Untuk Indonesia

Opini: PPP di Persimpangan Jalan

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tengah menghadapi pertanyaan fundamental dalam hidupnya sebagai entitas politik.
Lambang Partai Persatuan Pembangunan (PPP). (Foto: Tagar/ ppp.or.id)

Oleh: Surya Vandiantara (Direktur Program SUDRA)

TAGAR.id, Jakarta - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tengah menghadapi pertanyaan fundamental dalam hidupnya sebagai entitas politik: apakah akan tetap menjadi aktor politik Islam yang relevan, atau justru menghilang secara perlahan dari peta perpolitikan nasional? Dalam sejarah panjang perjalanannya sejak 1973, PPP pernah menjadi juru bicara umat Islam dalam sistem politik yang represif. Namun kini, setelah lebih dari lima dekade, ia berada di titik kritis: elektabilitas terus menyusut, konflik internal tak berkesudahan, dan jarak dengan pemilih muda semakin melebar.

Menghadapi tantangan itu, PPP berada di persimpangan jalan: melakukan transformasi atau terus bertahan dalam pola status quo yang telah lama usang. Artikel ini hendak menelusuri dinamika tersebut secara utuh: mulai dari akar sejarah, gejolak internal, penyusutan basis dukungan, hingga peluang masa depan yang masih terbuka.

PPP lahir sebagai hasil fusi empat partai Islam di masa Orde Baru: Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Tujuan utama fusi ini adalah sebagai bentuk penyederhanaan partai politik oleh pemerintah Orde Baru, yang memaksa partai-partai untuk bergabung demi stabilitas politik nasional. Maka, pada 5 Januari 1973, PPP berdiri sebagai satu-satunya partai Islam yang diperbolehkan berkompetisi secara legal.

Walau lahir dari tekanan kekuasaan, PPP berkembang menjadi simbol politik Islam yang mampu merangkul aspirasi umat. Pada masa awal, PPP memainkan peran strategis sebagai oposisi lunak dalam parlemen. Dukungan dari pesantren, organisasi kemasyarakatan Islam, serta kiai membuat PPP memiliki legitimasi kultural yang kuat.

Namun pada 1984, NU keluar dari PPP dan membebaskan kadernya untuk berpolitik secara independen ketika PPP dipimpin oleh Djaelani Naro. Langkah ini menjadi titik awal goyahnya fondasi sosial PPP. Tanpa NU, PPP kehilangan sebagian besar mesin politik tradisionalnya. Pada era reformasi, fragmentasi umat Islam ke berbagai partai baru seperti PKB dan PKS menambah tantangan eksistensial PPP.

Perjalanan PPP dalam pemilu pasca-reformasi menunjukkan tren penurunan yang konsisten. Dalam Pemilu 1999, PPP meraih 10,7% suara nasional dan menempati posisi ketiga. Namun selanjutnya, perolehan suara mengalami penurunan drastis. Bahkan pada pemilu terakhir di tahun 2024, PPP tidak mampu menembus batas parliamentary threshold.

Penyebab menurunnya elektabilitas PPP bisa dilacak pada tiga aspek utama: konflik internal, gagalnya modernisasi partai, dan penyempitan basis sosial yang tidak disertai regenerasi kader dan pemilih.

Satu aspek yang tak bisa diabaikan dalam kemerosotan PPP adalah konflik internal yang berkepanjangan. Hampir setiap menjelang pemilu, PPP dilanda dualisme kepemimpinan. Perpecahan elite partai lebih sering didorong oleh perebutan kursi jabatan dibandingkan perbedaan gagasan.

Beberapa episode konflik internal yang mencuat ke permukaan publik mulai dari konflik dualisme kepemimpinan antara Djan Faridz dan Romahurmuziy (Romy) berujung pada pelemahan kerja-kerja organisasi. Operasi tangkap tangan terhadap Romahurmuziy pada kasus korupsi jual beli jabatan Kementerian Agama turut mencoreng citra partai. Kemudian ketegangan antara Suharso Monoarfa dan sejumlah elite partai terkait ketidakpuasan atas kepemimpinan partai dan elektabilitas yang stagnan. Terakhir, ketegangan jelang muktamar yang dipicu oleh pernyataan dan tingkah laku Romy yang seakan-akan menjual partai.

Konflik-konflik ini berdampak luas pada konsolidasi internal, strategi kampanye, dan pencitraan publik. Basis massa menjadi bingung, banyak kader kecewa dan hijrah ke partai lain, sementara pemilih melihat PPP sebagai partai yang tidak stabil.

PPP dulunya dikenal kuat karena jejaring pesantren dan kedekatannya dengan kelompok-kelompok Islam tradisional. Namun kini, hubungan tersebut semakin lemah. Dominasi PKB di basis NU membuat PPP kehilangan kekuatan tradisionalnya, sementara PKS dan PAN mulai mencuri perhatian kelompok Islam urban dan modernis.

Sementara itu, PPP belum berhasil membangun koneksi bermakna dengan generasi muda Muslim. Dalam survei nasional yang dilakukan beberapa lembaga riset pada tahun 2023, kaum milenial dan Gen Z menempatkan PPP sebagai partai yang paling tidak dikenal atau tidak menarik. Di era digital, PPP tampak tertinggal dalam hal komunikasi politik, branding, dan penetrasi ke komunitas kreatif serta profesional muda.

Keterasingan ini menjadi ancaman jangka panjang. Sebab, jika PPP gagal menjangkau pemilih baru, maka regenerasi suara akan terhenti, dan partai ini berisiko menjadi partai nostalgia yang hidup di masa lalu. PPP kini sampai pada titik historis: apakah akan melakukan transformasi menyeluruh atau bertahan pada status quo yang stagnan?

Mempertahankan status quo berarti melanggengkan elitisme struktural, melanjutkan konflik kepentingan internal, dan tetap menumpukan strategi pada loyalitas lama yang terus menipis. Ini adalah jalan lambat menuju kehancuran elektoral.

Dalam dunia politik modern, partai yang tidak berubah cepat akan digilas oleh dinamika zaman. Status quo juga menjadikan PPP semakin terisolasi dari isu-isu publik yang relevan: ekonomi digital, climate change, UMKM syariah, digitalisasi pesantren, dan gerakan dakwah milenial.

Transformasi bukan sekadar ganti tokoh, tetapi perubahan paradigma. PPP harus berani memutus siklus konflik elite dan membangun sistem kepartaian modern berbasis meritokrasi, transparansi, dan rekonsiliasi.

Salah satu titik lemah PPP adalah kurangnya figur muda dan kuat di panggung politik nasional. PPP cenderung didominasi wajah-wajah lama yang secara elektoral sudah tidak memikat, khususnya di mata pemilih muda. Sehingga elemen kunci pertama dalam melakukan transformasi PPP dimulai dari reformasi struktur kepengurusan yang segar dengan mengakomodir tokoh muda progresif dari kalangan profesional, aktivis dakwah, atau akademisi Muslim di dalam kepengurusan.

Elemen kedua ialah dengan mengeluarkan kader-kader yang selama ini menggerogoti partai dari dalam. Penggerogotan dari dalam inilah yang menjadikan kerja mesin partai tidak optimal. Kader partai yang selalu menjual partai dan mencoreng citra partai harus diberhentikan secara tegas.

Selain itu, PPP harus melalukan reformulasi ideologi menjadi Islam politik yang ramah terhadap pluralisme, demokrasi, dan ekonomi hijau. Elemen yang tak kalah penting ialah revitalisasi organisasi. Partai harus melakukan konsolidasi struktur dari pusat ke daerah secara bottom-up, bukan top-down.

Di era teknologi saat ini, digitalisasi politik merupakan keniscayaan yang harus dilakukan Hal ini dengan memaksimalkan media sosial, platform dakwah digital, dan ekosistem kreatif untuk menjangkau pemilih muda. Serta elemen terakhir ialah partai harus mengangkat isu-isu seperti sertifikasi halal digital, literasi keuangan syariah, perbankan pesantren, dan digitalisasi zakat dan wakaf.

PPP bisa menengok bagaimana PKS dan PKB melakukan transformasi organisasi dan ideologi. PKS sukses membangun citra sebagai partai Islam modern yang melek teknologi, aktif di media sosial, dan punya sistem kaderisasi kuat. Sementara PKB berhasil merawat basis NU melalui strategi komunikasi kultural dan pragmatisme politik yang matang.

PPP tidak boleh lagi menggantungkan nasib hanya pada basis tradisional pesantren. Ia harus memperluas segmentasi pemilih dan membentuk koalisi sosial-politik Islam baru. Dengan memperluas basis konstituen, PPP bisa keluar dari isolasi politik dan kembali menjadi “rumah besar umat Islam” secara aktual, bukan simbolik.

PPP bukanlah partai biasa. Ia adalah simbol sejarah politik Islam Indonesia yang pernah berdiri kokoh dalam tekanan rezim dan tetap hidup dalam demokrasi. Namun, simbol tidak cukup. Dalam politik, yang bertahan adalah yang relevan.

Transformasi bukan mimpi kosong. Ia adalah keniscayaan bagi setiap entitas yang ingin bertahan dalam sejarah. PPP masih punya modal besar seperti nama baik historis, infrastruktur partai, basis sosial yang meski lemah namun tetap ada, serta identitas keislaman yang melekat.

Jika PPP berani berubah, maka ia akan kembali menjadi kekuatan strategis umat Islam dalam membangun bangsa. Namun jika enggan berubah, maka PPP hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah — dihormati karena pernah berjasa, namun dilupakan karena gagal membaca zaman.[]

Berita terkait
Sandiaga Uno Minta Maaf Gagal Bawa PPP ke Senayan
Politisi PPP Sandiaga Uno meminta maaf lantaran belum dapat mewujudkan partai berlambang kabah itu lolos ke Senayan pada Pemilu 2024.
Prabowo Subianto Menyambut Baik Bergabungnya NasDem, PPP dan Perindo ke KIM
Presiden RI terpilih Prabowo Subianto menyambut baik bergabungnya Partai NasDem ke Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Wapres Resmikan Peluncuran RIPPP dan SIPPP Percepat Pembangunan Papua
Wakil Presiden (Wapres) RI Maruf Amin meresmikan peluncuran Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) SIPPP.