Untuk Indonesia

Mencermati Risiko Utang BUMN

Mencermati Risiko Utang BUMN - Ulasan Abra el Talattov Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
Abra el Talattov Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)

Oleh: Abra el Talattov*

Sepanjang empat tahun pemerintahan Jokowi-JK, peran BUMN tampak lebih dominan dalam upaya pemerintah memperkuat perekonomian Bangsa Indonesia. Andil BUMN semakin signifikan sejalan dengan ambisi pemerintah memperbaiki infrastruktur yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi nasional. 

Selain itu, BUMN juga bernilai strategis karena menjadi salah satu sumber penerimaan negara dalam bentuk pajak, dividen, dan penerimaan negara bukan pajak lainnya. Artinya, pada hakikatnya BUMN sangat fundamental bagi perekonomian nasional.

Di tengah keterbatasan anggaran negara (APBN) dalam membiayai pembangunan infrastruktur yang diestimasi mencapai Rp 4.700 triliun selama periode 2015-2019, kontribusi BUMN dalam mendukung pembangunan infrastruktur juga cukup signifikan yaitu ditargetkan mencapai Rp 1.034 triliun atau 22 % dari kebutuhan anggaran infrastruktur. 

Dana yang besar tersebut dibutuhkan BUMN untuk misi membangun infrastruktur pada berbagai bidang dan sektor utamanya jalan darat, pelabuhan, bandara, kelistrikan, pertanian, industri, pariwisata dan banyak lagi.

Tantangannya, demi merealisasikan berbagai target pembangunan nasional, BUMN bukan hanya harus merogoh kocek dari dana internal, tetapi juga terpacu untuk mencari pendanaan eksternal melalui utang, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri. 

Konsekuensinya, pembiayaan utang BUMN pun meningkat cukup massif sebesar 84,3% dalam empat tahun terakhir, dari Rp 1.299 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp 2.394 triliun pada tahun 2018. Sementara dalam rentang tahunan, peningakatan utang BUMN tertinggi terjadi pada tahun 2018 sebesar 47,5 %.

Pembiayaan utang memang bukan suatu hal yang terlarang bagi BUMN, namun persoalannya sejauh mana peningkatan utang linear dengan kinerja BUMN. Sebab, apabila akumulasi utang BUMN semakin menumpuk tetapi performa bisnis BUMN tidak membaik maka utang BUMN justru akan menyimpan risiko yang justru membahayakan BUMN itu sendiri. 

Sayangnya, kinerja BUMN yang tercermin dari laba hanya tumbuh tipis 1,08 % dari Rp 186 triliun pada tahun 2017 menjadi Rp 188 triliun pada tahun 2018. Selain itu, penambahan ekuitas BUMN juga hanya tumbuh 4,16 % dari Rp 2.380 triliun pada tahun 2017 menjadi Rp 2.479 triliun pada tahun 2018. Di sisi lain, peningkatan aset BUMN mencapai 12,23 % dari Rp 7.210 triliun pada tahun 2017 menjadi Rp 8.092 triliun pada tahun 2018.

Salah satu indikator yang dapat mengukur risiko utang BUMN yaitu debt to equity ratio (DER). Rasio ini menggambarkan sejauh mana porsi utang terhadap modal BUMN. Problemnya, DER BUMN ternyata semakin meningkat dari hanya 0,68 pada tahun 2017 menjadi 0,97 pada tahun 2018.  

Selain itu, rasio utang terhadap aset (debt to asset ratio) juga meningkat dari 0,23 pada tahun 2017 menjadi 0,30 pada tahun 2018. Kedua indikator tersebut menunjukkan bahwa utang BUMN yang terus meningkat tidak diimbangi dengan peningkatan modal serta aset BUMN.

Indikator lain yang juga penting untuk menilai kinerja bisnis BUMN yaitu rasio return on equity (ROE) BUMN, yaitu perbandingan antara laba bersih (net income) dan modal perusahaan (ekuitas). 

Pada 2018, BUMN mendapatkan laba Rp188 triliun, sedangkan ekuitas BUMN mencapai Rp 2.479 triliun sehingga ROE-nya sebesar 7,58 %. Nilai ROE BUMN pada tahun 2018 turun hampir separuhnya dibandingkan pada tahun 2014 yang mencapai 14,12 %.

Bebaskan dari Intervensi

BUMN meskipun memiliki kewajiban dalam pelayanan publik (public services obligation/PSO), tetapi juga berorientasi mengejar keuntungan dan manfaat untuk negara. 

Masalahnya, hingga saat ini BUMN tidak maksimal menghasilkan laba karena masih kentalnya intervensi penguasa untuk kepentingan politik praktis. Apalagi komisaris dan direksi BUMN sangat rentan terhadap penggantian apabila melakukan perlawanan terhadap campur tangan pemerintah dalam operasional bisnis BUMN.

Dengan tagline “Hadir untuk Negeri”, BUMN dituntut profesional dan berdaya saing, tetapi sekaligus harus menanggung beban politik dalam melaksanakan program-program pemerintah. 

Misalnya Pertamina yang diwajibkan menjalankan kebijakan satu harga BBM di daerah-daerah terpencil serta menahan harga premium meskipun sudah tidak mendapatkan subsidi premium lagi. Imbasnya, laba Pertamina pun menyusut 81 % dari Rp 26,8 triliun per triwulan III-2017 menjadi hanya Rp 5 triliun per triwulan III-2018. 

Begitupun dengan PLN yang dipacu untuk merealisasikan program 35 ribu MW yang mengakibatkan PLN harus menanggung kerugian yang semakin besar dari Rp 2,23 triliun per triwulan III-2017 menjadi Rp 17,33 triliun per triwulan III-2018.

Secara yuridis, justifikasi pemerintah memaksa BUMN untuk melakukan misi PSO adalah merujuk pada UUD 1945 Pasal 34 ayat 3 yang menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas fasilitas kesehatan dan pelayanan umum yang layak pada masyarakat. 

Hal ini dijadikan dasar bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan umum di berbagai sektor seperti penyediaan layanan transportasi, infrastruktur ketenagalistrikan, jalan dan lainnya.

Selain itu, dalam UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara pasal 66 menyatakan bahwa pemerintah dapat memberikan suatu penugasan pada suatu BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum. 

Meskipun masih sejalan dengan tujuan pendirian BUMN dalam meningkatkan penyelenggaraan kemanfaatan umum, berupa penyediaan barang dan jasa dalam jumlah dan kualitas yang memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak serta memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional. 

Namun, apabila penugasan tersebut secara finansial tidak fisibel, pemerintah perlu memberikan kompensasi atas semua biaya yang dikeluarkan oleh BUMN tersebut termasuk margin.

Akibat dari kuatnya intervensi pemerintah terhadap BUMN dengan alasan kewajiban PSO bagi BUMN, maka tidak mengherankan jika kontribusi BUMN terhadap penerimaan negara pun tidak bertambah signifikan. 

Penerimaan pajak dari BUMN pada tahun 2018 hanya naik 0,47 % dari Rp 211 triliun pada tahun 2017 menjadi Rp 212 triliun pada tahun 2018. Begitupun dengan penerimaan dividen BUMN yang hanya tumbuh 2,33 % dari Rp 43 triliun pada tahun 2017 menjadi Rp 44 triliun pada tahun 2018. 

Berita baiknya adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari BUMN melonjak 66 % dari Rp 100 triliun pada tahun 2017 menjadi Rp 166 triliun per 2018. 

Melesatnya PNBP BUMN tersebut pun tidak lepas dari faktor keberuntungan akibat kenaikan harga komoditas dunia seperti minyak mentah dan batubara.

Di tengah persaingan bisnis global yang semakin sengit, maka segala bentuk intervensi yang berlebihan terhadap BUMN akan menjadi hambatan utama bagi BUMN untuk dapat bersaing menjadi perusahaan unggul di level regional maupun global. 

Tantangan ke depan adalah bagaimana BUMN dapat lepas dari jerat intervensi politik maupun intervensi penguasa melalui depolitisasi dan debirokrasi sehingga BUMN dapat berlari lebih lincah dalam mengejar ketertinggalan dari para kompetitor. 

Salah satu momentum yang tepat dalam memperbaiki tata kelola BUMN sekaligus memperkuat peran strategis BUMN ialah melalui Revisi Undang-Undang BUMN yang hingga saat ini masih tersisih dalam pembahasan di parlemen.

*Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)

Berita terkait
0
David Beckham Refleksikan Perjalanannya Jadi Pahlawan untuk Inggris
David Beckham juga punya tips untuk pesepakbola muda, mengajak mereka untuk menikmati momen sebelum berlalu