Mekanisasi Pertanian untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional

Lahan persawahan yang luas di Indonesia jika dikelola dengan mekanisasi akan mencukupi kebutuhan beras nasional, bahkan jadi komoditas ekspor
Sinkronisasi mekanisasi penanaman padi di Hanoi, Vietnam (Foto: vietnam.vnanet.vn/Tuan Kiet)

Oleh: Syaiful W. Harahap

Catatan: Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada tanggal 22 Oktober 2019. Redaksi.

TAGAR.id - Makanan utama masyarakat Indonesia adalah nasi yang berasal dari beras. Berdasarkan data BPS pada tahun 2017 konsumsi beras 114,6 kg per kapita per tahun, turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 124,89 kg per kapita per tahun. Ini membutuhkan produksi padi yang besar. Kementerian Pertanian (Kementan) meningkatkan produksi padi 84 juta padi setara dengan 49 juta ton beras.

Karena kebutuhan beras dalam negeri yang besar dan untuk menyangga pasar, pemerintah mengimpor beras. Selain itu ada pula upaya untuk melakukan diversifikasi pangan. Tapi, Prof. Dr. Rindit Pambayun, Guru Besar Ilmu Pangan Unsri, Palembang, tidak sepakat dengan gagasan diversikasi pangan karena lahan untuk sawah sangat luas.

Alih Fungsi Lahan

Mengapa harus makan ubi dan jagung sementara potensi sebagai negara penghasil padi terbesar bisa dilakukan? "Jangankan untuk memenuhi kebutuhan ratusan juta rakyat Indonesia, sekaligus mengekspor beras pun bisa," kata Prof Rindit dalam satu kesempatan di Jakarta, 16 Desember 2017 (Prof Rindit meninggal dunia pada 8 Juli 2020 pukul 17.45 di Palembang-Pen.). Itu artinya selain untuk memenuhi pasar nasional untuk mengisi kebutuhuan dunia pun bisa dilakukan Indonesia.

Selalu saja ada kendala dalam mempertahankan persediaan pangan, dalam hal ini beras, sehingga pemerintah terpakasa mengimpor beras untuk menghambat lonjakan harga. Sejak kemerdekaan tidak ada langkah konkret untuk mewujudkan ketersediaan beras. Bahkan, lahan persawahan di daerah-daerah dengan irigasi teknis, seperti di Pulau Jawa, beralih fungsi jadi permukiman, kawasan industri, dll.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan swasembada pangan, dalam hal ini beras, bisa dicapai jika jumlah bendungan ditambah agar lahan sawah dialiri dengan irigasi teknis. Jumlah bendungan di Indonesia sampai awal tahun 2015 baru ada 231 bendungan besar dan kecil. Sebagian justru tidak sepenuhnya untuk sektor pertanian. Dari jumlah ini dilaporkan 52 persen jaringan irigasi rusak, bahkan ada yang sudah 30 tahun rusak tapi tidak diperbaiki.

Dengan jumlah bendungan dan waduk 231 itu pun hanya bisa mengairi sekitar 792 ribu hektar atau sekitar 11 persen areal persawahan dari 7,2 juta hektar areal sawah nasional. Sedangkan sisanya sekitar 6,4 juta hektar sawah hanya memanfaatkan air di musim hujan atau sawah tadah hujan.

Baca juga: Jokowi Bangun Bendungan untuk Dukung Ketahanan Pangan

Laju alih fungsi lahan di Indonesia sangat tinggi sehingga mengancam luas lahan sawah beririgasi teknis. Data Kementerian Pertanian menunjukkan luas lahan sawah 44% berada di Pulau Jawa, luas lahan sawah 3,4 juta hektar, dari total persawahan di Indonesia seluas 7,74 juta hektar. Tapi, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, terhadap data BPS pada 2003-2013 menunjukkan 508.000 hektar lahan pangan telah berpindah kepemilikan (BBC Indonesia, 27 Agustus 2017),

Dalam prakteknya, Undang-Undang No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan berbenturan dengan UU Otda yang memberikan kekuasaan penuh bagi daerah, kecuali moneter, hankam dan luar negeri, kepada daerah sehingga kepala-kepala daerah pun mengabaikan UU tsb.

Dengan laju konversi lahan sawah beririgasi teknis ke lahan non-sawah yang sangat tinggi, sayang sama sekali tidak ada upaya untuk mengganti lahan yang beralih fungsi secara konsisten. Pencetakan lahan sawah baru tidak otomatis menggantikan hasil produksi lahan sawah irigasi teknis yang beralih fungsi.

Rice Estate

Pemerintahan Jokowi-JK membuat terobosan untuk mewujudukan kedaulatan beras yaitu dengan membangun bendungan di banyak daerah. Soalnya, banyak lawan sawah yang hanya mengharapkan air hujan yang belakangan ini justru tidak lagi sesuai musim yaitu kemarau dan hujan karena kerusakan ekosistem juga dialihfungsikan jadi tambang dan tanaman kelapa sawit yang justru penyedot air.

Patut dipertanyakan slogan swasembada beras yang pernah mendapat penghargaan dari Badan Pangan PBB (FAO). Ada kemungkinan swasembada hanya di atas kertas yaitu berupa perkalian hasil lahan percontohan (demplot) dengan luas sawah di Indonesia. Padahal, tidak semua sawah menghasilkan padi sebanyak produksi demplot.

Disebutkan bahwa impor beras merupakan salah satu upaya untuk menstabilkan harga beras yang melonjak di atas harga eceran tertinggi (HET). Tapi, jika ini alasan yang dipakai, maka impor akan terus-menerus terulang selama produksi padi tidak mendukung kebutuhan pangan nasional. Tahun 2018, misalnya, Indonesia mengimpor 500.000 ton beras.

Terkait dengan kemampuan Indonesia memproduksi beras yang cukup yang jadi persolan besar, menurut Prof Rindit, adalah pengelolaan yang tidak efektif. "Tidak ada cara lain selain memakai mesin dalam produksi padi," ujar Prof Rindit, yang juga Ketua Umum Perhimpuan Ahli Teknologi Pangan (Patpi).

Ilus Mentan1Sampan di sungai areal persawahan di Tam Coc, Vietnam (Foto: goworldtravel.com/Flickr/Tuãn Mai)

Dari pengalaman Prof Rindit berkunjung ke banyak negara menunjukkan sektor pertanian hanya bisa diandalkan jika dijalankan dengan mesin dalam hal ini mekanisasi pertanian. Untuk itulah Prof Rindit berharap ada langkah-langkah konkret dari pemerintah, dalam hal ini Kemenerian Pertanian, untuk melalukan advokasi kepada pemilik lahan sawah untuk menyerahkan pengelolaan lahan sawah mereka kepada pemerintah.

Pemilik lahan tidak perlu takut soal batas sawahnya karena dengan teknologi luas dan batas sawah seseorang yang masuk dalam 'paguyuban' yang secara faktual berupa rice estate dapat dicek melalui GPS (Global Positioning System), yaitu sistem navigasi berbasis satelit. "Batas lahan sawah yang masuk dalam area rice estate secara faktual bisa dilihat melalui GPS dengan sangat rinci," kata Prof Rindit.

Dengan mekanisasi pengolahan sawah jauh lebih efektif dan efisien mulai dari pengolahan tanah, menaman benih, panen sampai pengupasan. Selanjutnya distribusi beras juga harus ditangani agar program nasional 'tidak mencuci beras' bisa dijalankan. Untuk itulah sejak pengolahan lahan sempai ke pedagang eceran harus ada standardisasi agar kualitas dan kebersihan besar terjamin.

Baca juga: Cara Mencuci Beras Agar Vitamin B1 Tidak Hilang 

Prof Rindit kagum dengan Viet Nam yang luas lahan sawahnya tidak seluas sawah di Nusantara tapi bisa memproduksi besar yang berlimpah. Selain ekstensifikasi dijalankan juga intensifikasi. "Lembah dan lereng bebatuan pun mereka sulap jadi lahan sawah," kata Prof Rindit sambil geleng-geleng kepala.

Di sepanjang delta Sungai Mekong, menurut Prof Rindit, lahan jadi sumber utama penghasil padi. Di Indonesia banyak lahan sawah yang datar sehingga sangat memungkinkan dikerjakan secara mekanis setelah masuk dalam ranah rice estate. Bisa saja dengan sistem bagi hasil atau sewa lahan. Semua tergantung dari hasil rembug antara pemeirntah dan petani.

Bagi Prof Rindit tidak masanya lagi untuk saling menyalahkan karena potensi produksi padi terbuka lebar melalui rice estate. Maka, langkah-langkah konkret melalui rembug desa jadi langkah awal tentu saja setelah ada grand design yang terbuka secara luas.

Tanpa langkah-langkah konkret untuk menjamin produksi padi kita akan terus jadi negara pengimpor beras. Tentu saja ini terkait dengan ketahanan (pangan) nasional. []

* Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Debat Capres: Bisakah Kita Tidak Impor Beras?
Satu pernyataan yang selalu diulang-ulang oleh Prabowo saat debat tadi malam adalah kata 'swasembada beras'.
Harga Beras Mulai Melonjak di Tegal
Akibat musim kemarau yang panjang, harga beras di tingkat konsumen di kota Tegal mulai merangkak naik.
3700 Lahan Persawahan di Sulsel Gagal Panen
Sudah sekitar 2000 hektare sawah yang mengalami kekeringan di Sulsel. Sementara yang mengalami puso atau gagal panen sekitar 3700 hektare.
0
Mekanisasi Pertanian untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Lahan persawahan yang luas di Indonesia jika dikelola dengan mekanisasi akan mencukupi kebutuhan beras nasional, bahkan jadi komoditas ekspor