Revisi UU MD3 untuk Kepentingan Politik Semata

Revisi UU MD3 dinilai tidak perlu dilakukan, sebab tidak menguntungkan rakyat. Revisi UU MD3 dimaknai hanya untuk bagi-bagi jatah kursi.
Pemanggilan mereka menjadi tanda tanya bagi masyarakat. Apakah itu terkait menteri Jokowi atau hanya sebatas silaturahmi.

Jakarta - Pakar Politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Jakarta, Ujang Komarudin menyatakan adanya wacana untuk membuat perubahan kembali pada UU MD3 sebaiknya tidak perlu dilakukan.

Menurut dia, revisi tidak dibutuhkan, terutama untuk mengubah komposisi jabatan pimpinan di parlemen.

Berdasarkan UU MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) pasal 427 C, formasi pimpinan MPR terdiri dari lima orang yang terdiri dari empat unsur parpol dan satu DPD. Pimpinan dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap.

"Cukup, tidak usah direvisi terus menerus itu. Karena demi kepentingan politik tertentu direvisi, sebaiknya tidak perlu," kata Ujang kepada Tagar, Senin, 26 Agustus 2019.

UU MD3 merupakan Revisi Undang-Undang 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD. 

Undang-undang ini berisi aturan mengenai wewenang, tugas, dan keanggotaan MPR, DPR, DPRD dan DPD. Hak, kewajiban, kode etik, serta detail dari pelaksanaan tugas juga diatur dalam UU MD3.

"Revisi UU itu sejatinya bukan hanya untuk menguntungkan para pimpinan wakil rakyat. Tapi harus menguntungkan rakyat," ujar dia.

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ini, perubahan atau revisi UU MD3 hanya untuk kepentingan yang mengatur kebijakan politik tertentu dan tidak menguntungkan rakyat.

"Jika revisi hanya untuk mengakomodir penambahan kursi pimpinan ya buat apa. Karena itu sifatnya bagi-bagi jabatan, tidak ada untungnya buat rakyat," kata dia.

Ujang menyatakan, revisi bisa saja dilakukan apabila ada hal yang mendesak.

"Dalam kinerja dan kebijakan juga tidak ada masalah jika tidak direvisi. Anggota parlemen itu standar biasa-biasa saja. Kalau saya memandang hanya ingin bagi-bagi jabatan saja. Semua ingin jadi pimpinan di parlemen, jadi ingin merevisi UU MD3," tuturnya.

Ia memandang, lima orang pimpinan di DPR dan MPR saat ini sudah sesuai. 

Sebelumnya, Ketua DPR Bambang Soesatyo sempat mengungkapkan keengganannya untuk terlibat dalam revisi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2018 atau UU MD3. Padahal, UU MD3 yang dipersiapkan saat ini belum sempat dipakai dan baru saja direvisi.

Akan tetapi, dalam perkembangannya, usulan untuk menambah jumlah pimpinan MPR itu muncul. Formasi MPR 2014-2019 terdiri dari delapan orang, kemudian dirampingkan menjadi lima orang untuk 2019-2024, lalu kembali muncul usulan 10 orang.  

Revisi UU MD3 sempat dilontarkan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon merespons usulan Politikus PAN Saleh Partaonan Daulay untuk sepuluh pimpinan MPR bisa dipertimbangkan, bila semua fraksi bersepakat. Wacana itu, menurut dia sah-sah saja dilontarkan. 

"Kalau disepakati bersama, why not," ujar Politikus Gerindra itu. []

Baca juga: Jokowi Isyaratkan Amandemen Terbatas UUD 1945

Berita terkait
Mahyudin Janji Kuatkan DPD Melalui UU MD3
Wakil Ketua MPR Mahyudin berjanji akan memperkuat DPD melalui UU MD3. Menurut dia di dalam UUD, DPD tidak terlalu kuat peran dan fungsinya.
DPD Merasa 'Dikerjai' DPR di UU MD3
Pasal UU MD3 dianggap merugikan peran DPD. Ini alasannya.
Mahasiswa di Aceh Demo Tolak UU MD3
"Kami mendesak DPR Aceh mendukung penolakan revisi UU MD3 dan mendesak Mahkamah Konstitusi untuk mencabut beberapa pasal yang dianggap merugikan masyarakat"
0
Komisi VIII DPR Optimis Sentra Kemensos Jadi Multilayanan yang Bisa Penuhi Kebutuhan Masyarakat
Anggota Komisi VIII optimis, transformasi fungsi Sentra Kemensos menjadi multilayanan akan semakin meningkatkan pemenuhan kebutuhan masyarakat.