Desa Pelosok Aceh, Lawan Gajah dan Tak Ada Internet

Salah satu desa terpencil di Nagan Raya, Aceh, memiliki beragam masalah, mulai dari konflik dengan gajah dan tak ada jaringan internet.
Kondisi rumah warga yang rusak akibat gajah liar di Desa Blang Lango, Seunagan Timur, Nagan Raya, Aceh. (Foto: Tagar/Vinda Eka Saputra).

Nagan Raya – Satu perahu mesin berukuran kecil tertambat di tepi Sungai Krueng Nagan, lebarnya hanya sekitar satu meter lebih sedikit, atau kurang lebih sepanjang ukuran sepeda motor.

Meski kecil, perahu itu bisa memuat lima sepeda motor sekaligus dalam sekali jalan, dengan ongkos per sepeda motor 10.000 rupiah.

Di atas perahu, dua sepeda motor terparkir melintang, dengan seorang pengendara pada masing-masing sepeda motor. Sementara, seorang pria berkulit gelap terlihat memasang papan dari perahu ke tanah di pinggir sungai. Pria itu merupakan pemilik perahu tersebut.

Papan itu berfungsi sebagai jembatan untuk pengendara sepeda motor yang akan naik ke atas perahu.

Air sungai Krueng Nagan yang memisahkan Desa Krueng Nagan dan Desa Alue Thuo mengalir cukup deras. Warnanya cokelat keruh. Namun derasnya arus tak menyurutkan nyali para penumpang perahu dan pemiliknya. Menyeberangi sungai menggunakan perahu merupakan satu-satunya cara untuk tiba ke Desa Blang Lango, Kecamatan Seunagan Timur, Kabupaten Nagan Raya, Aceh.

Desa Blang Lango merupakan salah satu dari tiga desa yang memiliki permasalahan yang sama, yakni konflik dengan gajah liar, buruknya infrastruktur menuju desa mereka, dan minimnya sarana pendidikan. Dua desa lain adalah Desa Tuwie Meulesong, dan Desa Kila.

Beragam Kesulitan Warga

Desa Blang Lango terletak di atas gunung, dengan jarak tempuh sekitar 1,5 jam dari pusat kota Kabupaten Nagan Raya. Akses jalan menuju ke desa itu cangat memprihatinkan, berlumpur dan becek. Jalurnya pun cukup curam.

Cerita Desa Aceh 2Warga menggunakan perahu motor untuk menyebrangi Sungai Krung Nagan agar bisa sampai ke Desa Blang Lango, Kecamatan Sunagan Timur, Nagan Raya, Aceh yang berada di seberang sungai. (Foto:Tagar/Vinda Eka Saputra).

Setelah tiba di seberang sungai, masih dibutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk sampai di Desa Blang Lango.

Malam itu, Sabtu, 29 Agustus 2020, tiga kepala desa berkumpul bersama warga, ketiganya yakni Odiantri Kepala Desa Blang Lango, Afandi Kepala Desa Tuwie Meulesong, Sofyan Kepala Desa Kila.

Mereka menceritakan masalah yang ada di desa masing-masing. Mulai dari konflik dengan gajah liar hingga sulitnya akses pendidikan.

Odiantri mengatakan, awalnya total penduduk di Desa Blang lango sebanyak 205 jiwa. Mayoritas mereka adalah transmigran dari Jawa. Mereka tinggal di 80 rumah yang dibangun melalui program transmigrasi.

Tapi, saat ini tinggal 17 rumah saja yang masih ditempati oleh warga. Sebab sebagian lainnya pergi dan memilih pindah ke desa lain, karena mereka merasa tidak aman dan nyaman dengan adanya kawanan gajah liar sering masuk kepermukiman warga dan merusak sejumlah rumah serta kebun.

Kalau masalah gajah ini belum teratasi maka banyak masalah lain yang juga akan timbul, salah satunya perekonomian warga karena warga tidak bisa berkebun kalau gajah masih saja merusak kebun kami.

Masalah lain adalah kurangnya akses pendidikan dan fasilitas kesehatan. Menurut Odiantri, di Desa Blang Lango tidak ada tenaga medis atau dokter yang menetap, sehingga tak jarang jika ada warga yang sakit saat tengah malam, mereka membawanya ke ibu kota kecamatan yang jaraknya 10 kilometer dan menyeberangi sungai Krueng Nagan.

“Kami harus membangunkan orang yang membawa perahu itu dulu, biasanya kalau tidak penting kali dia enggak mau narik dan kalau malam itu ongkosnya naik jadi 15.000,” katanya.

Desa itu memiliki satu puskesmas pembantu, tetapi petugas medis hanya datang sekali dalam seminggu.

Yurnalis, 32 tahun, seorang warga setempat yang berprofesi sebagai guru, membenarkan penjelasan Odiantri. Menurutnya satu-satunya sekolah di tempat itu adalah SD Negeri Alue Bakti, yang masih merupakan sekolah cabang dari SD yang sama di Desa Alue Bakti.

“Saya sudah mengajar disitu sejak awal sekolah diresmikan pada tahun 2018 yang lalu sampai saat ini saya masih tetap mengajar,” katanya.

Cerita Desa Aceh 3SDN Alue Bakti yang berada di Desa Blang Lango, Seunagan Timur, Nagan Raya, Aceh (Foto:Tagar/Vinda Eka Saputra).

SDN Alue Bakti di desa itu hanya memiliki tiga ruangan dengan total siswa sebanyak 25 orang, yang terdiri dari siswa kelas satu hingga kelas empat.

Sedangkan untuk jumlah tenaga pendidik atau guru yang mengajar di sekolah itu jumlahnya sebanyak enam orang termasuk dirinya, dari keenamnya, satu di antaranya adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) selebihnya adalah guru honorer.

Selain minimnya tenaga pengajar, sekolah itu hanya memiliki sedikit koleksi buku. Akibatnya para siswa dan guru semakin kesulitan dalam proses belajar mengajar.

“Yang kami butuhkan di SDN Alue Bakti ini buku, karena bukunya masih sedikit jadi kurang, kemudian belum semua bidang studi itu ada gurunya hanya beberapa mata pelajaran saja yang ada gurunya,” keluh Yurnalis.

Kesulitan-kesulitan yang dihadapi seperti semakin sempurna dengan gaji yang diterima oleh para tenaga honorer, yang menurutnya tidak sebanding dengan risiko yang harus dihadapi.

“Kalau gaji ya seberapalah dek, tapi ini memang sudah panggilan jiwa kita karena ini juga anak-anak kita jadi sudah kewajiban saya untuk mendidik mereka,” katanya.

Tidak Terjangkau Jaringan Internet

Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia, lanjut Yurnalis, semakin mempersulit keadaan. Sebab para guru dan siswa harus melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ), sementara jaringan internet tidak menjangkau tempat itu.

Cerita Desa Aceh 4Diskusi di rumah salah seorang warga di Desa Blang Lango, Seunagan Timur, Nagan Raya, Aceh (Foto: Tagar/Istimewa)

Akhirnya seluruh siswa seperti diliburkan. Mereka tidak berangkat ke sekolah tetapi juga tidak bisa melaksanakan proses belajar.

“Tapi kalau belajar daring kami tidak ada, jangankan jaringan internet sedangkan jaringan untuk telepon biasa saja susahnya minta ampun,” ujarnya.

Sehingga tak jarang ia harus mengajar anak-anak dirumahnya dan bahkan door to door atau rumah ke rumah agar anak-anak tetap terus dapat belajar.

“Banyak orang tua yang mengadu kalau jumpa sama saya, mereka takut anak mereka semakin bodoh karena sudah lama tidak sekolah,” kata Yurnalis.

SDN Alue Bakti terletak di tepi jalan. Di depannya terdapat lumpur bekas kubangan kerbau. Sementara, di halaman sekolah terdapat tiang bendera setinggi enam meter yang terbuat dari bambu.

Sedangkan kondisi dinding tembok sekolahnya pun sudah memudar dan sebagian catnya sudah terkelupas.

Dihubungi terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Nagan Raya, Irawan mengaku dirinya belum mengetahui detail status SD Alue Bakti yang berada di Desa Blang Lango. Alasannya karena baru menjadi Plt Kadisdik di Kabupaten Nagan Raya.

“Karena itukan daerah transmigrasi, saya dengar itu dibangun oleh transmigrasi,” kata Irwan, Kamis, 3 September 2020.

Kata dia, Dinas Pendidikan Nagan Raya sudah menoba berusaha membantu pemekaran agar sekolah itu menjadi sekolah mandiri.

“Kita sudah minta kepada kepala desa disitu untuk melangkapi semua persyaratan yang dibutuhkan seperti tanah yang bersertifikat dan minimal ada tanah yang dihibahkan kepada pemda baru bisa kita jadikan sekolah mandiri,” katanya.

Namun, kata dia, hingga kini semua persyaratan yang diminta oleh dinas pendidikan itu belum dilengkapi oleh pihak desa, sehingga mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu pembangunan dan pemekaran sekolah di Desa Blang Lango tersebut.

“Sebelum bulan Ramadan kemarin saya sudah panggil kepala desa ke kantor tapi sampai sekarang satu pun belum ada persyaratan yang diberikan,” jelas Irwan.

Jika semua persyaratan yang dibutuhkan sudah dilengkapi, pihaknya bisa mengusulkan pembangunan dan kelangkapan semua fasilitas yang dibutuhkan.

“Karena sekarang kita sudah tidak diperbolehkan lagi membangun sekolah-sekolah yang muridnya dibawah 60 siswa, hanya saja karena ini faktor geografi jadi kita diberikan dispensasi oleh Kementrian Pendidikan,” jelasnya.

Ia menambahkan, saat ini guru yang mengajar di sekolah itu berjumlah enam orang yang lima diantaranya adalah tenaga honorer dan satu PNS, kelima orang guru honorer itu adalah putra-putri daerah setempat yang diminta untuk mengajar di sekolah tersebut.

“Karena kalau kita impor dari luar kan enggak sanggup juga mereka kesitu setiap hari, hanya saja mereka itu untuk datanya masih tunduk ke SD Alue Bakti yang awal atau induknya,” terangnya.[]

Berita terkait
Cerita di Balik Video Maki-maki Petugas Medis Aceh
Rumah sakit hanya mengambil bagian mengantar jenazah dengan mobil ambulans, mengenakan APD lengkap tidak ikut banyak membantu.
Kisah Masjid Keramat Dicurigai Belanda di Aceh
Sekali waktu, warga hendak menghancurkan sebagian bangunan masjid untuk perombakan, katanya, gagal. Konon, beton masjid tidak hancur sama sekali.
Yu Ning "Tilik" Jadi Guru dan Cerita Mendadak Akting
Brilliana Dessy pemeran Yu Ning dalam film Tilik mengisahkan perjalanan kariernya dalam dunia akting. Dia pernah mendadak harus berakting.
0
David Beckham Refleksikan Perjalanannya Jadi Pahlawan untuk Inggris
David Beckham juga punya tips untuk pesepakbola muda, mengajak mereka untuk menikmati momen sebelum berlalu