Publik Ingin Kebijakan Normal Baru, Bukan PSBB

Survei yang dilakukan oleh CPCS menyebutkan mayoritas publik ingin normal baru, bukan PSBB apabila Covid-19 gelombang kedua melanda Indonesia.
Petugas medis Rumah Sakit Haji memberikan cairan pembersih tangan (hand sanitizer) dan pelindung wajah (face shield) kepada pedagang saat melakukan sosialisasi penerapan normal baru di pasar tradisional Bengkok Aksara Baru Medan, Sumatera Utara, Kamis, 2 Juli 2020. (Foto: Antara/Septianda Perdana)

Jakarta - Survei yang dilakukan oleh Center for Political Communication Studies (CPCS) menyebutkan mayoritas publik menginginkan normal baru alias tidak menginginkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bila gelombang Covid-19 terjadi di Tanah Air.

"Secara mutlak, mayoritas publik lebih menginginkan tetap diterapkannya normal baru, seandainya gelombang kedua Covid-19 terjadi, yaitu mencapai 82,4 persen," kata Direktur Eksekutif Center for Political Communication Studies (CPCS) Tri Okta SK dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan di Jakarta, Minggu, 12 Juli 2020. 

Pemerintah harus menggencarkan protokol kesehatan, dari memakai masker, sering cuci tangan atau pakai hand sanitizer, dan memperhatikan physical distancing.

Sejumlah negara kembali memberlakukan karantina wilayah atau lockdown setelah muncul gelombang kedua penyebaran virus corona, di antaranya kota Melbourne di negara bagian Victoria Australia, kota Beijing dan sekitarnya di China, serta beberapa wilayah di benua Eropa.

Baca juga: Kebiasaan Baru yang Harus Diterapkan Saat New Normal

Menurut Okta, normal baru telah menjadi pilihan sebagian besar masyarakat, dengan memperhatikan protokol kesehatan, seperti menggunakan masker. 

Hanya sebagian kecil publik yang memilih diberlakukan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB, yaitu sebesar 12,8 persen, sedangkan sisanya menyatakan tidak tahu/tidak menjawab sebanyak 4,8 persen. 

Pilihan tersebut, kata Okta, tidak lepas dari dampak ekonomi yang memukul hampir seluruh sektor usaha, besar, dan kecil. 

Seperti diakui sendiri oleh Presiden Joko Widodo, krisis kesehatan telah berkembang menjadi krisis ekonomi, ditandai dengan ancaman pertumbuhan negatif pada kurun 2020. Berbeda dengan krisis 1998, di mana sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) mampu bertahan. 

Baca juga: Istilah New Normal Diganti, Ini Kata Pakar Bahasa

Di sisi lain, para pakar epidemiologi masih mewanti-wanti bahwa pandemi belum selesai dan vaksin masih dalam tahap pengembangan. 

"Untuk itu pemerintah dalam komunikasi publik harus menggencarkan kepatuhan terhadap protokol kesehatan, dari memakai masker, sering cuci tangan atau pakai hand sanitizer, dan memperhatikan physical distancing," kata Okta. 

Survei CPCS dilakukan pada 21-30 Juni 2020, dengan jumlah responden 1200 orang mewakili seluruh provinsi di Indonesia. Survei dilakukan melalui sambungan telepon terhadap responden yang dipilih secara acak dari survei sebelumnya sejak 2019. Margin of error survei sebesar ±2,9 persen dan pada tingkat kepercayaan 95 persen. []

Berita terkait
Kenormalan Baru, Wisata Lombok Barat Diserbu Pengunjung
Setelah tiga bulan ditutup akibat pandemi Covid-19, kini wisata di Lombok Barat dibuka kembali.
Aturan Minum Suplemen di Era New Normal
Bila ingin konsumsi suplemen peningkat sistem imun selama new normal, sebaiknya memperhatikan aturan penggunaannya. Berikut penjelasannya.
Cara Aman Berlibur ke Pantai di Era New Normal
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan saat ingin bepergian ke pantai di era New Normal agar terhindar dari penyebaran virus Corona.