Untuk Indonesia

Menyoal Dampak Pembangunan Infrastruktur

Menyoal dampak pembangunan infrastruktur. - Ulasan Abra el Talattov Peneliti INDEF
Bendungan Bendo (Foto: Dok. Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR)

Oleh: Abra el Talattov*

Dalam arena debat tahap kedua Pilpres 2019 lalu, tema infrastruktur menjadi isu panas yang dipertarungkan oleh kedua Capres. 

Presiden Joko Widodo sebagai petahana melemparkan sederet klaim prestasi pembangunan infrastruktur yang dianggap memuaskan masyarakat, di antaranya pembangunan jalan desa sepanjang 191 ribu km atau setara 5 kali keliling bumi serta 58 ribu unit irigasi. 

Di sisi lain, Prabowo sebagai penantang menghujani kritikan atas pembangunan infrastruktur yang dinilai tidak efisien dan dilakukan dengan grasa-grusu tanpa feasibility study yang benar sehingga diprediksi utang yang digunakan akan sulit dibayar.

Pembangunan infrastruktur sebagai corak utama yang terkandung dalam jargon Nawacita pemerintahan Jokowi-JK, tentunya menjadi perhatian sentral bagi publik. Sebab, demi menggenjot pembangunan infrastruktur secara masif, pemerintah telah mengalokasikan anggaran infrastruktur dalam APBN dengan nilai yang sangat fantastis yaitu Rp 1.735,5 triliun selama periode 2015-2019. 

Bahkan sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dana infrastruktur yang dibutuhkan sebetulnya diproyeksi mencapai Rp 4.700 triliun. Kontribusi anggaran infrastruktur dari APBN hanya 41,3%, artinya masih ada lagi peran dari BUMN sebesar 22% atau Rp 1.034 triliun dan andil swasta sebesar 36,7% atau Rp 1.725 triliun.

Perbandingan belanja infrastruktur dalam APBN 2019 dengan APBN 2014, ternyata belanja infrastruktur tumbuh melesat sekali hingga 172%, dari Rp155 triliun (2014) menjadi Rp421 triliun (2019). Sedangkan, belanja subsidi energi harus dikorbankan dan menyusut 54% dari Rp 342 triliun (2014) menjadi Rp 157 triliun (2019). Konsekuensi lainnya berupa peningkatan utang pemerintah mencapai Rp 1.959,7 triliun dalam periode 2014-2019.  

Persoalannya, dengan anggaran infrastruktur yang ditopang oleh utang tersebut lalu bagaimana dampaknya terhadap perekonomian nasional?

Melalui pembangunan infrastruktur, Presiden Jokowi mengharapkan terjadinya akselerasi pertumbuhan ekonomi sehingga diharapkan akan mencapai 8% pada tahun 2019. Faktanya, dalam empat tahun perjalanan pemerintahan Jokowi-JK, realisasi pertumbuhan ekonomi tidak hanya gagal mencapai target dalam RPJMN 2015-2019, tetapi bahkan memupuskan harapan dalam setiap APBN 2015-2019. Misalnya, target pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2018 sebesar 5,4%, namun realisasinya hanya 5,17%. 

Ironisnya lagi, di tengah stagnasi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam empat tahun terakhir, negara-negara sekawasan ASEAN justru menikmati pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi 2013-2017 antara lain Myanmar 7,2%, Filipina 6,58%, Vietnam 6,22%, Laos 5,98%, Kamboja 5,7%, dan Malaysia 5,18%.

Kegagalan pembangungan infrastruktur dalam meningkatkan tenaga perekonomian nasional juga terbukti dengan berlanjutnya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Bahkan CAD pada tahun 2018 mengalami lonjakan yang sangat besar yaitu mencapai minus USD 31,1 miliar atau -2,98 terhadap PDB, lebih tinggi dibandingkan CAD tahun 2017 yang mencapai USD 16,2 miliar atau -1,60% terhadap PDB. 

Lebih mencemaskan lagi, untuk pertama kalinya dalam sejarah, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit terbesar mencapai USD 8,6 miliar. Anjloknya kinerja perdagangan tahun 2018 tersebut disebabkan minimnya pertumbuhan ekspor yang hanya 6,7%, sementara kenaikan impor melesat hingga 15,7%.

Orientasi dasar pemerintah menggencarkan pembangunan infrastruktur adalah untuk meningkatkan daya saing perekonomian nasional. Salah satu indikator yang ingin dikejar pemerintah yaitu perbaikan daya saing global (Global Competitiveness Index) Indonesia mencapai peringkat ke-40. Realitasnya, daya saing global Indonesia justru terpuruk dari peringkat 34 pada tahun 2014 menjadi peringkat 45 pada tahun 2018. 

Tidak hanya itu, lebih spesifik dalam daya saing infrastruktur, peringkat Indonesia justru merosot dari peringkat 56 pada tahun 2014 menjadi 71 pada tahun 2018, masih jauh dari target peringkat 40. Fakta ini membuktikan dengan sangat jelas bahwa pembangunan infrastruktur yang digaungkan oleh pemerintahan Jokowi-JK gagal mengangkat daya saing nasional di level global.

Tidak mengherankan di tengah daya saing Indonesia yang terpuruk tersebut, minat investasi global pun menyusut. Pembangunan infrastruktur yang digadang-gadang dapat menyedot investasi lebih banyak ke Indonesia justru menghasilkan kinerja yang berkebalikan. 

Buktinya, realisasi penanaman modal asing (PMA) justru melorot hingga -8,8% dari Rp 430,5 triliun (2017) menjadi Rp 392,7 triliun (2018). Padahal, demi menggenjot investasi di Indonesia, pemerintah juga telah mengeluarkan 16 paket kebijakan ekonomi sepanjang 2015-2018. Namun sayangnya, belasan paket kebijakan ekonomi tersebut masih tidak ampuh meyakinkan investor global untuk menjatuhkan pilihan investasinya ke Indonesia.

Indikator lain yang dapat menggambarkan minat investasi asing di Indonesia misalnya rasio Foreign Direct Investmen/FDI terhadap PDB. Hingga tahun 2018, rasio FDI terhadap PDB di Indonesia ternyata masih 1,7%. Jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Vietnam yang mencapai 7%. Bahkan dibandingkan dengan Thailand (2,9%), Filipina (2,9%), dan Malaysia (2,4%). 

Minimnya penetrasi investasi asing di Indonesia tidak lepas dari rendahnya efisensi investasi yang diukur dengan Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Semakin tinggi nilai ICOR, maka semakin tidak berkualitas investasi di suatu negara karena membutuhkan lebih banyak investasi untuk menghasilkan output yang sama. Saat ini, nilai ICOR Indonesia termasuk tinggi dengan skor 5,5 kalah dibandingkan dengan Malaysia 4,6; Thailand 4,5; dan Filipina 3,7.

Paparan fakta di atas kiranya cukup menjadi dasar bagi publik untuk mempertanyakan dampak pembangunan infrastruktur baik terhadap pertumbuhan ekonomi maupun daya saing investasi pada khususnya. Sebab, apabila pembangunan infrastruktur dengan biaya yang sangat besar tersebut tidak mampu menstimulus perekonomian maka akan meninggalkan risiko yang berat di masa depan terutama risiko warisan utang yang semakin besar. 

Misalnya saja, beban APBN dalam pembayaran bunga utang setiap tahunnya selalu naik tercermin dari porsi pembayaran bunga utang terhadap belanja pemerintah pusat dari hanya 11,1% pada tahun 2014 menjadi 17,1% pada tahun 2019. 

Di sisi lain, kinerja rasio penerimaan pajak terhadap PDB juga belum memuaskan karena hanya mencapai 10,2% pada tahun 2018, kalah jauh dibandingkan Thailand (18,1%), Filipina (17%), dan Malaysia (14,3%).

Dengan beban pembayaran bunga utang yang semakin besar tiap tahunnya di tengah rasio penerimaan pajak terhadap PDB yang rendah maka sudah sepatutnya bagi pemerintahan mendatang untuk lebih berhati-hati lagi dalam mendesain kebijakan pembangunan infrastruktur. 

Meskipun rasio utang terhadap PDB dianggap masih aman karena hanya 30% terhadap PDB, jauh dibawah ketentuan UU Keuangan Negara yaitu 60%. Namun, setiap rupiah pembangunan infrastruktur yang bertumpu pada utang apabila tidak direncanakan dengan cermat dan hati-hati maka hanya akan menjadi bom waktu bagi ketahanan fiskal.

*Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)

Berita terkait