Baiq Nuril, Kado Pahit untuk Perempuan dari MA yang Buta Hukum

Baiq dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung sesuai Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Baiq dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung sesuai Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). (Foto:BreakingNews)

Jakarta, (Tagar 16/11/2018) - Petikan Putusan Kasasi dengan Nomor 574K/Pid.Sus/2018, 9 November lalu memutuskan Baiq Nuril sebagai pelaku tindak pidana. 

bunyi putusan tersebut."Tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan," bunyi putusan tersebut.

Ia dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung sesuai Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Lalu, dijatuhi hukuman enam bulan penjara serta denda senilai Rp 500 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.

Siapakah Baiq Nuril?

Sebelum namanya ramai diperbincangkan, Baiq Nuril Maknun adalah seorang pegawai honorer biasa di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Ia mengaku, sebagai korban pelecehan seksual yang diperlakukan tidak adil oleh hukum.

"Saya cuma minta keadilan, karena saya disini cuma korban. Apa salah saya mencoba membela diri saya dengan cara-cara saya sendiri? Saya minta keadilan," tuturnya.

Baiq membeberkan pelecehan yang tidak hanya terjadi sekali itu,  dilakukan oleh Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, dengan inisial M. Pelecehannya berbentuk verbal kerap dilakukan saat M menelpon Baiq sekitar tahun 2012.

Mulanya Baiq tak berbuat apa-apa, namun satu ketika ia berinisiatif untuk merekam perbicangan M terhadap Baiq di telepon. Rekamannya ia simpan sendiri. Sampai Baiq memperbincangkan kasusnya kepada rekan kerjanya yakni Imam Mudawin.

Baiq menyerahkan ponsel berisi rekaman perbincangan antara dirinya dengan M, kepada Imam. Namun, Imam malah memindahkan rekaman perbincangan Baiq dan M ke laptop dan menyebarkan rekaman tersebut ke Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Mataram.

Rupanya M mengetahui rekamannya tersebar, tanpa berpikir dua kali, Baiq dilaporkan pada kepolisian atas dasar Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Saat itu Baiq dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Mataram.

Tak terima dengan kekalahannya, melalui Jaksa Penuntut Umum (JPU), M mengajukan banding sampai kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Akhirnya, Baiq dinyatakan bersalah karena melanggar Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), pada 26 September 2018.

Baiq Nuril Bisa Selamat?

"Untuk menyelamatkan ibu Nuril, maka terdapat dua jalan, yaitu tetap menempuh jalur hukum yaitu mengajukan PK (Peninjauan Kembali) dengan mencari novum (bukti baru), atau meminta Presiden menggunakan hak-nya berdasarkan konstitusi yaitu memberikan Amnesti," tulis rilis ICJR yang dikutip Atas apa yang menimpa Baiq Nuril, Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) menilai Baiq masih bisa diselamatkan yaitu dengan dua jalan. Pertama melalui Peninjauan Kembali (PK), kedua dengan amnesti dari Presiden Joko Widodo.

"Untuk menyelamatkan ibu Nuril, maka terdapat dua jalan, yaitu tetap menempuh jalur hukum yaitu mengajukan PK (Peninjauan Kembali) dengan mencari novum (bukti baru), atau meminta Presiden menggunakan hak-nya berdasarkan konstitusi yaitu memberikan Amnesti," tulis rilis ICJR yang dikutip Tagar News, Kamis (15/11).

Meski pemberian amnesti baik secara nasional maupun internasional utamanya diberikan pada seseorang yang terbukti melakukan kejahatan politik, ICJR tetap berharap Jokowi yang memiliki kewenangan dapat memberikan amnesti terhadap Baiq Nuril.

Pasalnya, secara regulasi tidak ditemukan ketentuan turunan lain mengenai amnesti selain UU Darurat 11/1954, dan juga tidak ada pembatasan pemberian amnesti hanya pada kasus-kasus kejahatan politik

"Maka atas nama kemanusiaan dan kepentingan Negara untuk melindungi korban kekerasan seksual, Presiden Jokowi dapat dan harus betul-betul mempertimbangkan memberikan Amnesti pada ibu Baiq Nuril," tulis ICJR yang sudah berdiri sejak 2007 itu.

Lebih lanjut, dalam catatan besar ICJR, Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual, harusnya wajib diberikan perlindungan oleh negara. Jokowi pernah berkomitmen untuk memberikan perlindungan hukum dan mengawasi penegakan hukum khususnya terkait perempuan.

"Terlebih, Presiden Joko Widodo telah berkomitmen untuk memberikan perlindungan hukum dan mengawasi penegakan hukum khususnya terkait perempuan, maka pemberian amnesti pada Ibu Nuril akan sejalan dengan komitmen Presiden," sambungnya."Tidak hanya Presiden, ICJR juga mendorong DPR untuk memberikan perhatian terhadap kasus ini. Sebab, Presiden tentu tetap membutuhkan pertimbangan dari DPR. Perlu menyamakan kacamata, bahwa kasus ini sesungguhnya adalah kasus kriminalisasi terhadap korban pelecehan seksual yang berusaha melindungi dirinya," tutup rilis itu."Pemberian amnesti terhadap Ibu Nuril akan menunjukkan upaya untuk memperkokoh perlindungan terhadap hak korban ataupun korban kekerasan seksual dalam kasus ini," urai ICJR.

"Terlebih, Presiden Joko Widodo telah berkomitmen untuk memberikan perlindungan hukum dan mengawasi penegakan hukum khususnya terkait perempuan, maka pemberian amnesti pada Ibu Nuril akan sejalan dengan komitmen Presiden," sambungnya.

Namun, ICJR juga sadar, bahwa wewenang Jokowi untuk memberikan amnesti ini harus mendapat pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat. ICJR berharap akan ada dukungan dari DPR untuk kasus Baiq Nuril.

"Tidak hanya Presiden, ICJR juga mendorong DPR untuk memberikan perhatian terhadap kasus ini. Sebab, Presiden tentu tetap membutuhkan pertimbangan dari DPR. Perlu menyamakan kacamata, bahwa kasus ini sesungguhnya adalah kasus kriminalisasi terhadap korban pelecehan seksual yang berusaha melindungi dirinya," tutup rilis itu.

Apa Kata DPR?

Anggota Komisi VIII DPR RI Rahayu Saraswati menilai vonis terhadap Baiq Nuril, menjadi kado pahit Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) yang jatuh bulan November ini.

"Ini kado pahit untuk perjuangan perempuan. Sangat disayangkan sepertinya keputusan MA tidak mempertimbangkan aspek kekerasan verbal yang diterima Nuril," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Tagar News, Kamis (15/11).

Menurut Sara, hukuman terhadap Nuril ini sama dengan memasung kembali semangat para perempuan di Indonesia dalam upaya melindungi diri dari ancaman kekerasan yang dapat menimpa mereka. 

"Seorang perempuan yang berani bersuara karena mendapatkan kekerasan, itu sudah sesuatu yang luar biasa di Indonesia, karena mayoritas memilih diam," jelasnya.

Terjeratnya Baiq Nuril dengan pasal Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), ia mendorong agar adanya revisi terhasap UU ITE dalam perpsektif upaya seseorang melindungi hak-haknya.

Selain itu, Komisi VIII dan pemerintah bisa segera merampungkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai langkah maju perlindungan terhadap perempuan.

"Salah satunya mengatur mengenai terjadinya kekerasan seksual karena relasi kuasa. Dimana kasus itu terjadi karena pelaku memanfaatkan kekuasaannya kepada korban, seperti kasus bu Nuril ini," tandas Politikus Gerindra ini.

Mahkamah Agung Tidak Boleh Buta

Sementara itu, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah meminta MA untuk betul-betul meninjau kasusnya terlebih dahulu. Jika memang terjadi pelecehan oleh inisial M, tidak seharusnya mengizinkan pelaku pelecehan membela diri dan mengabaikan korban pelecehan, yakni Baiq Nuril.

"Kalau saya kembali kepada konstruksi yang pertama. MA tidak boleh buta. Kalau pelecehan itu benar terjadi, maka tidak ada hak orang yang melecehkan itu, untuk membela diri dengan cara seperti itu. Dia melecehkan kok. Bahkan prosesnya itu tidak boleh dilakukan," bebernya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (15/11).

Jika korban pelecehan yang malah dihukum, menurut Fahri semua kasus serupa bisa diputar balik seenaknya.

"Tidak benar dong (dijerat pasal UU ITE). Karena dia korban. Bagaimana kalau korban boleh dianiaya balik, lalu pelaku bisa jadi pemenang dong kalau gitu. Saya bisa balik semuanya. Semua peristiwa pidana bisa kita balik kalau gitu ceritanya," tegasnya.

Lebih lanjut, Fahri menerangkan MA seharusnya meninjau dan menyelesaikan kasus berdasarkan tingkat hukuman. Misalnya, Baiq Nuril merupakan korban pelecehan, maka MA harus memproses terlebih dahulu Baiq selaku korban pelecehan.

"Tingkat pertama itu bahwa dia dilecehkan atau diperkosa atau dia dianiaya. Ini diselesaikan dulu. Maka kalau pelakunya sudah bersalah maka tidak ada alasan dia dihukum," ujar dia.

Fahri menilai mungkin saja, Baiq Nuril menyimpan rekaman sebagai bukti pembelaan diri bahwa terjadi pelecehan terhadp dirinya. Bila akhirnya tersebar, karena Baiq memang menjadi korban pelecehan.

"Katakan karena menyebarkan berita itu. Karena memang peristiwanya benar terjadi. Dia dianiaya, dizalimi, dilecehkan benar terjadi, maka yang kedua deliknya batal," jelas Fahri.

Fahri meminta MA bisa menjelaskan kasus tersebut secara clear kepada publik. Bagaimana sebenarnya kasus tersebut dipandang dari hukuman yang dijatuhkan. Cara berpikir hukum MA seharusnya diletakkan pada nalar yang baik.

Jangan kemudian hukum tiba-tiba lompat ke yang ke dua lalu yang pertama tidak diperhatikan.

"Ini jadi tidak adil. Jadi, otoritas judikatif dalam hal ini MA, harus menjelaskan masalah ini kepada publik bahwa ini adil atau tidak. Kita tidak boleh membiarkan hukum ini lompat sehingga yang kecil, yang tidak punya backing yang disalahkan. Padahal dia adalah korban," tuntasnya. []

Berita terkait
0
Ini Alasan Mengapa Pemekaran Provinsi Papua Harus Dilakukan
Mantan Kapolri ini menyebut pemekaran wilayah sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.