Jakarta - Seorang dosen, Burhanudin mempersoalkan pengusulan calon hakim ad hoc di Mahkamah Agung oleh Komisi Yudisial ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap tidak memenuhi rasa keadilan.
Usulan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Ia mengatakan mekanisme seleksi memiliki kriteria dan prasyarat yang sama antara hakim ad hoc disamakan dengan hakim agung namun secara administrasi memiliki perbedaan.
Dilansir dari laman Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Burhanudin merupakan salah satu peserta seleksi calon hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi di Mahkamah Agung pada 2016.
Dengan adanya aturan hukum dalam UU KY tersebut yang menyamakan hakim ad hoc dengan hakim agung merupakan pelanggaran konstitusional terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Baca juga: Pakar Nilai Hakim Bisa Khilaf Sehingga Putusan PK Anas Beda
Burhanudin saat itu gagal karena terganjal Pasal 13 huruf a Undang-Undang Komisi Yudisial. Pasal itu mengatur Komisi Yudisial juga berwenang mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung.
Pasal 13 huruf a Undang-Undang Komisi Yudisial berbunyi, "mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan".
Padahal menurut dia, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyebutkan kewenangan Komisi Yudisial hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung, tidak termasuk hakim ad hoc.
"Dengan adanya aturan hukum dalam UU KY tersebut yang menyamakan hakim ad hoc dengan hakim agung merupakan pelanggaran konstitusional terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945," ujar Burhanudin dalam permohonannya.
Baca juga: Alasan Hakim Pengadilan Negeri Denpasar Tolak Eksepsi Jerinx
Ia mengatakan mekanisme seleksi memiliki kriteria dan prasyarat yang sama antara hakim ad hoc disamakan dengan hakim agung. Tetapi dalam kenyataannya status keduanya berbeda dari aspek administrasi dan masa jabatan sehingga hal itu disebutnya tidak sesuai dengan prinsip keadilan.
Untuk itu, Burhanudin meminta Mahkamah Konstitusi menghilangkan kewenangan Komisi Yudisial untuk melakukan seleksi hakim ad hoc di Mahkamah Agung karena bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. []