Selain itu, rasio pembayaran bunga utang terhadap belanja pemerintah pusat juga terus meningkat dari 11,1% pada 2014 menjadi 17,1% pada APBN 2019. Data tersebut menunjukkan bahwa pembayaran bunga utang semakin menggerus porsi belanja pemerintah sehingga ada porsi belanja pemerintah lainnya yang dikorbankan.

Dengan uraian perkembangan dan beban utang pemerintah tersebut, terdapat berbagai paradoks antara tujuan dengan realisasi dalam pemanfaatan utang. Kebijakan fiskal ekspansif yang ditopang dengan utang ternyata tidak mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi baik sesuai dengan target APBN apalagi dengan target RPJMN 2015-2019. Utang pemerintah yang digadang-gadang bertujuan untuk belanja produktif terutama infrastruktur ternyata belum berhasil meningkatkan daya saing ekonomi nasional, terbukti dari penurunan indeks daya saing infrastruktur dari peringkat ke-56 (2014) turun menjadi 71 (2018).

Paradoks berikutnya adalah kinerja perdagangan internasional yang makin memburuk ditandai dengan neraca perdagangan yang mengalami defisit pada tahun 2018 (USD 8,5 miliar). Bahkan, neraca perdagangan nonmigas yang menjadi indikator utama daya saing dan produktivitas bangsa justru mengalami penyusutan surplus dari USD 20,4 miliar (2017) menjadi hanya USD 3,8 miliar (2018).

*Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)

Baca juga:

Berita terkait
0
Kesehatan dan Hak Reproduksi Adalah Hak Dasar
Membatasi akses aborsi tidak mencegah orang untuk melakukan aborsi, hal itu justru hanya membuatnya menjadi lebih berisiko mematikan