Sekerat Rindu dalam Sebait Nandong Simeulue Aceh

Teriakan mereka terasa mengusik, sesekali lelaki itu menggerutu karena dongkol.
Gendang milik Ali Usman, 55 tahun, warga Simelue yang beprofesi sebagai guru salah satu sekolah dasar di Kecamatan Teupah Barat, Simeulue. (Foto: Tagar/Rino Abonita)

Aceh Barat – Ia tidak berbicara sedikit pun sejak tadi, hanya termangu sembari duduk bersandar di bibir pintu, bertemankan walkman tua. Tatapannya membatu ke arah matahari tenggelam, di mana bentangan cahaya kejinggaan menjadi latar bagi siluet pelbagai benda yang ada di depannya.

Tak ada camar laut yang terbang bergerombol menuju ke tetirah di ufuk bumantara. Langit kala itu tampak lengang, sementara, sekelompok bocah yang tengah asyik bermain engklek di halaman rumah terdengar ribut.

Teriakan mereka terasa mengusik, sesekali lelaki itu menggerutu karena dongkol. Gara-gara mereka, ia mesti menempelkan pemutar audio tersebut ke telinga agar lebih jelas mendengar suara yang keluar.

Pemutar gulungan pita magnetik pun terdengar melambat dan mengayun dengan gasal. Hanya dirinya yang tahu apa yang sedang para lelaki di dalam walkman tersebut ucapkan.

Suara yang terdengar dengan jelas saat itu hanya pukulan gendang. Iramanya laras, saling bergantian dengan syair yang sedang para lelaki tersebut perdendangkan.

Vokal para pelantun syair tersebut saling berbagi antara tenor, bariton hingga kontra tenor. Sementara, ketukan gendang cenderung monoton, tidak banyak berubah dari awal hingga akhir.

Ketika pukulan gendang berhenti, seseorang mula-mula akan melantunkan syair dengan nada yang tinggi melengking bak seekor burung elang yang tiba-tiba terbang melejit ke atas. Yang lain biasanya akan menyambut atau menyahuti setiap ujung syair tersebut dengan nada yang tidak kalah tinggi.

Nada yang tadinya tinggi sewaktu-waktu dapat berubah menjadi rendah hingga datar. Kendati sukar orang lain mengerti, syair-syair tersebut terdengar liris atau emosional, bahkan cenderung mirip ratapan.

Biasanya untuk acara perkawinan akan diundang para pemuda, bahwa ini akan ada acara dan kita akan humedang.

Dari bunyi vokalnya, terkesan bahwa para lelaki ini memakai bahasa Minangkabau. Namun, karena telah bercampur dengan unsur dialek lokal, bahasa asli Sumatera Barat tersebut tidak terlihat bahkan cenderung kabur.

Sesaat kemudian, tombol penyetop walkman menyembul keluar bersamaan dengan bunyi ketukan kecil, pertanda sisi kaset harus ia balik. Namun, lelaki itu sama sekali tidak menggubris, hanya menatap kosong dengan posisi kaki tertekuk sedada serta dagu bertelekan lutut.

"Itu tadi pantun rantau," celetuknya. Tagar pun mengikuti lelaki ini duduk di dipan kayu yang ada di samping rumahnya, lantas berbeka-beka hingga azan Magrib berkumandang di kejauhan.

Selamat dari Tsunami karena Nandong

Minggu, 26 Desember 2004, pagi, tsunami melantak 14 negara yang berada di sepanjang garis pantai Samudera Hindia, termasuk yang paling berat adalah Aceh, Indonesia. Di Serambi Makkah, lebih kurang 170 ribu jiwa tercatat menuruti undangan sang mair, terpuruk di antara reruntuhan bangunan yang telah hancur mumur, atau hilang di antah-berantah.

Sementara itu, di sebuah pulau sekitar 150 kilometer dari lepas pantai barat provinsi tersebut, jumlah korban dapat kita hitung dengan jari. Mengingat gugusan kepulauan bernama Simeulue ini berada di atas persimpangan tiga palung laut terbesar, tempat bertemunya lempeng Asia dengan Australia, serta Samudra Hindia di sisi lain, fakta ini tentu terkesan sangat ganjil bin ajaib.

Usut punya usut, minimnya jumlah korban di pulau tersebut karena para penduduk telah lebih dulu menyelamatkan diri dengan cara menjauhi pantai kemudian menuju ke daratan tinggi sebelum gelombang raksasa menyapu daratan. Berbeda dengan tempat lain, deteksi dini akan datangnya tsunami telah mereka sadari sedari awal terlebih setelah melihat terumbu karang yang ada di tepi pantai tiba-tiba muncul ke permukaan karena air laut surut setelah gempa terjadi.

Mandi LautSejumlah anak sedang mandi laut di Pulau Simeulue, Aceh. (Foto: Tagar/Fahzian Aldevan)

Keputusan yang mereka ambil pada hari itu tidak berasal dari wangsit yang datang dengan tiba-tiba. Namun, dari nasihat para pendahulu yang jauh hari telah tertanam di dalam kepala melalui estafet budaya tutur secara turun-temurun bernama nandong.

"...disampaikan dari satu generasi kepada generasi berikutnya melalui pantun/puisi dalam menjalankan aktivitas sehari-hari pada saat melaut, berkebun, memanen, menidurkan anak hingga dalam acara perkawinan," tulis Tasnim Lubis dalam disertasi berjudul Tradisi Lisan Nandong Simeulue: Pendekatan Antropolinguistik (2019: 91).

Adapun nasihat akan datang ombak besar apabila gempa kuat terjadi terdapat di dalam salah satu syair atau pantun yang tersampaikan melalui seni tutur tersebut. Pantun ini berjudul Semong, berarti tsunami.

Anga linon ne malli

Oek suruik sahuli

Maheya mihawali

Fano me sina tinggi.

Jika gempanya kuat

Air surut sekali

Cepat kalian cari

Daratan yang paling tinggi (Tasnim, 2019: 10-11).

Fakta bahwa penduduk Simeulue selamat karena memedomani isi pantun tersebut menjadi bukti bahwa nandong tidak hanya fungsional sebagai seni per se. Dalam sosiokultural masyarakat Simeulue, ia telah mengejawantah jadi peranti, detektor, atau sonar kewaskitaan yang dapat membaca tanda-tanda atau gejala datangnya bencana alam.

Varian Pantun dalam Nandong

Pulau Simeulue AcehPemandangan tepi pantai di salah satu kawasan Teupah Barat. (Foto: Tagar/Rino Abonita)

Hingga saat ini, kesenian nandong masih bisa kita lihat di dalam pelbagai acara adat seperti perkawinan, sunatan, hingga acara kedinasan sebagai kebutuhan formalitas dalam perhelatan yang pemerintah gelar tersebut. Peralatan musik yang para penampil butuh tidak muluk-muluk, hanya gendang, terkadang juga terdapat instrumen tambahan seperti biola dan suling yang bertugas untuk meniru irama sesuai suara para pelantun.

Penduduk Simeulue di Jakarta banyak, juga di Banda Aceh. Yang di Jakarta pada umumnya bekerja di swasta.

"Biasanya untuk acara perkawinan akan diundang para pemuda, bahwa ini akan ada acara dan kita akan humedang (bergendang, berarti juga nandong). Kadang juga diisi dengan berampano (debus). Di setiap kampung memang ada orangnya, mereka akan langsung datang sewaktu acara," jelas Ali Usman, 55 tahun, guru SD Negeri 10 Kecamatan Teupah Barat, kepada Tagar via telepon, Minggu, 23 Agustus 2020.

Kegiatan nandong bisa berlangsung semalam suntuk hingga fajar tiba. Pada penutupan nandong, boleh jadi akan ada tonjok, salah satu pantun yang isinya tentang permintaan izin pamit serta ucapan terima kasih kepada pemilik rumah, terutama, semua orang yang telah berperan mempersiapkan segala kebutuhan acara pada hari itu. "Tonjok itu mereka yang mahir-mahir saja yang bisa bawa," kata Ali.

Untuk pantun nandong, setidaknya terdapat beberapa tema dengan maksud dan tujuan atau nasihat yang berbeda-beda setiap isinya. Tasnim dalam disertasinya menyebut beberapa di antaranya, yakni, dendang, sembah, jawab, kasih, janji, untung, burung, carai, batunangan, buang, semong, bare, dan kunyik.

"Melalui teks tertulis, terdapat 14 teks nandong Simeulue dengan 11 nandong menggunakan bahasa Aneuk Jamee, satu nandong yang terdapat dalam bahasa Devayan dan satu dalam bahasa Sigulai. Nandong dalam bahasa Devayan memiliki tema tersendiri sedangkan nandong dalam bahasa Sigulai merupakan jenis nandong sambah yang merupakan salah satu dari tema nandong," terang Tasnim (2019: 165).

Adapun bahasa Aneuk Jamee yang Tasnim maksud merupakan salah satu jenis bahasa yang penduduk di kawasan barat selatan Aceh, termasuk pulau Simeulue, pakai. Aslinya berasal dari para pendatang Sumatera Barat.

Aneuk Jamee sendiri berarti tamu. Seiring waktu, dialeknya tentu telah mengalami sinkronisasi sesuai adat budaya lokal, misal, kosakata Minangkabau 'ba-a' yang artinya 'bagaimana' dalam bahasa Indonesia menjadi 'ba-apo' dalam bahasa Aneuk Jamee.

Sekerat Rindu

Ilustrasi walkman tuaIlustrasi walkman tua. (Foto: Tagar/Rino Abonita)

Nandong telah terdaftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WTTB) Indonesia pada 2016 lalu. Sayangnya, selama ini banyak orang mengenal nandong hanya sebatas kaitannya dengan bencana tsunami yang terjadi di ujung utara Pulau Sumatra saja, padahal, keberadaannya jauh lebih kompleks dan filosofis, bahkan melampaui nilai-nilai seni itu sendiri.

Selain hidup secara episiklik di dalam masyarakat kepulauan berjuluk Ate Fulawan atau berhati emas, nandong jadi psikoenergi bagi individu, bahkan bernilai transedental bagi kehidupan kolektif, karena terikat oleh etika, moral, spiritual, hingga syariat. Di waktu-waktu tertentu, ia juga pelipur lara bagi jiwa-jiwa yang rindu akan janabijana.

Seperti yang lain, penduduk Simeulue juga diaspora ke pelbagai tempat, menempuh pendidikan, bekerja, bekeluarga, jauh dari tanah kelahiran mereka. Per Maret lalu, tercatat ada 2.330 orang warga kabupaten itu memilih pulang karena pagebluk C-19.

Jumlah tersebut tentu saja tidak mewakili total warga Simeulue yang menjadi perantauan. Masih banyak sekali yang hidup dan bekeluarga di daerah lain.

"Penduduk Simeulue di Jakarta banyak, juga di Banda Aceh. Yang di Jakarta pada umumnya bekerja di swasta. Di Banda Aceh sebagian pegawai," kata Moris Mesasilae, dari Central Cultur Simeulue, kepada Tagar, Jumat, 21 Agustus 2020, siang.

Selain itu, isinta tek hampong (orang Simeulue) juga tersebar di 23 kabupaten/kota Aceh. Tagar bertemu dengan salah satunya di Gampong Persiapan Peunaga Baro, sebuah kompleks perumahan bantuan untuk para penyintas bencana gempa dan semong yang terletak di Kecamatan Meureubo, Aceh Barat.

Di kompleks perumahan bantuan dari sebuah yayasan yang berpusat di Taiwan ini, terdapat puluhan kepala keluarga (KK) asal pulau Simeulue yang menetap dan mencari nafkah dengan pelbagai jenis pekerjaan. Adapun orang yang Tagar temui bekerja sebagai tenaga nonstruktural di Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh Barat.

Lahir 05 Mei 1955, Awe Kecil, Kecamatan Teupah Barat, Sarkiat T. pertama kali menginjakkan kaki di Meulaboh pada 1993 sebagai seorang pengayuh becak. Ia menjual perahu satu-satunya lalu mencoba peruntungan di perantauan dengan membawa serta istri dan seorang anaknya.

Hingga 2004, Sarkiat sempat pindah rumah sebanyak empat kali dengan tinggal di Gampong Kuta Padang dan Ujung Kalak. Tempat tinggalnya saat ini terhitung sebagai rumah keenam yang ia tempati selama hidup di sana.

Sarkiat dulunya memiliki puluhan becak dayung yang ia sewakan kepada pengayuh sebesar Rp 5000 per hari. Namun, bencana telah menghancurkan seluruh usaha yang ia bangun puluhan tahun lalu tersebut.

Usianya yang lewat setengah abad telah banyak mencecap manis getirnya kehidupan. Di hari tuanya, kini Sarkiat mulai merindukan tanah yang dulu menjadi tempat kelahirannya, sebuah negeri di mana ombak terlihat tosca dan tenang ketika matahari tepat di atas kepala.

"Ketika siang kadang orang mencari silongor (sejenis gastropoda atau siput laut yang orang kenal dengan nama mata lembu) atau marela nai (menjala ikan)," tutur Sarkiat, kepada Tagar belum lama ini.

Di saat itu, angin yang datang dari arah laut terasa begitu semilir, sementara, ombak-ombak berukuran sedang dan kecil bergerak perlahan lalu pecah di terumbu karang. Tengah hari bolong begitu, anak-anak biasanya akan terlihat menyuruk di sela-sela gunungan karang untuk mencari rumput laut yang menempel di situ.

"Kita bilang namanya beu-eu (nama rumput laut). Bisa langsung dimakan di tempat, tapi, awas nanti sakit perut. Tapi, akan lebih enak kalau dimasak," tuturnya.

Sarkiat menyaksikan kembali pelbagai kejadian yang ada di dalam ingatannya itu pada setiap bait pantun nandong yang kerap dia dengar melalui walkman tua miliknya. Kalau sudah begitu, pantun rantau adalah yang paling ia suka di antara pantun yang lain.

Mangarang rakek rajo di ulu

Tumbuh cindawan di batang padi

Buli babalek adek kandong

Gadong batingkek tido panghuni.

Menurut Sarkiat, di dalam pantun tersebut terkandung arti bahwa jauh di sana, ada kampung halaman yang sedang menanti. Sementara, seseorang di sini terlalu berat untuk mengingat-ingat kembali kapan terakhir kali ia berdiri di atas dek kapal bersama puluhan penumpang lainnya, melihat ke arah dermaga yang perlahan semakin mengecil lalu menghilang di cakrawala. []

Baca juga:

Berita terkait
Jadwal Lengkap Imsak dan Buka Puasa di Simeulue Aceh
Berikut jadwal imsakiyah lengkap Ramadan 1441 Hijriah untuk wilayah Kabupaten Simeulue, Aceh.
Lezatnya Mi Lobster, Kuliner Khas Simeulue Aceh
Mi lobster menjadi kuliner khas Kabupaten Simeulue, Aceh. Rugi rasanya bila berkunjung tidak sempat mencicipinya.
Smong, Sebutan Masyarakat Simeulue untuk Tsunami
Bagi masyarakat Simeulue, Aceh pengalaman generasi terdahulu dijadikan pelajaran untuk generasi masa depan.
0
Menkeu AS dan Deputi PM Kanada Bahas Inflasi dan Efek Perang di Ukraina
Yellen bertemu dengan Freeland dan janjikan kerja sama berbagai hal mulai dari sanksi terhadap Rusia hingga peningkatan produksi energi