Oleh: Darwin Steven Siagian, Advokat, Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Parahyangan
A. Pendahuluan
Sekilas bila tidak dengan seksama dalam mengartikan “Judul” di atas, sangat terasa aneh, dan bahkan alergi. Penulis membahas tentang "Law as tool of crime", perbuatan jahat dengan hukum sebagai alatnya adalah kejahatan yang sempurna, sulit dilacak, karena diselubungi oleh hukum dan berada di dalam hukum.
Sebab selama ini, jika, berbagai pengertian serta berbagai fungsi yangkemudian sangat indah untuk dibaca maupun didengar karena hampir semua pakar / ilmuan yang mendifinisikan fungsi hukum substansinya adalah keadilan, kenyamanan, dan kesejahteraan. Semua batasan dan pengertian mengenai hal-hal ini rata – rata demikian indah, Memang seyogyanya hukum itu demikian, karena ia merupakan sarana untuk mencapai yang ideal.
Studi tentang kejahatan sudah lama dilakukan oleh filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles, khususnya usaha untuk menjelaskan sebab-sebab kejahatan. Dalam bukunya “Republiek”, Plato menyatakan bahwa emas dan manusia merupakan sumber dari banyak kejahatan Makin tinggi kekayaan dalam pandangan manusia, makin merosot penghargaan terhadap kesusilaan.
Plato dalam bukunya “De Wetten” menyatakan bahwa jika dalam suatu masyarakat tidak ada yang miskin dan tidak ada yang kaya, tentunya akan terdapat kesusilaan yang tinggi di sana karena di situ tidak akan terdapat ketakaburan, tidak pula kelaliman, juga tidak ada rasa iri hati dan benci (W.A. Bonger. 1977).
Aristoteles menyatakan bahwa kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan. Kejahatan yang besar tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang perlu untuk hidup, tetapi untuk kemewahan (Santoso, Topo dan Zulfa, Eva Achjani. 2001).
Tetapi tidak jarang, hukum yang semestinya sebagaai instrument justru menjadi tujuan itu sendiri. Dalam kehidupan hukum dinegara kita pada saat ini, wacana ini terus berlarut larut, sehingga terkesan hukum itu hanya sekedar permainan logika dan kata kata tafsir ukuran hukum yang berlaku.
Masyarakat sudah lelah dengan pernyataan-pernyataan yang terjadi dalam kehidupan hukum di bumi pertiwi ini, dari berbagai pemberitaan, suara protes dari hari ke hari tidak pernah sepi. Salah satunya masyarakat memprotes mengapa seseorang yang telah terbukti mengkorupsi uang Negara yang sangat berdampak bagi kesejahteraan rakyat, hukumannya hanya sebanding dengan pelaku pencuri seekor ayam.
Tidak dapat disangkal, untuk mewujudkan keadilan diperlukan adanya kepastian hukum. Ketentuan hukum positif yang berubah – ubah jelas membuat keadilan semakin jauh dari jangkauan, bahkan dapat menimbulakn perlakuan bahwa manusia untuk hukum, bukan hukum untuk manusia. Apabila sesuatu maka tidak ada pilihan lain kecuali harus tunduk, sekalipun rakyat dan Negara harus dirugikan (Tubagus ronny rahman nitibaskara, 2001).
Kriminologi berasal dari rangkaian kata Crime dan Logos. Crime artinya kejahatan, sedangkan Logos artinya ilmu pengetahuan. Dari dua arti ini dapat diartikan bahwa kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Dengan kata lain kriminologi merupakan disiplin ilmu yang bersifat interdisipliner.
B. Permasalahan
Perilaku menegakkan hukum dan sikap menggunakan hukum dalam praktik sulit dibedakan karena kedua pendekatan itu saling berimpitan (coincided). Menegakkan hukum tanpa menggunakan hukum dapat melahirkan tindakan sewenang-wenang. Sebaliknya, menggunakan hukum tanpa niat menegakkan hukum dapat menimbulkan ketidakadilan, bahkan dapat membawa keadaan seperti tanpa hukum.
C. Pembahasan
Paradoks penegakan hukum
Hukum pidana memusatkan perhatianya terhadap pembuktian suatu kejahatan sedangkan kriminologi memusatkan perhatian terhadap faktor-faktor penyebabnya terjadinya kejahatan. Kriminologi ditujukan untuk mengungkapkan motif pelaku kejahatan sedangkan hukum pidana ditujukan kepada hubungan antara tindakan dan akibatnya (hukum kausalitas).
Faktor motif dapat ditelusuri dengan bukti-bukti yang memperkuat adanya niat melakukan kejahatan. Kriminologi berusaha untuk memperoleh pengetahuan dan pegertian mengenai gejala sosial dibidang kejahatanya yang terjadi didalam masyarakat, atau dengan kata lain mengapa terdakwa samapai melakukan perbuatan jahat itu.
Keterkaitan Kriminologi dengan Hukum Pidana Secara teoritik kedua disiplin ilmu tersebut dapat dikaitkan karena hasil analisa kriminologi banyak manfaatnya dalam kerangka proses penyidikan atas terjadinya suatu kejahatan yang bersifat individual, akan tetapi secara praktik sangat terbatas sekali keterkaitan dan pengaruhnya. keterkaitan kriminologi dan hukum pidana, bahwa kriminologi sebagai metasience dari hukum pidana.
Kriminologi suatu ilmu yang lebih luas daripada hukum pidana, dimana pengertian-pengertiannya dapat digunakan untuk memperjelas konsep-konsep dan masalah-masalah yang terdapat dalam hukum pidana (Abintoro Prakoso. 2017). Semestinya kaitannya dengan dogmatik hukum pidana, maka kriminologi memberikan kontribusinya dalam menentukan ruang lingkup kejahatan atau perilaku yang dapat dihukum.
Dengan demikian maka hukum pidana bukanlah merupakan suatu silogisme dari pencegahan, akan tetapi merupakan suatu jawaban terhadap adanya kejahatan(Abintoro Prakoso. 2017), bukan sebaliknya hukum menjadi “tool” dalam mengelabui kejahatannya (penulis.2023).
Dua kutub antara menegakkan hukum dan menggunakan hukum merupakan paradoks yang harus diseimbangkan penegak hukum dalam kekuasaan diskresi. Dengan demikian, masalahnya menjadi sensitif.
Setiap saat hukum dapat diterapkan secara diskriminatif. Hartjen mengingatkan, problem kekuasaan diskresi penegakan hukum adalah tipisnya batas antara diskresi dan diskriminasi. Lebih ekstrem lagi bukan hanya diskriminatif.
Menonjolnya sifat teknikalitas hukum modern, sehingga hanya dikuasai mereka yang berkecimpung di bidang hukum, dapat mendorong mereka memegang kekuasaan diskresi, memanfaatkan hukum secara leluasa, hingga menggunakan hukum sebagai alat kejahatan.
Bergabungnya teknikalitas hukum dan diskresi memudahkan penegak hukum mendapat pembenaran dalam melakukan aneka tindakan merugikan negara. Di sini terjadi anomali, yaitu kejahatan yang memiliki alibi “demi hukum”, sehingga sulit diungkap kebenarannya secara fakta hukum.
Ketika diterapkan dalam kasus per kasus, secara sosiologi, hukum bersinggungan dengan aneka kepentingan, termasuk kepentingan penegak hukum. Di sini terjadi pergulatan antara menegakkan hukum dan menggunakan hukum.
Penulis, memberikan ilustrasi katakanlah : Dari penegak hukum itu, seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka diajukan ke pengadilan untuk disidangkan dan mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan. Tidak ada tawar-menawar karena penegak hukum bukan “pedagang”.
Tawaran keringanan hanya diberikan jika tersangka mau menunjukkan kerja samanya, seperti jujur dan dapat mempercepat penyelesaian perkara. Masalahnya, suatu perkara mengandung “uang panas” atau “uang ilegal” yang dijadikan dasar sangkaan dan dakwaan. Inilah yang membangkitkan godaan besar bagi penegak hukum untuk mendapat bagian “uang ilegal” itu. Maka, timbul bentuk tindakan pemerasan dan suap dengan memanipulasi kasus atau perkara.
D. Kesimpulan
1. Dalam penegakan hukum agar nyata fungsi hukum, maka faktor utama pada mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah.
Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum.
Masalah yang harus segera diatasi masih persoalan lama yaitu : moralitas, bilamana moralitas mereka yang berkecimpung dalam dunia hukum tidak di benahi, maka yakin dan percaya hukum akan terus menerus berkembang berbanding terbalik dengan “tujuan hukum yang sebenarnya.
2. Berdasarkan yurisprudensi itu dan peraturan perundang-undangan tidak lain, Hukum adalah alat untuk menegakkan kebenaran, bukan sebagai alat kejahatan.
Supaya sistem peradilan pidana dapat menemukan orientasinya yakni menegakkan hukum dan keadilan (berdasarkan Pancasila), maka pemahaman etika sebagai ilmu yang dapat membantu manusia menemukan orientasi dalam hidup agar dapat bertindak dan mengambil keputusan yang secara etis dapat dipertanggungjawabkan, mutlak diperlukan.
Oleh karena itu, pendidikan yang berorientasi pada peningkatan kemampuan pemahaman hukum, mutlak dibarengi dengan peningkatan kemampuan memahami dan menggunakan prinsip-prinsip etika dan kesadaran etis (modal moralitas) yang memadai.
Agar tugas dan kewajiban menegakkan hukum dapat ditunaikan secara benar, baik dan tepat, dan untuk itu dibutuhkan penegak hukum yang memiliki moralitas paling tidak pada salah satu dari level moralitas taat asas, moralitas akal kritis atau moralitas hati nurani.
3. Agar masyarakat tidak meneriakkan pengadilan rakyat, mari kita benahi kehidupan hukum di negeri ini. Tetapi sayangnya persoalan mendesak yang perlu segera diatasi adalah persoalan lama, yakni terletak pada moralitas. Bilamana moralitas mereka yang berkecimpung dalam profesi hukum tidak dibenahi, hukum sewaktu-waktu dapat dijadikan alat kejahatan. []