Jakarta - Peristiwa pembunuhan tujuh perwira yang terjadi pada 30 September hingga 1 Oktober, yang dikenal dengan istilah G30S/PKI menyisakan sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) lain.
Setidaknya, terdapat 500.000 hingga 3 juta orang meninggal dunia dalam operasi penumpasan pengaruh komunisme di Indonesia.
Kejadian tersebut juga dibahas dalam forum Pengadilan Rakyat Internasional (International People Tribunnal/IPT) terkait kasus kejahatan serius terhadap kemanusiaan pada 1965-1966 yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda pada 10-13 November 2015 silam.
Pengadilan yang dipimpin Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, Zakeria Mohammed Yacoob, dihadiri sejumlah perwakilan, yaitu KontraS, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan sejumlah aktivis HAM serta peneliti dari dalam dan luar negeri.
Selain itu, pengadilan ini juga diikuti oleh pengacara senior Todung Mulya Lubis selaku jaksa. Dalam persidangan tersebut, Pemerintah Indonesia sebagai terdakwa.
Di persidangan IPT 1965 tersebut membeberkan 10 dakwaan pelanggaran HAM, yaitu pemusnahan, pembunuhan massal, perbudakan, pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan seksual, pengasingan, penghilangan paksa, propaganda palsu, keterlibatan negara lain dan genosida.
Mereka itu kan bukan atasan kami. Indonesia punya hukum sendiri. Saya tidak mau ada orang lain yang mendikte bangsa ini.
Nyatanya, pengadilan memutuskan Pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang terjadi setelah kejadian G30S/PKI. Hasil persidangan itu dibacakan Yacoob sekitar delapan bulan, setelah persidangan ditutup di Cape Town, Afrika Selatan.
"Pelanggaran HAM termasuk pembunuhan massal dan lainnya sebagaimana termuat dalam 10 dakwaan terjadi pada tahun 1965 dan sesudahnya," ujar Yacoob pada 20 Juni 2016 melalui siaran video, yang dikutip dari akun YouTube Indonesia People Tribunnal 1965.
Yacoob menyebutkan Pemerintah Indonesia sebagai otoritas tertinggi gagal mencegah dan menindak pelakunya. "Kejadian itu sepenuhnya di bawah tanggung jawab Pemerintah Indonesia," ucap dia.
Dia mengatakan tindakan-tindakan tersebut terjadi secara sistematis dan diam-diam dilakukan negara kepada masyarakat Indonesia.
Misalnya, kepada pendukung Presiden Soekarno, anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), anggota organisasi-organisasi terkait PKI dan PNI, serta orang-orang tak memiliki hubungan dengan organisasi politik yang dituduh terlibat.
Putusan pengadilan tersebut melahirkan sejumlah rekomendasi. Dilansir dari situs resmi IPT 1965, ada tiga rekomendasi yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia, yaitu permintaan maaf, melakukan penyelidikan dan menuntut semua pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, dan memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada korban dan penyintas.
Ditolak Pemerintah Indonesia
Pemerintah Indonesia menolak hasil dan rekomendasi yang diberikan IPT 1965. Hal ini dikemukakan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) saat itu, Luhut Pandjaitan dan Menteri Pertahanan (Menhan), Ryamizard Ryacudu.
"Mereka itu kan bukan atasan kami. Indonesia punya hukum sendiri. Saya tidak mau ada orang lain yang mendikte bangsa ini," ujar Luhut pada 20 Juli 2016.
Senada dengan Luhut, Menhan Ryamizard juga mengatakan penolakan pemerintah atas hasil IPT 1965.
"Tidak usah didengar apa kata orang di sana. Kok dengar kata orang luar negeri? Orang luar negeri yang dengarkan Indonesia. Enggak usah didengerin, gombal itu," kata Ryamizard dalam kesempatan yang sama.
Penolakan tersebut juga datang dari Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi. Ia mengatakan keputusan IPT 1965 tidak bersifat mengikat.
Sampai saat ini, pemerintah bersikukuh tidak mengakui hasil putusan IPT 1965.
Baca juga: