Sate Kere Solo Manjakan Lidah dengan Harga Murah

kelezatan sate kere Solo mampu memanjakan lidah penikmatnya dengan harga yang sangat murah. Sehingga semua kalangan bisa menikmati makanan itu.
Ilustrasi Sate Kere Solo. (Foto: womantalk.com)

TAGAR.id, Jakarta - Bukan orang Indonesia kalau tidak kreatif dalam hal kuliner. Saat sate daging ayam, kambing, dan sapi harganya terlalu mahal, maka terciptalah sate kere yang jauh lebih murah, tapi rasanya bisa memanjakan lidah penikmatnya.  

Namanya yang cukup menggelitik, yakni kere atau dalam bahasa Jawa artinya orang miskin atau gelandangan dan ternyata memiliki sejarah menarik. Kuliner yang berasal dari Solo ini berbahan dari tempe gambus dan jeroan sapi. Dua bahan itu di kalangan tertentu tidak dipakai atau dibuang.

Tempe gembus adalah bahan makanan yang difermentasi sisa bahan padat dari proses pengolahan kedelai menjadi tahu. Jenis tempe ini mulai dikonsumsi masyarakat Jawa sejak tahun 1943, saat Perang Dunia II sedang berlangsung dan persediaan makanan di perdesaan mulai jarang. 

Jeroan sapi adalah bagian perut sapi yang terdiri dari usus, limpa, dan babat. Pada masa kolonial hingga sekarang, ampas tahu dan jeroan sapi tidak dipakai di tempat makan menengah ke atas.Seperti juga kuliner sate pada umumnya, sate kere juga menggunakan bumbu kacang atau sambal kecap. Karena bahan-bahannya relatif murah, seporsi sate kere dengan lontong dibanderol dengan harga ringan sekitar Rp 5.000 sampai Rp 8.000.

Sejarah Sate Kere

Sampai era milenial atau masuk ke tahun 2000, sate masih menjadi makanan mewah yang jarang disantap oleh masyarakat menengah ke bawah. Istilah kere mengacu pada kaum marjinal yang tidak mampu makan enak dan mahal.

Sejak era kolonial inilah kaum marjinal tersebut berinovasi dengan menciptakan sate yang berasal dari jeroan sapi dan tempe gembus, tapi bentuknya tetap serupa dengan sate daging. Dengan begitu, mereka tetap bisa menikmati sate dalam bentuk sate kere (satenya orang miskin).

Heri Priyatmoko, Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, menulis artikel berjudul Historiografi Sate Kere. Di artikel itu dia menyatakan sate kere adalah potret budaya tanding (counter-culture).Dia mengacu pada gaya hidup berbeda dari kehidupan mapan. 

Secara sosiologis budaya tanding mencerminkan konflik perkara gaya hidup kelas. Dihayati secara mendalam, pengertian budaya tanding dalam konteks kuliner rupanya dapat memunculkan sifat kompetisi yang sehat dan kreatif.

Pihak wong cilik atau rakyat jelata merasa kalah dalam urusan makan. Alih-alih, frustasi dan bertindak anarki, mereka bersikap produktif dan menciptakan kreasi baru.

Lambat Laun Naik Kelas

Keberadaan sate kere yang akrab dengan kaum marjinal, tidak lantas menjadikannya stigma makanan kelas bawah. Hal itu disampaikan oleh Nisa (40 tahun), seorang karyawati di sebuah perusahaan garmen di Semarang Barat.

"Kalau pulang ke Solo, saya beli sate kere, biasanya di Car Free Day Solo. Rasa dan harganya tidak jauh beda dengan sate ayam, sekitar sepuluh ribu rupiah atau lebih," ujar Nisa kepada Tagar.

Tentu saja Nisa bukan orang miskin karena makan sate kere, tapi memang makanan itu adalah khas dari kota asalnya. Menurutnya, kuliner itu lambat laun naik kelas, bukan lagi hidangan marjinal.

"Tapi, sate kere memang belum menjadi makanan restoran," ujarnya sambil tersenyum. [] 

Baca juga:

Berita terkait
Burasa, Makanan Khas Sulsel di Hari Lebaran
Salah satu sajian makanan yang tidak boleh terlewat saat merayakan momen lebaran di Makassar adalah Burasa.
Lima Makanan Khas Bali Menggugah Selera
Bali bukan hanya terkenal dengan keindahan wisata saja, tetapi makanan khasnya juga sangat lezat dan menggugah selera.
Kue Garpu, Kuliner Lebaran Khas Semarang
Kue ini disebut kue garpu karena cara membuatnya memang dicetak menggunakan garpu. Berikut Tagar bagikan cara membuatnya.