Jejak Mak Bidan di Aceh Tanpa Generasi

Di Aceh sebutan mak bidan sudah lama dipakai dan biasanya mak bidan untuk membantu persalinan ibu hamil secara tradisional.
Rumah salah satu Mak Bidan di Kabupaten Aceh Barat Daya. (Foto:Tagar/Syamsurizal)

Aceh Barat Daya – Hujan sore itu sedang tidak ramah bagi manusia bersantai di alam terbuka. Sebab itu, tiga pria dewasa memilih menikmati kopi sambil menunggu hujan reda di sebuah warung kopi pusat kota Blangpidie, ibu kota Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh, Jumat 15 November 2019.

Mereka asik mengobrol sambil sesekali meneguk kopi hitam yang sudah di saring bubuknya. Mengunyah keripik pisang dan kacang goreng dilakukan beberapa saat setelah menyerumput kopi.

Beberapa menit kemudian seorang pria merapatkan tempat duduk. Ini dilakukan untuk memberi ruang teman lain yang baru tiba dan nimbrung bersama. Pria berewokan itu tidak memesan kopi, melainkan teh hangat.

“Baru siap melayat rumah mak bidan Muning. Get that tuboh gobnyan, leuh di tanom dan baca doa hujeun ie troen (baik sekali tubuhnya, setelah dikuburkan dan dibacakan doa hujan langsung turun),” kata pria berewokan ini, dia seakan ingin memberitahu dari mana dia sebelumnya dan mengabari seorang mak bidan telah tiada sore itu.

Informasi yang di bawa pria berbaju oblong panjang lengan hitam ini ternyata berlanjut menjadi topik utama perbincangan sore itu. Mereka saling melempar informasi tentang sepenggal cerita baik mengenai masa hidup mak bidan Muning, maupun mak bidan lainnya di Desa masing-masing.

Dulu mak bidan yang menangani persalinan. Mak bidan yang menangani anak saya yang pertama dan kedua.

Tagar yang saat itu menjadi salah satu dari keempat pria tersebut mendapat banyak informasi tentang jejak mak bidan. Bahasa Aceh, mak adalah sebutan untuk ibu, sedangkan bidan ialah wanita yang mempunyai kepandaian menolong dan merawat ibu melahirkan dan bayinya. 

Di Aceh sebutan bidan sudah lama dipakai dan biasanya bidan itu untuk membantu persalinan secara tradisional. Mereka bertangan lembut, mampu melahirkan bayi, dan dapat melihat kondisi bayi dalam kandungan dengan hanya meraba-raba perut dari luar saja.

Sofyan (50 tahun) pria berewokan tadi berasal dari Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya. Saat ini Sofyan sudah dikaruniai empat anak. Sehari-hari ia berprofesi sebagai nelayan. Berhubung hari jumat, sudah menjadi aturan setiap nelayan libur melaut.

Kepada Tagar, Sofyan menceritakan tentang proses persalinan anak pertama dan kedua pada tahun 80-an lalu. Saat itu ibu hamil tidak mencari bidan desa untuk menangani kehamilan, melainkan mak bidan. Mak bidan saat itu memiliki peran sentral menangani persalinan.

“Bidan desa itu baru. Dulu mak bidan yang menangani persalinan. Mak bidan yang menangani anak saya yang pertama dan kedua,” kata Sofyan seraya menyerumput teh hangat pesanannya.

Sofyan mengatakan, di masa sekarang ini mak bidan hampir dapat dipastikan sudah tiada. Jika ada pasti sudah tua dan hanya terbaring di tempat tidur. Bidan Murni yang ia ceritakan di desanya itu sudah berumur hampir seratus tahun hingga menghembus nafas terakhir.

Semasa hidupnya banyak ibu hamil sudah dibantu persalinan. Dia sosok peramah dan tidak pernah menetapkan harga untuk sekali menolong persalinan. Siap dijemput kemana saja.

“Kalau sekarang sudah tidak ada lagi. Kalau ada sudah pasti tidak lagi menangani persalinan. Mereka sudah tua, semoga Buk Muning diberi tempat yang layak,” tutur Sofyan.

Dinkes AbdyaKepala Dinas Kesehatan Abdya, Safliaty. (Foto:Tagar/Syamsurizal)

Hujan mulai reda saat itu, kumandang azan magrib mulai terdengar bersaut-sautan dari masjid, hawa sejuk menerpa tubuh hingga membuat bulu terbangun. Meski begitu, air hujan masih menggenangi jalan pusat kota. Semua pelangan di warung mulai membayar pesanan untuk pulang.

Beranjak dari warung, rasa penasaran tentang jejak mak Bidan di Kabupaten Aceh Barat Daya yang baru didapat sangat sedikit dan belum terpecahkan sepenuhnya menjadi penelusuran Tagar keesokan harinya.

Sabtu 16 November 2019, pagi menyapa dunia. Sinar matahari begitu cerah menyinari seisi wilayah kabupaten yang dijuluki Tanah Breuh Sigupai tersebut. Perjalanan menelusuri jejak mak bidan dimulai. Kebaradaan bidan di seputaran Blangpidie menjadi target.

Informasi didapat Tagar, ada puluhan mak bidan yang dulu pernah menangani persalinan masyarakat kecamatan tersebut. Anita yang ditemui sepulang dari pasar pagi Desa Mataie Kemukiman Kutatinggi Kecamatan Blangpidie membenarkan hal itu. Namun, dia mengaku sosok bidan sebenarnya kini sudah tidak ada.

“Mereka tidak ada generasi. Munculnya bidan desa dan aturan yang berlaku membuat generasinya putus. Yang ada sekarang hanya mak-mak yang memandikan ibu setelah bersalin dan mengolah obat-obatan khusus ibu setelah melahirkan. Bahanya terbuat dari rempah-rempah, berguna untuk kebugaran tubuh,” ungkap Anita, seraya berjalan menuju kediamannya.

Ibu lima anak ini berkisah, praktik mak bidan telah lama tiada, dahulu saat tenaga medis belum ada masyarakat daerahnya sangat mengandalkan mereka untuk merawat dan menolong persalinan. Di daerahnya, mak bidan adalah orang yang dituakan dan dianggap memiliki pengetahuan lebih tentang obat-obatan, pantangan serta teknik-teknik perawatan dan pertolongan dalam persalinan.

Mereka tidak ada generasi. Munculnya bidan Desa dan aturan yang berlaku membuat generasinya putus.

Mak bidan dapat ilmu itu dari orang tuanya biasanya secara turun-temurun, setiap membantu persalinan biasa mereka membawa putrinya untuk diajarkan. mak bidan pasti sudah berumur dia orang yang dituakan,” ungkap Anita, sambil berjalan seraya menenteng sejumlah bahan masakan ditangan kanannya.

Ternyata Anita merupakan salah satu wanita yang pernah melihat langsung proses bersalin dari tangan mak bidan, puluhan tahun lalu. Bahkan, anak pertamanya dibantu persalinan oleh Almarhum Nek Biah, warga setempat kala itu.

Beberapa menit berjalan kaki, akhirnya sampai di kediaman Anita. Dia tidak langsung masuk, memilih melanjutkan obrolan di halaman rumah. Tetangganya bernama Murni menghampiri, dan ikut mengobrol jelang siang itu.

Anita mengatakan proses persalinan tempo dulu tidak seperti sekarang yang dilakukan di tempat praktik resmi dan rumah sakit. Dulu, persalinan berlangsung di rumah masing-masing. mak bidan dipanggil untuk menangani persalinan.

“Dulu saya dirumah melahirkan. mak bidan dijemput, anak tidak ada akta kelahiran seperti sekarang,” tuturnya.

Mak bidan, kala itu membantu persalinan tidak memberi obat perangsang seperti sekarang, tidak ada infus, obat-obatan kimia. Yang ada hanya obat alami, syarat-syarat ilmu pengetahuannya dan doa. Setiap kandungan diperiksa dengan tangan secara lembut. Pemeriksaan ini untuk melihat kondisi kesehatan kehamilan, bukan jenis kelamin.

“Dulu jenis kelamin apa yang lahir itulah kehendak tuhan. Sekarang sudah bisa dilihat lewat Ultrasonography (USG),”ujarnya.

Warga lainnya Khairani, masih di seputaran Desa Mataie Kecamatan Blangpidie, dengan senang hati menceritakan jejak mak bidan di desanya. Dia menyebutkan pada tahun 1975 saat dia melahirkan anak pertama, itu ditangani langsung mak bidan. Tapi sayangnya, saat ini mak bidan bernama Siti yang menangani dia melahirkan lima anak tempo dulu telah tiada.

Dulu jenis kelamin apa yang lahir itulah kehendak tuhan.

“Tahun 88 masih ada mak bidan, pastinya tahun berapa mulai tidak ada saya tidak ingat. Lima anak saya dulu ditangani mak bidan,” kata Khairani.

Setiap proses persalinan, sambungnya, mak bidan dibayar enam kupang (enam ribu) uang saat itu. Setelah proses persalinan, selama tiga hari berturu-turut bidan ini akan datang untuk memandikan ibu dan anak yang sudah lahir.

“Dimandikan selama 3 hari. Ibunya dimandikan dengan air campuran dedaunan. Anaknya dengan air hangat dari uap besi yang sudah dibakar dan uap panas tempurung kelapa,” ungkap dia.

Sementara warga lainnya bernama Rosita, ibu dua anak ini mengaku bersalin di tempat praktik resmi pusat kota Blangpidie. Proses persalinan yang dijalankannya penuh dengan anjuran dokter. Seusai bersalin, dia sudah dapat surat keterangan resmi bersalin dari tempat praktik resmi. Surat ini dibutuhkan untuk mengurus akta kelahiran anak.

“Sekarang sudah ada tempat praktik. Ditangani oleh bidan khusus. Karena ada BPJS jadi murah,” tutur Rosita.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh Barat Daya, Safliaty mengatakan saat ini setiap desa sudah ada sebuah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang siap melayani ibu hamil selama 24 jam. Bidan desa ditugaskan untuk menginap dan memberi pelayanan prima sewaktu ada ibu hamil yang membutuhkan penanganan.

“Sekarang bidan itu mendampingi bidan desa. Adanya bidan desa justru untuk menekan angka kematian ibu dan anak,” kata Aty kepada Tagar.

Menurutnya, peran dari mak bidan sekarang sudah tidak sentral seperti dulu, pemerintah sudah menempatkan bidan desa dan banyak praktik-praktik persalinan resmi setiap wilayah saat ini.

“Sudah tidak ada sekarang, mereka hanya membantu saja. Tidak lagi berperan seperti dulu,” katanya.[]

Baca cerita lain: 

Berita terkait
Dewi Fortuna Berawal dari Sambal Sunti Aceh
Sambal asam sunti sudah ada sejak leluhur dan biasanya digunakan hampir di semua masakan khas tradisional Aceh.
Rumah Menteri Zaman Kejayaan Kerajaan Aceh
Rumah panggung berkontruksi kayu peninggalan sejarah kerajaan Aceh Darussalam di Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh.
Tradisi Tolak Bala di Aceh Warisan Umar bin Khattab
Sejarah panjang tolak bala dan Rabu habeh di Aceh, diceritakan berpedoman dari kisah Umar bin Khattab yang tidak ingin Sungai Nil terbendung.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.