Nasib Nuri Setelah Sakit Jiwa dan Dipecat dari PNS

Siti Nuri, perempuan berusia 53 tahun itu dipecat dengan tidak hormat dari Aparatur Sipil Negara (ASN) di salah satu dinas di Aceh.
Ilustrasi Penderita Gangguan Jiwa. Menurut Ketua Badan Pembentukkan Peraturan Daerah Periode 2014-2019, KH. Habib Syarif, pembentukan Peraturan Daerah atau Perda Soal Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Jiwa ini penting, mengingat penderita gangguan jiwa di Jabar terus mengalami peningkatan setiap tahunnya yaitu, 20.000 orang pertahun, atau diperkirakan 24 orang per hari. (Foto: Ilustrasi/Ist)

Banda Aceh - Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Kalimat itu sepertinya cocok menggambarkan kondisi yang dialami Siti Nuri. Perempuan berusia 53 tahun itu dipecat dengan tidak hormat dari Aparatur Sipil Negara (ASN) di salah satu dinas di Aceh pada tahun 2015 lalu.

Pemecatan dengan tidak hormat terhadap Nuri dilakukan karena yang bersangkutan mengalami gangguan jiwa. Ia divonis mengalami penyakit Skizofrenia Paranoid pada 2006. Pemecatan Siti Nuri berdasarkan Surat Keputusan (SK) dengan Nomor 888/005/2015 tanggal 10 Juli 2015.

Di sebuah warung kopi di sudut Kota Banda Aceh, Aceh, Senin 16 Desember 2019 sore, perempuan itu tampak sibuk merapikan lembaran-lembaran kertas yang disatukan dalam satu map arsip.

Sosok perempuan tersebut adalah Safiah, adik kandung Siti Nuri. Di warung kopi itu, Safiah mulai menceritakan kisah pilu kakak kandungnya. Di hadapan wartawan, Safiah juga memperlihatkan lembaran-lembaran berkas tentang pemecatan dan upaya protes yang mereka lakukan.

Safiah menuturkan, kakaknya diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun 1984 silam. Mulanya dia ditempatkan di bagian transfusi darah Palang Merah Indonesia (PMI) Aceh. Beberapa tahun kemudian, dia pindah ke Akademi Farmasi Pemerintah Aceh.

Tak lama kemudian, Siti Nuri dipindahkan ke Dinas Kesehatan Aceh. Singkat cerita, pada tahun 2000 ia meminta izin karena hendak melanjutkan pendidikan magisternya. Univeristas Indonesia menjadi tujuan magister Siti Nuri saat itu. Ia mengambil jurusan Ilmu Kimia.

Karena terlahir dari keluarga kurang mampu, Siti Nuri tak memiliki biaya untuk melanjutkan pendidikan S-2 itu. Dia kemudian memutuskan untuk mengajukan beasiswa pada pemerintah Aceh.

Beasiswa tidak cair sehingga thesis S2 tersendat-sendat dan tidak bisa diselesaikan hingga dia stress dan depresi.

Ajukan beasiswa tersebut diterima. Bahkan, Siti Nuri juga mendapat beasiswa dari Bank Dunia. Tentu, hal ini membuat ia gembira dan senang, sehingga memutuskan untuk kuliah di Universitas Indonesia. Namun, petaka untuk Siti Nuri datang pada 2004 saat ia hendak menyelesaikan tugas akhirnya atau thesis.

Beasiswa yang diajukan itu tak kunjung cair, ia tak tahu apa masalahnya. Sedangkan Siti Nuri harus menyelesaikan tugas akhirnya sebagai mahasiswi S-2. Menurut keluarga, di saat itulah Siti mengalami gangguan kejiwaan dan dokter memvonis dia menderita Skizofrenia Paranoid.

Skizofrenia Paranoid merupakan penyakit gangguan otak yang menyebabkan penderitanya mengalami kelainan dalam berpikir, serta kelainan dalam merasakan atau mempersepsikan lingkungan sekitarnya.

“Ada catatan pribadi Siti Nuri menerangkan haknya atas beasiswa yang tidak cair sehingga thesis S2 tersendat-sendat dan tidak bisa diselesaikan sehingga dia stress dan depresi yang berakhir ke gangguan jiwa tersebut,” kata Safiah didampingi kuasa hukum, Herni Hidayati di Banda Aceh, Senin, 16 Desember 2019 sore.

Sakit Jiwa di AcehSafiah, (kiri) adik kandung Siti Nuri saat menceritakan kisah pilu kakak kandungnya kepada wartawan di Banda Aceh, Senin 16 Desember 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Saat ini Siti Nuri berada dalam asuhan adiknya Safiah. Mereka tinggal di kawasan Lambhuk, Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, Aceh. Sesekali, mereka melakukan kontrol ke Rumah Sakit Jiwa Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainal Abidin (RSUDZA).

“Kadang-kadang Nuri kami bawa ke rumah sakit jiwa untuk kontrol, selebihnya di rumah kami yang jaga,” ujar Safiah.

Siti Nuri Semakin Derita

Pemecatan dengan tidak hormat terhadap Siti Nuri semakin membuat ia menderita. Selain tak mendapatkan gaji dari tahun 2000 sampai 2015, ia juga tak mendapatkan hak taspen dan uang rutin pensiun.

“Siti tak mendapatkan hak taspen, uang rutin pensiun, nama baik dan tidak adanya kepastian hukum sebagai warga negara. Seharusnya diberhentikan dengan hormat karena uzur, jika pemberhentian itu turun 2015 maka masa kerja sudah 30 menuju 31 tahun jika dihitung masa kerja 1984,” kata Kuasa Hukum Siti Nuri, Herni Hidayati.

Herni membantah jika Siti Nuri disebutkan melarikan diri dari tugas dengan sengaja. Menurutnya, kliennya menderita schizoprenia paranoid (gangguan jiwa) sejak 2005 silam sehingga tidak dapat beraktivitas sebagaimana biasanya. Siti Nuri juga pernah menjalani pengobatan di Rumah Sakit Jiwa Aceh milik RSUDZA.

Ia menjelaskan, dalam sidang kepegawaian pada 2015 silam, pihak keluarga turut diundang ke dinas terkait untuk memberikan kesaksiannya. Pihak keluarga yang diwakili adik kandung Nuri, Abdullah dan Safiah turut membawa surat keterangan yang dikeluarkan oleh rumah sakit jiwa Aceh.

Siti tidak mendapatkan hak taspen, uang rutin pensiun, nama baik dan tidak adanya kepastian hukum sebagai warga negara.

Namun menurut Herni, hal itu tidak menjadi pertimbangan bagi dinas terkait sehingga yang bersangkutan diberhentikan dengan tidak hormat. Karena itu, pihaknya melaporkan dugaan mal-administrasi tersebut ke Ombudsman RI di Jakarta pada 7 Januari 2019 lalu.

Sakit Jiwa di AcehHerni Hidayati, kuasa hukum Siti Nuri saat menceritakan kisah pilu kliennya kepada wartawan di Banda Aceh, Senin 16 Desember 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Dalam laporan itu, pihak keluarga meminta pemerintah Aceh untuk merevisi SK pemecatan Siti Nuri. Pasalnya, kliennya tidak menjalankan tugasnya karena kondisi jasmani yang tidak memungkinkan, bukan karena sengaja.

“Kita minta SK-nya direvisi dari “diberhentikan dengan tidak hormat” menjadi diberhentikan dengan hormat,” kata Herni.

Namun, pada 17 Januari 2019, Ombudsman RI memerintahkan kantor perwakilannya di Aceh untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus tersebut. Berdasarkan surat itu, pemeriksaan pun dilakukan.

Dalam laporan itu, kata Herni, keluarga korban juga meminta Ombudsman dapat mengabulkan permohonan peninjauan kembali terkait SK pemecatan Siti Nuri secara tidak hormat dari PNS. Hal ini dilakukan agar hak-hak yang bersangkutan sebagai PNS sejak 2000 akan diterima oleh yang bersangkutan.

“Keluarga Nuri merasa keberatan dengan pemecatan tak hormat ini, kenapa tidak ada pertimbangan sedikit pun,” tutur Herni.

Namun, upaya yang ditempuh keluarga Nuri tak membuahkan hasil. Ombudsman RI perwakilan Aceh tak mengeluarkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) yang telah dilakukan terhadap kasus yang menimpa Nuri. Padahal, pemeriksaan sudah dilakukan sejak Januari 2019.

“Ini sudah Desember 2019 tak ada LAHP yang dikeluarkan oleh Ombudsman, biasanya LAHP itu keluar paling telat enam bulan, kenapa ini sudah hampir 12 bulan?,” kata Herni.

Herni menjaskan bahwa adanya perbedaan di internal Ombudsman RI perwakilan Aceh terkait hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh di lembaga pelayanan publik itu. Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Rudi, Asisten Ombudsman RI perwakilan Aceh, disebutkan bahwa ditemukan adanya pelanggaran terkait pemecatan Siti Nuri.

Namun, kata Herni, Kepala Ombudsman Aceh Taqwaddin mengaku tak ada upaya maladministrasi terkait pemecatan Siti Nuri. Ia menganggap pemecatan itu sah dan sesuai prosedur.

“Pak Rudi sebagai Asisten Ombudsman menemukan adanya pelanggaran, sementara Pak Taqwaddin selaku Kepala Ombudsman mengatakan tidak ada pelanggaran dan meminta kasus ini dihentikan, ini yang kita sesalkan,” ujar Herni.

Untuk mengkonfirmasi perihal tersebut, Tagar sudah menghubungi Kepala Ombudsman RI perwakilan Aceh, Taqwaddin, namun tak mendapat jawaban. Begitu juga dengan pesan WhatsApp yang dikirim tak mendapatkan balasan, meskipun sudah dibaca.

Sementara, Asisten Ombudsman RI perwakilan Aceh, Rudi Ismawan menyebutkan, perbedaan pendapat di internal Ombudsman Aceh merupakan hal biasa. Namun, yang akan menjadi rujukan nantinya adalah putusan resmi Ombudsman secara kelembagaan.

“Perbedaan pendapat dalam mengeluarkan opini di Ombudsman hal yang biasa, namun yang akan menjadi rujukan adalah putusan resmi Ombudsman secara kelembagaan,” kata Rudi saat dikonfirmasi Tagar, Rabu 18 Desember 2019.

Ombudsman, kata Rudi, akan segera mengeluarkan LAHP terkait pemeriksaan sebagaimana yang dilaporkan keluraga Siti Nuri melalui kuasa hukumnya. Pasca diadukan, pihaknya memang telah menindaklanjuti laporan dugaan maladministrasi di dinas tempat Siti Nuri bekerja.

“Kita memang akan segera mengeluarkan (LAHP), bukan tidak mau mengeluarkan, dalam dua hari ini surat resmi Ombudsman akan disampaikan ke kuasa hukum,” kata Rudi. []

Baca cerita lain: 

Berita terkait
Ditendang, Perawat Polisikan Wakil Bupati Aceh Timur
Wakil Bupati Aceh Timur diduga menendang salah seorang perawat yang bertugas di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sultan Abdul Aziz Syah Peureulak.
Belum Selesai, Masjid Agung Abdya Dilirik Pengantin
Masjid Agung di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Aceh mulai dilirik oleh banyak pasangan calon suami istri untuk melangsungkan akad nikah.
Sensasi Berburu Batu Akik Aceh Menyusuri Sungai
Gemstone, salah satu nama komunitas pecinta batu akik di Kota Subulussalam, Aceh, tampak masih begitu eksis hingga saat ini.
0
Ini Alasan Mengapa Pemekaran Provinsi Papua Harus Dilakukan
Mantan Kapolri ini menyebut pemekaran wilayah sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.