Untuk Indonesia

Opini: Resiliensi Pertanian dalam Ruang Desentralisasi

Perhitungan sejarah penerapan desentralisasi ini dapat diketahui sejak diberlakukannya decentralisatie wet (1903) oleh pemerintah kolonial Belanda.
Ilustrasi - Resiliensi Pertanian dalam Ruang Desentralisasi. (Foto: Tagar/Itimewa)


Oleh: Agung SS Raharjo

Berbicara mengenai konseptualisasi dan impelementasi desentralisasi di Indonesia historically sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1903. Perhitungan sejarah penerapan desentralisasi ini dapat diketahui sejak diberlakukannya decentralisatie wet (1903) oleh pemerintah kolonial Belanda.

Tentunya prosesi perkembangan negara dalam konteks pelaksanaan sistem desentralisasi ini telah memakan waktu yang cukup panjang. Beragam dinamika perubahan, baik dari sisi konseptual ataupun implementasi, mewarnai catatan sejarah perjalanan proses desentralistik, hal ini kiranya terlihat dari telaah dan perbaikan peraturan perundangan mulai dari Decentralisatie Wet 1903 hingga UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah sebagai acuan hukum yang terbaru mengatur persoalan decentralization.

Apabila diamati dengan cermat secara subtantif pendulum kekuasaan dan kewenangan mengalami pergeseran dari yang bersifat sentralistik mengarah ke desentralistik. 

Sebenarnya arah perubahan ini tidaklah demikian adanya yang menggambarkan secara ekstrim beralih pada sebuah pilihan sistem baru yang anti-pusat. 

Meski sebagian para ilmuwan mengatakan bahwa prosesi desentralisasi merupakan wujud anti-tesis dari sentralistik, namun demikian secara bersamaan logika ini juga menuai beberapa perdebatan oleh sebab secara konseptual pemunculan desentralisasi tidak bermaksud menjadi faktor subtitutif dari sebuah sistem tata kelola pemerintahan yang bercorak sentralistik. 

Pendulum pembagian kewenangan, antara pusat dan daerah, selalu bergerak antara dua kutub yang berlawanan arah. Keinginan untuk menjadi sentralistik akan selalu berhadapan dengan arus kekuatan lain yang menginginkan adanya pembagian kewenangan di tingkat struktur yang lebih kecil (daerah), begitu juga sebaliknya. 

Adanya kenyataan ini dikuatkan dengan beragam realitas, terutama di negara berkembang, bahwa pembagian kewenangan yang ada tetap memberikan porsi bagi hadirnya sistem sentralistik.

Beranjak lebih jauh dalam kerangka politik lokal, ide desentralisasi ini sejatinya harus dipahami tidak sebatas pada hal yang bersifat struktural dan administratif namun lebih penting adalah membangun sebuah paradigma baru yakni mengenai peran serta masyarakat sebagai actor utama dan juga logic administrasi public yang mengorientasikan diri (government) untuk semakin memahami, mendekati, dan memenuhi kebutuhan-kubutuhan masyarakat secara lebih baik. 

Penerapan konsep desentralisasi diharapkan memperpendek jalur komunikasi dan semakin memberikan ruang partisipasi yang lebih luas. Disinilah kemudian desentralisasi dimaknai sebagai otonomi bagi rakyat daerah bukan semata-mata menempatkannya pada pemahaman suatu wilayah (territorial) tertentu pada suatu daerah. Sejauhmana masyarakat menjadi aktor utama bagi berjalannya proses desentralisasi pada suatu daerah.

Robert Putnam, dalam tulisannya berjudul Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy membangun argumen bahwa desentralisasi menumbuhkan ruang partisipasi dan tradisi kewargaan di tingkat lokal. 

Partisipasi demokratis warga telah membiakkan komitmen warga yang luas maupun hubungan-hubungan horisontal: kepercayaan (trust), toleransi, kerjasama, dan solidaritas yang membentuk apa yang disebut Putnam komunitas sipil (civic community).

Lalu bagaimana dengan pembangunan pertanian dewasa ini pada masa otonomi daerah? Dalam konteks desentralisasi yang diambil sebagai pilihan politik kala itu untuk menghentikan sikap sikap sentralistik yang sangat otoritatif. 

Beberapa urusan pemerintahan pada kenyataannya tidak serta merta kemudian dapat dilimpahkan semua kewenangannya ke daerah. Ada bagian yang tetap menjaadi kewengan pusat dan sebagian lainnya menjadi pengurusan oleh daerah. 

Bahkan dalam satu bidang pemerintahan, terdapat pembagian (sharing) tanggung jawab dan peran antara pusat dan daerah. Esensi dari keberadaan sistem desentralisasi pada otonomi daerah adalah memberikan ruang pada hadirnya prakarsa mandiri dengan batasan yang diatur oleh undang-undang.

Resiliensi Pertanian dan Desentralisasi

Penjalanan desentralisasi sendiri menemui model baru yakni dalam UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 9 ayat (3) muncul term pemerintah konkuren sebagai perpanjangan sistem desentralisasi. Urusan pemerintahan konkuren diartikan sebagai urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. 

Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Dan untuk bidang pertanian masuk dalam urusan pemerintahan pilihan yakni urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah.

Penetapan pertanian dalam urusan pemerintahan pilihan tentunya telah mempertimbangkan beragam aspek dan kondisi ini perlu ditelaah secara konseptual bahwa urusan pertanian tidak kemudian begitu saja dimaknai sama dengan penyelenggaraan urusan pangan. 

Karena dalam pembagiannya urusan pangan masuk dalam urusan pemerintahan wajib yang tidak berkenaan dengan pelayanan dasar bukan terkategori dalam urusan pilihan. 

Artinya urgensi pangan dan pertanian harus diletakkan secara pas. Pangan diartikan sebagai subjek subtantif yang lebih utama keberadaannya karena berkorelasi secara langsung dengan penghidupan dan kehidupan insan manusia. Dan berlaku kondisinua untuk semua daerah manapun baik sentra pertanian maupun non sentra.

Sementara itu, pertanian adalah bagian dari sebuah alat (tools) yang dapat dipergunakan untuk memenuhi ketersediaan pangan, disamping cara-cara lain yang dapat dilakukan dalam menjamin pemenuhan pangan seperti impor pangan. 

Dalam aspek konkurensi, urusan pilihan lebih menekankan pada keberadaan potensi daerah yang wajib untuk dikembangkan. Sehingga bagi daerah yang memiliki potensi pertanian yang tinggi sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah setempat untuk melakukan langkah pengembangnnya secara optimal. Kita coba identifikasi sampai pada level desa, dari total 74.953 desa di Indonesia sekitar 82,77% desa berbsis pertanian (Satria et al, 2022)

Pembangunan pertanian dalam ruang sistem desentralisasi hakikatnya adalah memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk secara lebih partisipatif dan mandiri menguatkan sistem ketahanan pangan daerah. Pemerintah daerah dapat membangun skala prioritas pembangunan pertanian dengan memperhatikan perubahan lingkungan strategis ditingkat lokal dan global akhir-akhir ini. 

Dari isu peremajaan petani, inflasi pangan, krisis iklim global hingga persoalan saprodi usaha tani. Isu resiliensi dan keberlanjutan pertanian saat ini juga tengah menjadi pembicaraan banyak kalangan. Resiliensi menjadi satu konseptual yang membawa arus mainstream tersendiri mengiringi ketenaran konsep subtainability yang sudah lebih dahulu diperbincangkan. 

Tidak semata kemampuan untuk bertahan, namun kekuatan daya lenting dan kemampuan bangkit serta beradaptasi dengan kondisi yang ada menjadi kebutuhan “pokok” yang tidak dapat dibaikan. 

Obrolan-obrolan seputaran hal tersebut saat ini menjamur dimana-mana, yakni diruang-ruang pejabat hingga bangku-bangku tongkrongan rakyat biasa sembari menyeruput, mungkin, secangkir kopi yang sama.

Desentralisasi, secara konsep tidaklah kemudian menempatkan pemerintah daerah sebagai subjek pembangunan yang terlalu dominan. 

Semangat asas desentralisasi sudah semestinya melihat peluang terlibatnya beragam stakeholder yang berkepentingan didalamnya. Terkait dengan urusan pertanian, keberadaan petani sangat penting perannya untuk dikuatkan dan diberikan porsi sebagai subjek pembangunan tidak semata sebagai objek. 

Penguatan-penguatan aspek pemberdayaan dan partisipasi sdm pertanian di tingkat daerah secara nyata dapat menopang penguatan pembangunan pertanian secara nasional. 

Dengan sumberdaya yang terbatas yang dimiliki oleh pemerintah maka keberadaan mereka, petani atau masyarakat, dapat menjadi bagian solutif atas persoalan kekinian misal menghadapai dampak kekeringan akibat El Nino. 

Sebesar apapaun porsi anggaran yang disisihkan untuk menghadapai ancaman kekeringan dan krisis pangan, akan kembali pada sejauh mana kesiapan sumber daya manusianya. 

Dengan kewenangan dan sumberdaya yang dimiliki, sudah semestinya pemerintah daerah tidak semata bersikap responsif terhadap permasalahan pertanian yang ada saat ini namun juga dapat melakukan langkah-langkah antisipatif atau adaptif sehingga menghadirkan pembangunan pertanian yang lebih resilien terhadap persoalan yang ada. 

Sistem desentralisasi membuka peluang bagi pencapaian pembangunan pertanian yang lebih produktif, berkelanjutan dan resilien untuk saat ini dan masa-masa mendatang. 

*ASN Kementan

Berita terkait
Opini: Ganjar - Mahfud, Final!
Insya Allah, Ganjar dan Mahfud berkarakter terpuji dengan etika dan moral yang luhur. Bersih, sederhana dan pekerja keras.
Opini: Perbaikan Layanan Kesehatan
UU Kesehatan harus mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang selama ini dialami pasien JKN dan pasien umum lainnya secara sistemik.
Opini: Para Bakal Capres di Pilpres 2024 Masih Sebatas Kata Melanjutkan dan Perubahan
Capres-Cawapres di masa kampanye nanti harus berani menawarkan strategi perubahan yang lebih baik. Jangan hanya menyebut perubahan.
0
Opini: Resiliensi Pertanian dalam Ruang Desentralisasi
Perhitungan sejarah penerapan desentralisasi ini dapat diketahui sejak diberlakukannya decentralisatie wet (1903) oleh pemerintah kolonial Belanda.