Bantul - Puluhan anggota komunitas Jumat Soren duduk santai di pinggir Embung Potorono, di Dusun Salakan, Potorono, Banguntapan, Bantul, Jumat, 22 November 2019 sore.
Mereka punya waktu longgar, atau setidaknya meluangkan waktu untuk memeras keringat dengan sepeda ontelnya. Seperti slogan yang diusung komunitas ini, ngepit wanci longgar atau bersepeda saat ada waktu luang.
Jumat Soren tak lain adalah komunitas pengendara sepeda, yang rutin bersepeda atau gowes setiap Jumat sore. Keringat membasahi seragam biru muda dan wajah mereka, tapi rautnya tampak segar, meski mengilap tertimpa cahaya matahari sore.
Sebagian terlihat ngobrol dan bercengkrama dengan sesama anggota komunitas. Sebagian lainnya menikmati pemandangan menjelang senja di embung itu. Beberapa gelas teh manis hangat tersaji di hadapan mereka.
Di sepanjang tepian embung, ratusan bahkan mungkin ribuan ekor ikan nila bergerombol, bermain sambil menunggu warga sekitar memberikan makan.
Di seberang embung, puluhan perempuan muda senam mengikuti alunan musik dangdut koplo dari pengeras suara. Keringat mereka tak kalah banyak dari para anggota komunitas Jumat Soren.
Matahari senja di barat perlahan merayap turun, bersembunyi di balik rindang pepohonan sekitar embung. Tapi, cahayanya masih tertinggal, menemani aktivitas para pesenam dan pesepeda.
Rutin dengan Rute yang Sama
Awalnya komunitas gowes Jumat Soren dibentuk atas inisiatif para penggemar gowes di Kabupaten Bantul, khususnya di Bantul bagian utara dan timur.
Sebelum membentuk komunitas Jumat Soren, para pegowes itu sudah rutin gowes setiap hari Minggu atau hari libur. Tetapi, mereka merasa belum puas, karena rutinitas bersepeda setiap Minggu dianggap sebagai "perang".
Sebelum "perang" dibutuhkan latihan untuk melemaskan kaki dan lutut, sebagai persiapan saat "perang" berlangsung.
"Hari Minggu istilahnya perangnya, nah latihannya selain hari Minggu. Kan kita perlu pelemasan untuk lutut dan kaki. Kita pilih Jumat sore, karena anggota yang kerja, biasanya setengah hari," ujar Ketua Komunitas Jumat Soren, Iyon Haryono, Jumat, 22 November 2019 sore.
Pria yang akrab disapa Om Guru ini mengatakan acara setiap Jumat sore ini sudah hampir dua tahun berjalan. "Dan masih tetap konsisten," kata di.
Pria yang berprofesi sebagai guru SD ini, menjelaskan, hingga saat ini, anggota komunitas sudah mencapai ratusan orang. Tapi, tidak semua anggota bisa ikut kegiatan rutin gowes setiap Jumat sore. Biasanya karena berbenturan dengan kegiatan lain.
Itulah sebabnya, anggota komunitas sepakat untuk menggunakan rute yang sama setiap Jumat sore, yakni dimulai dari Lapangan Wiyoro tepat pukul 16.00 WIB, menuju Jl Pleret - Segoroyoso - Jl Bawuran, Jl Sitimulyo, Kidsfun, Jl Wonosari, dan finish di Embung Potorono sekira pukul 17.00 WIB.
Ada istilah yang akrab di antara anggota komunitas pecinta sepeda ontel atau pit ontel ini. Istilah tersebut adalah Ngawil, istilah yang mereka ciptakan sendiri.
"Kita ada istilah Ngawil, yaitu ngepit wanci longgar (bersepeda saat ada waktu luang). Jadi siapapun yang ada waktu luang bisa langsung gabung. Makanya rutenya tidak pernah berubah, supaya teman-teman bisa nyusul atau ikut di tengah jalan, atau yang sekadar mau ikut ngumpul, bisa nunggu di finish, ngeteh sambil makan gorengan," paparnya.
Sebagian anggota komunitas gowes Jumat Soren berpose di Embung Potorono, Banguntapan, Kabupaten Bantul, Jumat, 22 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)
Bersepeda Long Trip
Selain bersepeda rutin setiap Jumat sore, anggota komunitas ini mengadakan kegiatan gowes dengan trip yang panjang atau long trip. Atau setidaknya, mereka mengirimkan perwakilan untuk mengikuti event gowes long trip.
Salah satu kegiatan long trip digelar pada April 2019 lalu, yang diikuti oleh sekitar 1.500 peserta dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.
"Pesertanya sampai 1.500 orang. Waktu itu kita sekalian pengenalan wisata baru, embung Baturetno, Bantul, sekaligus peresmiannya, termasuk ada pelepasan benih ikan," lanjut Om Guru.
Untuk kegiatan gowes long trip, biasanya disesuaikan dengan waktu luang anggota komunitas. Jika ada anggota komunitas yang tidak bisa ikut pun tidak apa-apa.
Event long trip lain yang diikuti oleh perwakilan Jumat Soren, adalah kegiatan gowes pada Juli 2019 lalu. Tiga anggota komunitas Jumat Soren bersepeda dari Yogyakarta hingga Bali. "Dari Jogja ke Bali, kita ambil momentum berangkatnya. Selama lima hari. Pulangnya kita loading pakai bus," kenangnya.
Event long trip lain yang akan diikuti adalah kegiatan gowes pada Desember 2019 mendatang, yang mengambil rute Yogyakarta-Jakarta. Om Guru sendiri mengaku akan turut dalam kegiatan itu, karena bertepatan dengan waktu libur anak sekolah. "Untuk teman Jumat Soren yang mau ikut, dipersilakan," kata dia.
Gowes, kata dia, selain menyehatkan dan menambah saudara, juga bisa menjadi ajang untuk memperkenalkan obyek wisata, yakni dengan bersepeda ke obyek wisata yang dimaksud.
"Selain gowes kita belum ada kegiatan lain. Untuk kegiatan misalnya pengenalan tempat wisata pun kita lakukan dengan kegiatan gowes," tegasnya.
Umur 63 Tahun Ikut Gowes
Anggota komunitas gowes Jumat Soren bukan hanya mereka yang berusia muda saja. Salah satu anggota yang aktif mengikuti kegiatan bersepeda adalah Kasidi, yang berusia 63 tahun.
Kasidi yang berprofesi sebagai pengusaha kuliner ini dianggap sebagai sesepuh oleh anggota komunitas lainnya. Setiap ada kegiatan atau rencana kegiatan, para pengurus dan anggota komunitas akan meminta pendapatnya.
Kasidi mengatakan, selain rutin bersepeda setiap Jumat sore, dia juga rutin bersepeda bersama komunitas lain setiap Rabu sore. Salah satu alasannya, selain untuk menjaga kesehatan juga mempererat silaturahmi.
"Kita sebagai orang tua cuma mengayubagyo, seduluran (persaudaraan), sekaligus menjaga kesehatan. Kalau saya sudah ada Rebo Soren dan Jumat Soren. Yang pokok itu paling rutin yang Jumat Soren," paparnya.
Meski tidak muda lagi, Kasidi masih sanggup mengikuti kegiatan gowes long trip. Dia mengaku pernah bersepeda dari Yogyakarta sampai Borobudur Jawa Tengah, dan Purworejo.
Pemilik warung soto Gumyak Kang Kasidi di bilangan Jalan Imogiri Timur ini juga merasakan langsung dampak positif bersepeda. Dia sukses menurunkan berat badannya hingga 25 kilogram setelah rutin gowes selama setahun.
"Manfaatnya untuk kesehatan dan tambah seduluran. Dulu saya gendut sekali, berat badan saya 110 kilo, sekarang tinggal 85 kilogram," imbuhnya.
Variasi dan Modifikasi Sepeda
Seorang anggota komunitas gowes Jumat Soren, Teddy, mengendarai cargo bike miliknya di Embung Potorono, Banguntapan, Kabupaten Bantul, Jumat, 22 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)
Hobi bersepeda ternyata bisa diiringi dengan hobi lain, dan mengasah kreativitas, yakni dengan memodifikasi mengubah bentuk sepeda. Beberapa sepeda yang dimodifikasi bahkan bentuknya menjadi sangat berbeda dengan aslinya.
Beberapa pemilik sepeda seakan tidak puas dengan bentuk dan peralatan standar pabrik. Mereka rela mengeluarkan biaya hingga jutaan rupiah untuk memodifikasi sepeda seperti keinginan mereka.
Teddy, 31 tahun, salah satunya. Dia memodifikasi sepedanya menjadi Cargo Bike, yang selain berfungsi untuk mengangkut orang, juga bisa untuk mengangkut barang
"Itu khusus untuk angkut barang, ada yang depan ada juga yang belakang. Jadi ini umumnya di Eropa, karena di Eropa kan pajak untuk kendaraan bermotor itu mahal," jelasnya.
Bukan hanya pajak yang mahal. Beberapa ruas jalan di negara-negara Eropa, kata dia, juga tidak boleh dilalui oleh kendaraan bermotor, sehingga diciptakan cargo bike tersebut.
"Nah, makanya mereka membuat cargo bike tersebut. Saya terinspirasi dari situ. Biayanya untuk full sekitar Rp 9,5 juta," ucapnya sambil menunjukkan cargo bike buatannya.
Awalnya Teddy merasa kesulitan mengendarai cargo bike miliknya. Tapi, setelah dua hari berlatih, dia sudah lancar mengendarainya, bahkan bisa mencapai kecepatan 30 kilometer per jam. "Kalau dipakai gowes nggak repot. Tugasnya bawa barang," tambah Teddy.
Selain digunakan untuk kegiatan gowes bersama teman-temannya, cargo bike itu juga digunakannya bekerja, yakni mengangkut barang belanjaan untuk alat-alat las.
"Saya kan kerja di pengelasan, jadi untuk angkut barang juga, beli bahan, bawa karung. Ini juga bisa buat bak anak di depan. Desainnya saya buat sendiri, tapi berdasarkan foto dari sepeda yang di Eropa. Tapi ukurannya saya sendiri yang bikin," ungkapnya.[]
Baca Juga:
- JogjaBike Kunjungi Kampung Wisata Batik Yogyakarta
- Asyiknya Naik Jogjabike di Malioboro yang Lengang
- Turis Jerman, Gowes dari Malioboro Sampai Paris