Alasan Jam Malam di Aceh Dikritik karena Corona

Peraturan jam malam untuk mencegah meluasnya Covid-19 tidak diperlukan di Aceh jika bandara, pelabuhan dan terminal masih dibuka.
Prajurit TNI dari Batalyon Raider 112/DJ membantu pengamanan dan sosialisasi pemberlakukan jam malam kepada pengguna jalan di Simpang Surabaya, Banda Aceh, Aceh, Rabu (1/4/2020). Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Provinsi Aceh memberlakukan jam malam selama dua bulan sejak 29 Maret hingga 29 Mei 2020 sebagai upaya pencegahan penyebaran virus Corona (COVID-19). (Foto: Tagar/Antara Foto/Irwansyah Putra).

Banda Aceh - Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Aceh telah mengeluarkan maklumat tentang penerapan jam malam, Minggu, 29 Maret 2020. Dalam rangka mencegah penyebaran dan penanganan virus corona (Covid-19) di Aceh.

Pelaksanaan imbauan Forkopimda itu sudah diberlakukan sejak Minggu, 29 Maret 2020, hingga dua bulan ke depan yakni 29 Mei 2020. Dimulai pukul 20.30 WIB hingga pukul 05.30 WIB pagi.

Maklumat tersebut ternyata mulai menuai kritikan dari berbagai pihak, baik dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), bahkan Ombudsman RI Perwakilan Aceh juga angkat bicara.

Anggota DPR Aceh, Teuku Irwan Djohan menilai peraturan jam malam untuk mencegah meluasnya Covid-19 tidak diperlukan di Aceh. Mengingat masih ada jalan lain yang bisa dilakukan, seperti menutup semua jalur masuk ke Aceh dan mengkarantina Orang Dalam Pemantauan (ODP) secara ketat.

"Seluruh pintu masuk ke Aceh, baik dari udara, laut dan darat sudah seharusnya ditutup. Semua kasus positif Covid-19 di Aceh terjadi pada orang Aceh yang masuk dari luar, seperti dari Jakarta, Surabaya, Bogor dan Malaysia. Jadi itu akar permasalahannya," kata T Irwan Djohan dalam keterangannya yang diterima Tagar, Kamis 1 April 2020.

Menurut Irwan, untuk menyelesaikan setiap masalah, maka yang harus diatasi adalah akar permasalahannya. Kalau kemudian Aceh menerapkan jam malam, meliburkan sekolah, menutup usaha masyarakat dan melarang keramaian. Tetapi masih membuka bandara, pelabuhan dan terminal, maka semua kebijakan itu akan sia-sia saja.

Seluruh pintu masuk ke Aceh, baik dari udara, laut dan darat sudah seharusnya ditutup.

Jika diasumsikan bahwa semua orang yang ada di Aceh ini negatif dari Covid-19. Tapi kemudian masuk orang yang sudah terinfeksi Covid-19, maka penularan bakal terus terjadi.

"Jadi yang harus dilakukan saat ini, selain menutup jalur agar tidak ada lagi orang yang membawa Covid-19 ke Aceh, juga harus dilakukan karantina yang super ketat," ujarnya.

Karena itu, Irwan menyarankan sebaiknya pemerintah menutup semua jalur, termasuk jalur tidak resmi. Tidak ada yang bisa masuk dan keluar dari Aceh sampai batas waktu yang telah ditentukan.

Kemudian, kata Irwan, untuk warga Aceh yang sedang berstatus ODP harus dikarantina secara terpusat sampai dipastikan negatif. Dan yang sedang berstatus PDP harus menjalani perawatan di rumah sakit rujukan sampai sembuh.

Apabila hal ini diterapkan, dirinya meyakini rantai penularan virus corona di Aceh akan terhenti. Karena yang di dalam sudah terlindungi, dan yang diluar tidak bisa masuk.

"Dengan demikian kegiatan perekonomian masyarakat Aceh masih bisa tetap berjalan. Tidak perlu jam malam dan bahkan tidak perlu penutupan usaha milik masyarakat," tutur Irwan Djohan.

Traumatik Konflik Aceh

Sementara itu, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Taqwaddin Husin menilai pemberlakuan jam malam di Aceh dapat menimbulkan nostalgia traumatik konflik Aceh masa lalu.

Bagi generasi mereka, ingatan tersebut masih sangat kuat membekas. Sehingga ini menjadi beban psikologis yang harusnya dipertimbangkan saat hendak ditempuh kebijakan pemberlakuan jam malam.

"Masa lalu, di Aceh, jam malam diberlakukan dalam darurat sipil, yang kemudian meningkat menjadi darurat militer karena keadaan bahaya menghadapi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tapi sekarang, kan situasinya beda, yang kita hadapi pandemik wabah virus corona," ucap Taqwaddin dalam keterangannya, Kamis, 2 April 2020.

Taqwaddin membandingkan, provinsi lain di Indonesia yang status pandemiknya lebih parah saja tidak diperlakukan jam malam. Namun, Aceh sudah langsung memberlakukan jam malam.

Menurut Taqwaddin, pemberlakuan jam malam dalam darurat sipil di daerah itu, memposisikan pemerintah daerah sebagai penguasa, seperti memiliki legalitas untuk bertindak represif kepada warganya.

Meskipun hal itu memang dibenarkan dalam Undang-undang keadaan bahaya. Tatapi, Presiden belum memberlakukan darurat sipil. Melainkan kebijakan saat ini adalah pemberlakuan darurat kesehatan masyarakat yang merupakan rezim dari UU karantina kesehatan.

"Sebelum terjadinya kesan "melawan" pusat, sebaiknya kebijakan pemberlakuan jam malam dicabut. Dan Pemerintah Aceh mengikuti saja kebijakan yang sudah digariskan oleh Pemerintah Pusat," tuturnya. []

Berita terkait
Kondisi Istri dan Anak Pasien Positif Corona di Aceh
Pemerintah Aceh telah menerima hasil uji swab terhadap anak dan istri seorang manajer positif mengidap virus corona atau Covid-19 di Aceh.
Di Tengah Corona, 1.937 Pasangan Aceh Daftar Nikah
Meski adanya wabah virus corona, tidak mengurungkan niat para calon pasangan pengantin di Aceh untuk membangun rumah tangga.
Kabar Baik: Hasil Lab, 59 Negatif Corona di Aceh
Jumlah pasien yang dinyatakan negatif corona atau Covid-19 juga terus bertambah dari hari ke hari di Aceh.
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.