Untuk Indonesia

Tabir Masalah Ketenagakarjaan, Adu Gagasan Cawapres

Menuju debat cawapres Minggu malam 17 Maret 2019. Tabir masalah ketenagakerjaan Indonesia, akan seperti apa adu gagasan cawapres.
Abra el Talattov Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)

Oleh: Abra el Talattov*

Pada arena debat Pilpres 2019 malam hari ini (17 Maret 2019), kedua calon wakil presiden akan beradu gagasan mengenai permasalahan dan solusi kebijakan pada sektor ketenagakerjaan Indonesia. 

Tema ketenagakerjaan sangat krusial untuk diperbincangkan di hadapan publik sebab isu inilah yang menjadi pondasi utama bagi pencapaian kesejahteraan rakyat. Apalagi telah terang amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (2) bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".

Dengan basis mandat konstitusi tersebut, negara berkewajiban menjamin setiap orang mendapatkan pekerjaan dan kualitas kehidupan yang layak demi kemanusiaan. Cita-cita kemakmuran Bangsa Indonesia ini juga telah jauh mendahului konsensus global dalam kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang secara spesifik pada tujuan 8 menghendaki terwujudnya pekerjaan yang layak bagi setiap orang tanpa terkecuali (no one left behind).

Pertama mari kita mendiagnosa persoalan ketenagakerjaan di Indonesia. Dalam periode empat tahun terakhir, jumlah Angkatan Kerja Indonesia meningkat sebesar 7,5 persen dari 121,87 juta orang (Agustus 2014) menjadi 131,01 juta orang (Agustus 2018). 

Dari jumlah angkatan kerja tersebut, jumlah penduduk yang tidak bekerja alias Pengangguran mengalami penurunan sebesar -3,31 persen dari 7,24 juta orang (Agustus 2014) menjadi 7 juta orang (Agustus 2018). 

Dengan membagi jumlah Pengangguran dengan Angkatan Kerja, maka akan didapat rasio Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang mengalami penurunan dari 5,94 persen (Agustus 2014) menjadi 5,34 persen (Agustus 2018).

Di balik penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tersebut, pemerintah tidak boleh cepat berpuas diri karena ada tabir masalah yang perlu kita buka secara lebar. Pertama, penduduk yang masuk dalam kategori Bekerja adalah orang yang melakukan pekerjaan dalam rentang waktu minimal 1 jam hingga lebih dari 35 jam kerja per minggu. Artinya, dengan bekerja 1 jam saja per minggu, seseorang sudah dapat dimasukkan dalam kelompok Bekerja. 

Secara lebih spesifik lagi, orang yang bekerja antara 1-34 jam per minggu disebut Pekerja Tidak Penuh. Sedangkan, orang yang bekerja lebih dari 35 jam per minggu dinamakan Pekerja Penuh.

Ironisnya, di tengah penurunan TPT seperti yang dijelaskan sebelumnya, ternyata kelompok Pekerja dengan jam kerja 1-7 jam per minggu justru mengalami peningkatan hingga 76,67 persen, dari 1,31 juta orang (Agustus 2014) menjadi 2,14 juta orang (Agustus 2018). 

Begitupun dengan kelompok Pekerja dengan jam kerja 8-14 jam per minggu juga mengalami kenaikan sebesar 24,28 persen, dari 4,53 juta orang (Agustus 2014) menjadi 5,2 juta orang (Agustus 2018). Padahal, secara keseluruhan jumlah orang yang Bekerja (1 ≥ 35 jam per minggu) mengalami pertumbuhan sebanyak 8,18 persen, dari 114,63 juta orang (Agustus 2014) menjadi 124 juta orang (Agustus 2018).

Selain melonjaknya jumlah orang yang Bekerja dalam rentang 1-24 jam per minggu tersebut, proporsi mereka terhadap total orang yang Bekerja pun meningkat dari 5,84 persen (Agustus 2018) menjadi 7,34 persen (Agustus 2018). 

Data itu mencerminkan bahwa ternyata penurunan TPT di Indonesia didorong oleh rakyat yang bekerja kurang dari 14 jam per minggu atau yang umumnya disebut Setengah Penganggur. 

Pertanyaannya, dengan jam kerja yang minim ini bagaimana mungkin orang tersebut mendapatkan penghasilan yang cukup untuk mencapai kehidupan yang layak.

Tabir kedua yang perlu disingkap yaitu semakin tingginya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang berlatar pendidikan Universitas, dari 5,65 persen (Agustus 2014) menjadi 5,89 persen (Agustus 2018). Sedangkan TPT dengan tingkat pendidikan Diploma (I/II/III) meski mengalami penurunan dari 6,14 persen (Agustus 2014) menjadi 6,02 persen (Agustus 2018) namun levelnya masih cukup tinggi. 

Fenomena menjamurnya pengangguran terdidik tersebut terkonfirmasi dengan tingginya antusiasme pendaftar calon PNS pada tahun 2018 yang tercatat lebih dari 4 juta orang.

Problem penyerapan tenaga kerja ternyata tidak hanya melanda Angkatan Kerja berpendidikan Perguruan Tinggi, tetapi lebih genting lagi justru Penganggur dari lulusan Sekolah Menengah (SMA dan SMK) juga kesulitan memperoleh lapangan kerja. 

Pada Agustus 2018, masih terdapat 19,19 persen Penganggur kelulusan Sekolah Menengah. Potret ini kembali menegaskan bahwa realitasnya masih terjadi ketidaksesuaian (missmatch) antara pasar tenaga kerja dengan lulusan pendidikan terdidik dan terampil.

Salah satu sektor yang menjadi andalan penyerapan tenaga kerja terlatih dan terampil tersebut adalah sektor industri manufaktur. Masalahnya, kinerja sektor industri manufaktur juga ternyata semakin melempem. 

Indikatornya, pertumbuhan PDB sektor industri manufaktur relatif rendah dan selalu di bawah pertumbuhan PDB. Pada tahun 2018, pertumbuhan sektor industri manufaktur hanya 4,27 persen, lebih kecil dibandingkan laju pertumbuhan PDB nasional sebesar 5,17 persen. 

Lebih memprihatinkan lagi, pangsa industri manufaktur terhadap PDB juga semakin menjauh dari kejayaannya yang pernah menyentuh 29 persen pada tahun 2001, kini terus merosot hingga hanya sebesar 19,86 persen pada tahun 2018.

Tabir masalah yang ketiga berkaitan dengan nasib pekerja yang terkonsentrasi di Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan yang mencapai 35,7 juta orang atau 28,79 persen terhadap total Pekerja di Indonesia. 

Sektor Pertanian secara umum masih menjadi sandaran utama para pekerja, namun di sisi lain performa sektor pertanian malah memperlihatkan kondisi yang tidak menggembirakan. Buktinya, laju pertumbuhan PDB sektor pertanian semakin merosot dari 4,02 persen pada tahun 2015 menjadi 3,91 persen pada tahun 2018. 

Demikian juga dengan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB yang makin menciut dari 13,52 persen pada tahun 2014 menjadi 12,81 persen per tahun 2018.

Memburuknya kinerja sektor industri pengolahan dan sektor pertanian tentunya sangat berpengaruh terhadap kondisi ketenagakerjaan nasional. Sebab, terdapat 43,51 persen Pekerja yang menggantungkan hidupnya pada kedua sektor strategis tersebut. 

Di tengah mencuatnya euforia Revolusi Industri 4.0, tantangan ketenagakerjaan juga bertambah besar karena adanya ancaman otomatisasi industri yang dapat mendistrupsi pasar tenaga kerja nasional. Tekanan ganda berupa penurunan performa sektor industri dan tren otomatisasi industri akan menyebabkan semakin banyaknya angkatan kerja nasional yang tidak tertampung.

Dengan problematika di atas, maka sangat jelas bahwa tantangan ketenagakerjaan yang utama adalah mendorong perbaikan kinerja sektor pertanian dan sektor industri manufaktur. 

Pemulihan sektor pertanian dan sektor industri manufaktur hanya dapat dicapai dengan investasi yang masif baik melalui stimulus fiskal maupun dengan dukungan investasi swasta. 

Tugas maha berat bagi Presiden dan Wakil Presiden mendatang untuk mencari terobosan kebijakan yang secara cepat dapat memacu penciptaan lapangan kerja. Sehingga bonus demografi yang sedang dilalui bangsa Indoensia saat ini tidak berubah bentuk menjadi bencana demografi akibat bertambahnya Penganggur usia muda yang terpinggirkan.

*Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)

Baca juga:

Berita terkait