Jeritan Eks Kombatan GAM Setelah 15 Tahun Damai Aceh

Bunga api kembali menyala di dalam gelap, letupan senapan pun bersahutan kembali, berdesing, bengang dan sangat liar.
Ilustrasi Perdamaian Aceh. (Foto: Tagar/Fahzian Aldevan)

Aceh Barat – Sesaat setelah senapan saling berdetusan, sekonyong-konyong suasana terasa sangat hening. Tidak terdengar lagi ada suara tembakan dari kedua belah pihak yang tadi saling bertempur kecuali bunyi gemeresak di antara semak-semak di kejauhan.

Sembari menyaru dengan cara tengkurap di antara rimbunan belukar, M. Djafar, 40 tahun, mencoba menangkap kode dari seorang rekan yang bersembunyi tidak jauh darinya. Mereka berkomunikasi dengan suara agak mendesis.

Djafar masih bisa merasakan telinganya berdenging. Ketika mengikrarkan baiat dulu, ia sadar betul bahwa suatu saat nanti dirinya akan menghadapi situasi yang benar-benar pelik.

Benar saja, keheningan tadi rupanya cepat berlalu. Bunga api kembali menyala di dalam gelap, letupan senapan pun bersahutan kembali, berdesing, bengang dan sangat liar.

"Nyan hana pre su beude (itu enggak berhenti suara senjata). Paling ada jeda sekitar satu menitan," tutur Ekskombatan bernama sandi Tgk. A***h itu kepada Tagar, Jumat 14 Agustus 2020 malam.

Ia dan pasukan Teuntra Nanggroe Aceh (TNA) lainnya saat itu mesti berusaha agar lepas dari pengepungan besar-besaran tersebut. Sementara, lebih kurang lima hari para gerilyawan ini tidak makan hingga pasukan TNI AD datang menyerbu dari segala penjuru.

Kontak senjata ini terjadi di hutan Woyla Timur dan Sungai Mas. Kelak, pengepungan yang terjadi pada 3-4 Desember 2004 itu menjadi salah satu medan palagan paling berat yang pernah Djafar lalui.

Nyan hana pre su beude (itu enggak berhenti suara senjata). Paling ada jeda sekitar satu menitan.

"Itu salah satu (pertempuran) yang terbesar termasuk Tanah Merah," ujar pria yang resmi ikut Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 1998 ini.

Sehari semalam terkepung, Djafar dan seratusan gerilyawan berhasil selamat dengan cara meretas rute belantara hingga tembus ke Pidie. Kecuali tujuh orang rekan mereka, di mana belantara menjadi daratan terakhir yang mereka pijak setelah terhujam peluru selama yuda di dua kawasan.

"Bangkeh," sebut Djafar saat Tagar bertanya di gampong mana mereka akhirnya terdampar untuk pertama kali setelah berhasil melepaskan diri dari kepungan TNI AD. Bangkeh sendiri merupakan salah satu gampong di Kecamatan Geumpang, Pidie.

Pria ini terkesan sangat tenang dan tanpa emosi ketika bercerita kepada Tagar, namun, di balik ketenangan tersebut, masih melekat bagaimana deru napas rekan-rekan partisannya saling renteng dengan teriakan yang terkadang timbul dan tenggelam di dalam kabut. Kematian terasa begitu dekat di kerongkongan.

Tanggal 4 Desember sebenarnya merupakan hari milad bagi gerakan separatis yang memiliki nama Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF) untuk propaganda internasionalisasi ini. Namun, peringatan yang ke-28 tahun itu terpaksa mereka rayakan dalam hati masing-masing.

Lewat 22 hari setelah pertempuran, Aceh luluh lantak oleh peristiwa gempa serta semong. Lambat laun eskalasi konflik pun mereda, kemudian terjadi penandatanganan nota kesepakatan damai antara RI-GAM pada 15 Agustus 2005.

Djafar pun meletakkan senjata, kembali ke Pasi Janeng, Kecamatan Woyla Timur, Aceh Barat, kampung halamannya. Hari ini, peringatan nota kesepakatan damai genap berusia 15 tahun.

Baginya, makna 15 tahun damai telah menguap bersama triliunan anggaran otonomi khusus serta pelbagai "kemewahan" pascadamai lain yang ia sendiri tidak pernah tahu seperti apa bentuk dan rupanya. Apa mau, dirinya bukanlah siapa-siapa, hanya mantan kombatan biasa.

"Kalau kita bilang arti memang enggak ada arti apa-apa. Apa yang kita tuntut, satu pun enggak ada contoh," ujarnya.

Nilai-nilai eminen penyebab terjadinya MoU Helsinki yang dulu menjadi alasan mengapa orang-orang seperti dirinya mau menerima nota kesepakatan damai tersebut telah jauh melenceng bagi Djafar. Sementara, para elite malah sibuk gaok-gaok tentang hal-hal yang tidak terlalu elementer.

"Kalau dalam perjanjian awal ada beberapa butir tercantum, kan, banyak, yang untuk menyejahterakan rakyat, mantan-mantan kombatan," terang dia.

Perbedaan terkadang tampak kentara. Waktu selama 15 tahun ini baginya tidak ubah film layar lebar yang malah mempertontonkan kesenjangan antarsesama.

Mereka yang dulunya berasal dari golongan berpangkat dan punya tongkat purbawisesa semasa menjadi partisan kini bisa hidup tenang dengan pelbagai fasilitas. Adapun Djafar, ia harus menghadapi perang yang lain.

"Enggak ada kerja. Hai, kalau kita di gampong ini tahu sendiri seperti apa, ada yang bisa kita kerjakan, kita kerjakan. Kalau ada musim tanam padi, kita ikut," demikian akuan lelaki kelahiran 06 Oktober 1979 itu. [PEN]

Berita terkait
Wali Nanggroe Aceh Dievakuasi dari Kejaran Massa
Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al-Haytar akhirnya dievakuasi dari kejaran massa pada peringatan 15 tahun damai Aceh.
15 Tahun Damai Aceh Ricuh, Massa Kejar Wali Nanggroe
Peringatan 15 tahun damai Aceh berakhir ricuh, Sekelompok massa tampak mengejar Wali Nanggroe Aceh, Malek Mahmud.
Apa Kabar Bisnis Rongsokan Aceh di Masa Pagebluk
Jika sudah berkeliling, mata Rudi akan awas, mencari barang rongsokan di setiap sudut yang ada di Aceh Barat.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.