Menunggu Argumen Rasional Ketua IDI Daeng M Faqih

Ketua Umum PB IDI Daeng M Faqih menjadi kontroversi karena pernyataan angka kematian seribu Covid-19 berbeda dari data resmi pemerintah.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Mohammad Faqih. (Foto: Inisiatif News)

Jakarta - Akademisi dari Universitas Gadjah Mada Bagas Pujilaksono Widyakanigara meminta Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Mohammad Faqih menunjukkan bukti material atas pernyataannya tentang 1.000 kematian Covid-19.

"Saya menunggu bukti material yang akan ia ajukan ke publik luas sebagai argumen rasional omongan dia, bahwa korban meninggal akibat Covid-19 pada 18 April 2020 adalah sebesar 1000 jiwa," kata Bagas dalam keterangan tertulis diterima Tagar, Jumat malam, 24 April 2020. 

Daeng M Faqih pada 18 April 2020 mengatakan angka kematian Covid-19 di Indonesia pada hari itu mencapai 1.000 kasus. Sementara data Gugus Tugas Nasional Covid-19 hingga Jumat, 24 April 2020, angka kematian adalah 689.

Daeng mengatakan perkiraan kematian 1.000 itu dengan menyertakan data kematian pasien dalam pengawasan atau PDP.

Daeng setelah menuai polemik atas pernyataan tersebut, memberikan penjelasan dalam wawancara melalui siaran Podcast Opinisme.

"Saya ingin klarifikasi. Tidak ada perbedaan data, karena yang memiliki data hanya pemerintah. Kemudian, data yang disampaikan tentang kematian yang positif PCR, memang sudah valid seperti itu," kata Daeng.

Berikut pernyataan lengkap Daeng M Faqih.

"Hal yang kita sampaikan sebenarnya bukan perbedaan data dan bukan persoalan valid tidak validnya data. Itu sudah valid, dan tidak ada yang beda. Namun, yang kami sampaikan adalah ada tambahan data mengenai kematian yang masih status pasien dalam pengawasan (PDP).

Status PDP ini, pemeriksaan PCR-nya belum selesai, masih menunggu. Ini maksud saya bukan persoalan diungkap atau tidak diungkap, tapi angka kematian PDP ini karena cukup besar dan statusnya belum diketahui. Karena belum diketahui tidak bisa kita pastikan pasti negatif atau pasti positif.

Hal yang menarik dari pelajaran ini yang perlu kita kaji dan perlu dicarikan solusinya adalah bahwa terjadinya pemeriksaan PCR yang kurang cepat, jadi waktu lama. Sehingga solusinya adalah kita harus bersama-sama mendorong tes PCR ini lebih cepat, supaya cepat ketahuan statusnya.

Saya menunggu bukti material yang akan ia ajukan ke publik luas sebagai argumen rasional omongan dia, bahwa korban meninggal akibat Covid-19 pada 18 April 2020 adalah sebesar 1000 jiwa.

Dikarenakan, dampaknya di pelayanan. Kalau tes PCR tidak cepat, maka status PDP ini kita lakukan penanganan dengan apa? Apakah dilakukan penganganan dengan Covid-19, apakah tidak? Kawan-kawan di lapangan, dokter itu kemarin-kemarin masih beragam menghadapi kasus PDP yang belum selesai pemeriksaannya.

Sehingga Ikatan Dokter Indonesia itu sempat membahas, dan memberikan rekomendasi dengan kondisi seperti ini. Rekomendasinya adalah, dimungkinkan PDP ini, sudah dilaksanakan tatalaksana Covid-19, tidak harus menunggu hasil PCR positif.

Kita meminta untuk dikaji dan dicari solusinya. Solusi kalau di level pelayanan di Rumah Sakit, kita merekomendasikan ada satu hal yang penting. Yaitu, diagnosis Covid-19 menentukan seseorang ini sakit tapi tidak, kami mengusulkan tidak hanya pakai hasil lab, tapi boleh juga dengan kriteria klinis.

Jadi, ada dua kriteria. Pertama, kreteria diagnosisi klinis dengan gejala-gejala, dan hati-hati pemeriksaan yang lain seperti pemeriksaan darah atau rontgen. Kemudian, kreteria nomor dua yaitu dengan kriteria PCR positif.

Dua kreteria itu yang kami usulkan. Sehingga, dengan status PDP ini, teman-teman di lapangan sudah bisa melakukan tatalaksana sebagai pasien Covid-19. Itu untuk di lapangan, di rumah sakit dan di level dokter. Namun secara keseluruhan kita harus bersama mendorong pemeriksaan PCR ini untuk lebih cepat. Karena didorong harus lebih cepat, maka jumlah alat yang harus diperiksa dan reagen yang harus disediakan seharusnya disediakan lebih banyak. Agar coverage-nya pun lebih banyak, dan pemeriksaan PCR-nya jadi cepat.

Jadi sebenarnya, titik tekannya kami itu menyampaikan di kajian dan solusinya. Seperti solusi di tingkat kebijakan itu mempercepat PCR, dan solusi di pelayanan itu membuat kriteria diagnosis klinis.

Namun, IDI menyampaikan juga, kami tidak mempersoalkan disampaikan atau tidak disampaikan. Kalau pun disampaikan, itu mungkin bermanfaat bagi kawan-kawan Rumah Sakit untuk mengevaluasi pelayanan, sedangkan bagi masyarakat mungkin untuk menjadi warning. Agar jangan mengentengkan, karena ini sudah ditetapkan PSBB, tetapi masyarakat masih belum disiplin. Masih banyak masyarakat yang beraktivitas di luar.

Dengan kondisi sekarang dengan penyebaran yang sangat cepat dan kemudian meluas ke semua daerah, seharusnya tingkat kewaspadaan memang harus kita jaga.

Oleh karena itu, di rumah sakit, kawan-kawan dokter forensik yang secara khusus, dalam melakukan prosedur pemulasara jenazah baik pemakaman sudah merekomendasikan bahwa status PDP dan hasil pemeriksaan belum keluar tetap harus mengikuti prosedur Covid-19. Hal ini dilakukan untuk mencegah penularan yang semakin cepat.

Ini tidak ada perbedaan data, dan bukan persoalan valid tidak validnya. Data itu sudah valid, dan akurat. Angka PDP itu juga sudah ada di pemerintah. Namun yang kami tekankan, dari data PDP ini seharusnya kita kaji dan cari solusi.

Mengenai pemerintah apakah perlu menginformasikan jumlah kematian pasien PDP, perlu tidaknya itu relatif, sesuai pertimbangan. Kalau pun akan dimunculkan, itu mungkin bermanfaat bagi semua rumah sakit untuk warning. Kalau sudah banyak kasus seperti ini, pelayanan juga bisa lebih berjaga. Supaya kasus yang dirawat bisa lebih baik. Dikontrol semua, baik obat, alat, daya dukung fasilitas rumah sakit harus dikontrol.

Bagi masyarakat ini juga jadi sebuah warning. Jangan mengentengkan masalah Covid-19 ini. Harus hati-hati, dan taati maklumat yang sudah diberikan pemerintah. Untuk tetap tinggal di rumah supaya tidak terjadi penularan.

Kalau dikaitkan dengan proses pelacakan ini lebih besar lagi. Makanya bukan hanya masalah PDP, tapi maknanya kecepatan testing. Dalam testing PCR ini, Bapak Presiden itu sudah memberikan 6 pesan.

Pesan pertama yang sangat strategis itu adalah testing massal, cepat, dan luas. Maka, seluruh kasus itu akan cepat ditemukan. Kalau kasus cepat ditemukan, maka yang positif ini bisa segera ditangani. Yaitu, dengan isolasi sendiri di rumah, maupun di rumah sakit sampai dirawat. Maka otomatis, yang bersangkutan akan dilokalisr dalam isolasi itu. Sehingga tidak bisa menyebarkan.

Kemudian yang kedua, kalau testing dilakukan secara massal, cepat, dan luas maka yang positif segera akan dilakukan karena dengan kontak tracing secara agresif dan cepat. Itu maknanya bukan sekadar untuk PDP tetapi untuk kebijakan segera memperlambat penularan penyakit.

Mau tidak mau, kalau testing massal ini mau massal dan diperluas, maka pengadaan alat testing segera dilakukaan. Reagen-reagennya segera adakan dan didistribusikan ke daerah. Agar bisa dilakukan testing secara serempak.

Dengan pesan Bapak Presiden yang pertama, seharusnya dibantu pelaksanaan teknisnya. Setiap Kementerian mengupayakan alat testing tersedia lebih banyak. Mulai dari Kemenkes, BUMN, Keuangan, Perdagangan itu harus bekerja sama menyediakan alat testing dan reagen yang dibutuhkan.

Selama ini kita koordinasi baik dan terus menerus dengan BNPB. Kita lewat koordinasi Gugus Tugas, memberikan masukan penanganan Covid-19. Alhamdulillah lancar selama ini. Usulan kami untuk mempercepat dan memperluas testing, semoga bisa cepat terwujud. Saya melihat, seluruh kementerian sudah bekerja, dan bisa dilaksanakan segera.

Karena, target pemerintah sehari itu 10.000 test. Sekarang posisinya masih di bawah 1.000. Semoga cepat tertangani, kalau tidak cepat langkah kita akan disusul dengan percepatan penularan. Kalau ini terjadi, kita tidak akan bisa mengendalikan. Testing yang cepat ini supaya kita bisa mendahului percepatan penularan."

***

Bagas Pujilaksono menilai Daeng M Faqih tidak etis berbicara hal-hal akademis Covid-19, karena bukan pakar di bidang tersebut.

"Pak Daeng bukan ilmuwan virologi, tidak usah mengumbar hal-hal akademik di media perihal Covid-19, jauh dari tupoksi Anda sebagai Ketum PB IDI dan latar belakang keilmuan Anda, yang di mata saya sama sekali tidak kredibel," ujar Bagas.

Informasi perihal Covid-19, lanjut Bagas, adalah kewenangan Gugus Tugas Nasional Covid-19. IDI tidak punya legal standing untuk itu. IDI hanyalah asosiasi profesi, bukan lembaga riset

Penjelasan panjang lebar Daeng, Bagas menilainya sebagai kelitan menghindar dari substansi masalah.

"Saya menunggu bukti material sebagai argumen rasional omongan dia bahwa korban meninggal akibat Covid-19 pada tanggal 18 April 2020 adalah sebesar 1000 jiwa," kata Bagas.

Bagas mengatakan ucapan tanpa bukti Daeng masuk wilayah hukum. Pelanggaran hukum yaitu penyebaran berita bohong. "Jelas bagi saya, omongan soal korban meninggal akibat Covid-19 pada tanggal 18 April 2020 sebesar 1000 jiwa, adalah kebohongan publik. Penyebaran berita bohong." [] 

Baca juga:

Berita terkait
Kemenkes dan IDI Tak Akur karena Pemecatan Terawan?
Presiden Jokowi baru menegur Ikatan Dokter Indonesia (IDI) karena beda data dengan Kementerian Kesehatan soal corona. Apa karena Terawan dipecat?
Denny Siregar: Membaca Jokowi di Tengah Pandemi
Di masa pandemi ini keputusan yang diambil itu dari pilihan yang buruk dan buruk, bukan yang baik dan buruk. Membaca Jokowi. Denny Siregar.
Denny Siregar: Plot Twist Jokowi
Di balik menurunnya dukungan para pendukung Jokowi hanya karena merasa lebih pintar, Prabowo justru muncul dengan dukungannya. Denny Siregar.
0
Harga Emas Antam di Pegadaian, Rabu 22 Juni 2022
Harga emas Antam hari ini di Pegadaian, Rabu, 22 Juni 2022 untuk ukuran 1 gram mencapai Rp 1.034.000. Simak rincian harganya sebagai berikut.