Subulussalam - Pergerakan aktivitas masyarakat di Subulussalam, Aceh kian tampak lengang pasca diterapkannya social distancing (jaga jarak).
Social distancing merupakan sebuah pemberlakuan yang dianjurkan pemerintah sebagai langkah penanganan pencegahan guna memutus mata rantai penularan corona virus disease 2019 (Covid-19).
Pantauan Tagar, warung-warung kopi di sekitar pusat perkotaan Subulussalam sudah sepi pengunjung. Warga yang kumpul-kumpul di warung-warung kopi sudah jarang ditemui.
Pemandangan lain, seperti pembatasan jam malam pada usaha warung kopi dan kafe juga turut mendapat penertiban dari aparat gabungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian.
Masa lalu, di Aceh, jam malam diberlakukan dalam darurat sipil, yang kemudian meningkat menjadi darurat militer karena keadaan bahaya menghadapi Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Di mana dalam beberapa malam ini personel Kepolisian dan anggota Tentara Nasional Indonesia secara aktif melakukan kegiatan patroli untuk mengecek warung-warung kopi dan kafe yang masih beroperasi pada malam hari.
"Beberapa malam yang lalu warung saya didatangi oleh petugas dari TNI, mereka mengitruksikan bahwa kami dibatasi hanya boleh membuka warung sampai jam 9 malam saja, saya tidak keberatan, menurut saya ini kebaikan bersama, karena Covid-19 ini harus dilawan secara bersama-sama," kata salah seorang pemilik warung kopi di wilayah Kecamatan Penanggalan kepada Tagar yang enggan menyebutkan namanya.
Komandan Komando Distrik Militer 0118/Subulussalam, Letnan Kolonel (Infanteri) Winarko saat dikonfirmasi Tagar membenarkan tentang adanya pemberlakuan pembatasan jam malam tersebut.
"Patroli jam malam instruksi dari Plt Gubernur yang patroli gabungan TNI-POLRI dan Satpol PP," kata Winarko, Kamis, 2 April 2020.
Dikatakannya, pembatasan jam malam tidak ada kaitannya dengan status darurat sipil sebagaimana yang terhembus di tengah masyarakat.
Winarko menjelaskan bahwa hal tersebut merujuk pada keputusan terakhir dari Presiden tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) serta dalam rangka melaksanakan instruksi Gubernur Aceh Nomor 02/INSTR/2014 tentang Pengawasan dan Penertiban Pelayanan Tempat Wisata/Rekreasi, Hiburan, Penyedia Layanan Internet, Cafe dan sejenisnya. "Jadi tidak ada keputusan darurat sipil," ujarnya.
Winarko menjelaskan, patroli yang dilakukan oleh aparat gabungan adalah sebagai langkah preventif untuk memutus mata rantai Covid-19.
"Maka diberlakukan jam malam mulai dari pukul 20.30 sampai dengan pukul 05.30 WIB yang berlaku sejak 29 Maret sampai 29 Mei mendatang sesuai dengan instruksi Plt Gubernur Aceh," katanya.
Lebih lanjut, Komandan Komando Distrik Militer 0118/Subulussalam itu mengajak kepada masyarakat untuk menjauhi kerumunan massa, karena virus Covid-19 tidak dapat dilihat dengan kasat mata.
"Patuhi ikuti setiap imbauan pemerintah dengan positif termasuk penerapan jam malam, agar kita selamat," ucap Winarko.
Baca juga: Alasan Jam Malam di Aceh Dikritik Karena Corona
Sementara dalam menyikapi hal ini, Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) perwakilan Kota Subulussalam, Edi Sahputra Bako turut mendukung penuh kebijakan tersebut.
"Selama ini tujuannya untuk mencegah penyebaran covid-19 di Aceh, karena kondisi kita di Aceh sudah lima orang yang positif tentu atas dasar itu kita harus lebih waspada," ungkap Edi.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Taqwaddin Husin menilai pemberlakuan jam malam di Aceh dapat menimbulkan nostalgia traumatik konflik Aceh masa lalu.
Bagi generasi mereka, ingatan tersebut masih sangat kuat membekas. Sehingga ini menjadi beban psikologis yang harusnya dipertimbangkan saat hendak ditempuh kebijakan pemberlakuan jam malam.
"Masa lalu, di Aceh, jam malam diberlakukan dalam darurat sipil, yang kemudian meningkat menjadi darurat militer karena keadaan bahaya menghadapi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tapi sekarang, kan situasinya beda, yang kita hadapi pandemik wabah virus corona," kata Taqwaddin
Taqwaddin membandingkan, provinsi lain di Indonesia yang status pandemiknya lebih parah saja tidak diperlakukan jam malam. Namun, Aceh sudah langsung memberlakukan jam malam.
Menurut Taqwaddin, pemberlakuan jam malam dalam darurat sipil di daerah itu, memposisikan pemerintah daerah sebagai penguasa, seperti memiliki legalitas untuk bertindak represif kepada warganya.
Meskipun hal itu memang dibenarkan dalam Undang-undang keadaan bahaya. Tatapi, Presiden belum memberlakukan darurat sipil. Melainkan kebijakan saat ini adalah pemberlakuan darurat kesehatan masyarakat yang merupakan rezim dari UU karantina kesehatan.
"Sebelum terjadinya kesan "melawan" pusat, sebaiknya kebijakan pemberlakuan jam malam dicabut. Dan Pemerintah Aceh mengikuti saja kebijakan yang sudah digariskan oleh Pemerintah Pusat," tuturnya. []