Jakarta - Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin dan Staf Khusus (Stafsus) Presiden Bidang Hukum Dini Shanti Purwono menanggapi wacana koruptor diganjar hukuman mati.
Mengenai hal tersebut Ngabalin beranggapan, seorang koruptor dapat saja mendapat vonis hukuman mati sebagai keputusan terberat yang dijatuhkan oleh hakim.
Presiden menjelaskan bahwa dalam UU Tipikor hanya diatur hukuman mati bagi pelaku korupsi dalam kasus-kasus tertentu yaitu bencana alam dan krisis ekonomi.
"Korupsi itu merugikan rakyat, menyengsarakan rakyat dan menjadi extra ordinary crime. Makanya, kemarin pernyataan bapak presiden ya kita tunggu," kata dia, usai menghadiri acara peluncuran buku di Wisma Antara, Jakarta Pusat, Kamis, 12 Desember 2019.
Namun, hingga kini, menurutnya belum ada peraturan yang menuliskan hukuman mati dapat disanksikan kepada pelaku kejahatan korupsi di Indonesia. Ngabalin menyatakan, wacana ini bisa dikaji secara mendalam.
"Boleh jadi penerapan hukuman mati bagi koruptor itu tidak ada yang mustahil bisa dilakukan untuk kepentingan bangsa dan negara," ujarnya.
Baca juga: Pedemo DWP: Anies Baswedan Pilihan Umat Pro Maksiat
Masih dari suara Istana, Staf Khusus (Stafsus) Presiden Bidang Hukum Dini Purwono menjelaskan hukuman mati bagi koruptor sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Namun, menurut Politikus PSI itu, yang tertera di dalam UU tersebut ialah koruptor terhadap penyelewengan anggaran bencana alam.
"Terkait pertanyaan hukuman mati untuk koruptor, Presiden menjelaskan bahwa dalam UU Tipikor hanya diatur hukuman mati bagi pelaku korupsi dalam kasus-kasus tertentu yaitu bencana alam dan krisis ekonomi," ucapnya.
Dini mengatakan, jika pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor jadi dibuat, maka harus membahasnya secara matang dengan DPR. Sebab, RI-1 hingga kini masih menampung aspirasi rakyat.
"Mengenai hukuman mati bagi koruptor di luar kasus-kasus tertentu tersebut maksud dari jawaban Presiden 'apabila rakyat menghendaki' adalah bahwa wacana hukuman mati untuk koruptor harus dibahas dalam proses legislasi yang melibatkan diskusi serta pembahasan antara DPR dan Pemerintah," tuturnya.
Baca juga: Pelaku Persekusi 2 Anggota Banser NU Melarikan Diri
Sedangkan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan penolakannya terhadap penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana umum maupun extra ordinary crime.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik tidak setuju dengan hukuman mati kepada koruptor.
"Komnas tidak pernah berubah sikapnya, kita menolak hukuman mati. Paling tinggi kaitannya bagaimana kita bisa membangun peradaban. Dari sisi pragmatis juga tidak ada bukti statistik bahwa hukuman mati mengurangi tingkat tindak pidana extra ordinary crime," kata Taufan di Kompleks Parlemen DPR, Senayan, Jakarta, Selasa, 10 Desember 2019.
Baca juga: Pernusa: Dulu FPI Ditakuti, Sekarang Macan Ompong
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan, aturan hukuman mati untuk koruptor bisa saja diterapkan apabila memang ada kehendak yang kuat dari masyarakat.
Menurutnya, penerapan hukuman mati dapat diatur sebagai salah satu sanksi pemidanaan dalam UU Tipikor melalui mekanisme revisi di DPR.
"Itu yang pertama kehendak masyarakat, kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU pidana tipikor, itu (bisa) dimasukkan," kata Jokowi seusai menghadiri pentas drama 'Prestasi Tanpa Korupsi' di SMK 57, Jakarta, Senin, 9 Desember 2019. []