Eksekusi Baiq Nuril Ditunda, Muslim Pelaku Pelecehan Masih Melenggang Bebas

Eksekusi Baiq Nuril ditunda, Muslim pelaku pelecehan seksual terhadap Baiq Nuril masih melenggang bebas.
Baiq Nuril Maknun terpidana kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik saat jumpa pers di Fakultas Hukum Unram, Mataram, NTB, Selasa (20/11/2018). (Foto: Antara/Hero)

Jakarta, (Tagar 21/11/2018) - Eksekusi Baiq Nuril ditunda oleh Kejaksaan Agung, pada saat bersamaan pria bernama Muslim pelaku pelecehan seksual terhadap Baiq Nuril masih melenggang bebas.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengapresiasi langkah Kejaksaan Agung yang melakukan penundaan terhadap eksekusi Baiq Nuril setelah melihat respons masyarakat yang menuntut keadilan untuk Baiq Nuril.

Menurut Direktur Eksekutif ICJR, Anggara menilai Kejagung sudah membuat langkah yang tepat dan mau mendengarkan serta memberikan respons terhadap suara masyarakat sipil yang menuntut keadilan untuk Ibu Baiq Nuril.

"Kejagung menyatakan akan menunda eksekusi terhadap Ibu Baiq Nuril hingga proses peninjauan kembali berakhir," kata Anggara melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (20/11) dilansir kantor berita Antara.

ICJR pun berharap, Kejagung dapat menjaga komitmennya untuk tidak melaksanakan eksekusi sampai kasus Baiq Nuril diputus di tingkat PK.

Namun demikian, ICJR ingin mengingatkan bahwa proses Peninjauan Kembali ini akan sangat panjang dan akan memakan waktu sangat lama.

"Selama proses ini, ICJR menilai bahwa Ibu Baiq Nuril dan keluarganya masih akan berada dalam kondisi tekanan psikologis karena lamanya proses dan ketidakjelasan akan nasibnya," kata dia.

Maka dari itu, ICJR terus mendorong Presiden Joko Widodo untuk dapat memberikan Baiq Nuril amnesti, agar Baiq Nuril tidak perlu berada dalam kondisi ketidakpastian selama menunggu proses Peninjauan Kembali berakhir dan putusan PK keluar.

Sebelumnya Presiden sempat mengatakan bersedia mempertimbangkan pemberian grasi apabila PK ditolak oleh MA. Namun menurut ICJR, pemberian grasi tidak tepat karena menurut UU No 22 Tahun 2002 tentang Grasi Pasal 2 ayat (2) mengatur bahwa Grasi hanya dapat dilakukan terhadap putusan pemidanaan berupa pidana mati, pidana seumur hidup, penjara paling rendah 2 (dua) tahun.

"Sedangkan, Ibu Baiq Nuril hanya dijatuhi putusan pidana penjara selama 6 bulan dan denda 500 juta rupiah. Itu mengapa ICJR masih mendorong Presiden untuk memberikan amnesti pada Ibu Nuril," ucap dia.

Amnesti sendiri merupakan hak dari Presiden yang diberikan berdasarkan Pasal 14 (2) UUD NKRI Tahun 1945. Amnesti adalah satu-satunya jalan bagi Baiq Nuril untuk memperoleh keadilan atas pidana yang timbul dari perbuatan yang bahkan tidak dilakukannya, tanpa harus menunggu dalam waktu yang sangat lama dan dalam kondisi yang tidak pasti. 

Penjelasan Kejaksaan Agung

Sehari sebelumnya, Kejaksaan Agung memutuskan menunda eksekusi Baiq Nuril Maknun, guru honorer SMA 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, korban pelecehan namun terjerat UU Informasi Transaksi Elektronik dan memberi kesempatan mengajukan permohonan Peninjaun Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.

"Dengan melihat aspirasi yang berkembang di masyarakat terhadap persepsi keadilan, kita akan melakukan atau akan menunda eksekusi," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Mukri, di hubungi dari Mataram, Senin malam.

Eksekusi yang sedianya akan dilakukan eksekutor dari kejaksaan itu, merupakan perintah dari putusan kasasi Mahkamah Agung yang menghukum Baiq Nuril dengan 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan penjara karena melanggar Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE.

Ia juga mengharapkan supaya yang bersangkutan kalau akan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, dipersilakan. "Kalau bisa secepatnya supaya kasus ini tidak berlarut-larut dan ada upaya hukum yang final. Peninjauan kembali adalah merupakan hak dari tedakwa," paparnya.

Ia menambahkan penundaan itu bersamaan dengan adanya surat permohonan penangguhan eksekusi dari tim penasihat hukum terdakwa.

Kendati demikian, ia menegaskan bahwa Nuril bersalah, artinya bukan korban pelecehan seksual.

Ditegaskan, sebenarnya Baiq Nuril telah melakukan suatu tindak pidana melakukan suatu pendistribusian atau mentrasmisikan membuat dapat diaksesnya suatu berita elektronik yang berkaitan dengan kesusilaan.

"Atas dasar itu maka yang besangkutan disidangkan di Pengadilan Negeri Mataram dan ditingkat pengadilan negeri yang bersangkutan diputus bebas murni," tuturnya.

Tentunya, kata dia, sesuai SOP, adanya putusan bebas itu sudah menjadi suatu keharusan dan kewajiban bagi JPU untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

"Sebagaimana diketahui pula putusan kasasi itu sudah kita terima dua atau tiga hari lalu yang menyatakan bahwa terdakwa Nuril telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat 1 UU ITE," ujarnya.

Baiq Nuril dilaporkan oleh kepala sekolah SMA 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, bernama Muslim ke polisi atas tuduhan mentransmisikan rekaman elektronik berisi konten asusila yang telah diputus hakim kasasi melanggar Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE dan dihukum 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan penjara.

Putusan tingkat pertama Baiq Nuril divonis bebas karena tidak terbukti melakukan pelanggaran UU ITE.

Nuril sendiri diketahui melakukan perekaman perbincangan atasannya itu untuk menghindari pelecehan yang dilakukan oleh pimpinannya.

Sanksi untuk Muslim Atasan Baiq Nuril

Sementara itu, Wali Kota Mataram Ahyar Abduh menyatakan pihaknya memberikan atensi terhadap kasus Baiq Nuril Maknun yang terjerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

"Terhadap persoalan-persoalan ini kita memberikan atensi karena itu, kami segera mengambil sikap terhadap mantan Kepala SMAN 7 Mataram Muslim," katanya kepada wartawan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Selasa.

Kasus ibu asal Desa Parampuan, Kecamatan Labuapi, Kabupaten Lombok Barat ITU, bermula karena Nuril yang saat itu menjadi tenaga honorer di SMAN 7 Mataram mengungkapkan pelecehan seksual yang dialaminya oleh oknum Kepala SMAN 7 Mataram saat itu, Muslim.

Ia mengatakan dalam hal status kepegawaian Muslim pemerintah kota tidak bisa mengambil keputusan sembarangan, sehingga setiap keputusan harus berdasarkan aturan dan ketentuan yang berlaku.

Oleh karena itu, Wali Kota Abduh telah meminta sekretaris daerah bersama jajaran terkait membahas masalah itu terlebih dahulu agar keputusan yang akan ambil tidak menyalahi aturan.

"Dari perspektif pemerintahaan, selaku pembina kepegawaian saya akan mengambil keputusan terhadap Muslim, setelah mendapatkan masukan sesuai dengan dasar aturan yang berlaku," ujarnya.

Sekda Kota Mataram Effendi Eko Saswito yang dikonfirmasi, membenarkan bahwa dirinya telah diinstruksikan untuk melakukan kajian terhadap status Muslim sesuai ketentuan bersama dengan pihak-pihak terkait.

"Kami baru saja akan melakukan rapat kembali dengan semua tim penegakan disiplin kepegawaian," katanya sebelum melakukan rapat tertutup dan alot bersama tim lainnya di ruang kerjanya di Mataram, Senin (19/11).

Tim penegakan disiplin yang mengikuti rapat tersebut, antara lain Asisten III Sekretaris Daerah Kota Mataram, Badan Kepegawaian dan Pengembangan SDM, Inspektorat, dan Bagian Hukum.

Arah pembahasannya, kata dia, menyikapi pemberitaan kasus Baiq Nuril dengan mantan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram yang saat ini menjabat sebagai salah satu kepala bidang di Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Mataram.

"Sedangkan untuk penetapan pemberian sanksi atau penurunan jabatan, itu menjadi ranah pejabat pembina kepegawaian (PPK). Kami hanya membahas berdasarkan aturan yang ada," katanya. []

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.