Mantan Kepala BNPT: TNI Jangan Tangani Terorisme

Mantan Kepala BNPT menilai TNI tidak perlu dilibatkan dalam penanganan terorisme karena sudah ada Densus 88 Antiteror dan BNPT sendiri.
Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Ansyaad Mbai saat mengisi diskusi online, Senin, 12 Oktober 2020. (Foto: Tagar/Capture/Moh Badar Risqullah)

Malang – Wacana pemerintah melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengatasi terorisme mendapat kritik keras Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Ansyaad Mbai. Dia menilai rencana menggunakan kekuatan militer itu bisa berbahaya dan malah berpotensi menimbulkan masalah baru.

Karena itu, dia menyampaikan rencana tersebut harus jelas peraturannya terkait batasan peran TNI dalam penanganan terorisme. Alasannya, selama ini sudah ada peran Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror dan BNPT itu sendiri.

Jangan keluar dari itu. Kalau keluar, bahaya

Dia menyebutkan rencana melibatkan TNI tersebut tidak boleh keluar dari koridor hukum sebelumnya. Baik koridor hukum dalam Undang Undang TNI maupun pemberantasan tindak pidana terorisme.

”Jangan keluar dari itu. Kalau keluar, bahaya,” ujar Ansyaad dalam diskusi online bertajuk Penanganan Terorisme oleh TNI: Risiko dan Tantangan?” oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (LAKPESDAM NU) Kota Malang, Senin, 12 Oktober 2020.

Dia menjelaskan bahaya pengerahan kekuatan militer dalam penanganan tindak pidana terorisme itu melihat dari rekam jejak beberapa negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Dia menyebutkan lebih banyak kegagalannya daripada kesuksesan, bahkan dihantui pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

”Dulunya sangat favorit. Tapi, berdasarkan pengalaman Internasional berbagai macam negara menghadapi organisasi teroris dengan operasi militer. Tidak ada satupun berhasil,” tuturnya.

Dia mencontohkan seperti pengerahan militer dalam menumpas kelompok Al Qaeda di Afganistan. Dia mengatakan kelompok tersebut di bombardir oleh pasukan militer Amerika Serikat hingga membuat pendirinya Usamah bin Muhammad bin Awwad bin Ladin (Osama bin Laden) tewas pada 2 Mei 2011.

Bukan berhenti dan selesai, dia mengungkapkan kelompok tersebut malah marah dan menyimpan dendam kesumat. Bahkan, dia menyebutkan kelompok berkembang menjadi kelompok baru dengan anggota lebih besar bernama ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).

”Mereka malah tambah lebih besar. Tadinya hanya dendam kepada Amerika dan sekutunya. Sekarang di negara kita, Indonesia, juga dendam pada siapapun,” katan mantan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara ini.

Sedangkan untuk kasus di Indonesia, Ansyaad mencontohkan seperti konflik sebuah organisasi separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang memiliki tujuan lepas dari Indonesia pada tahun 1976. Kala itu, pemerintah melakukan operasi militer besar-besaran selama puluhan tahun di daerah berjuluk Serambi Mekkah ini.

Namun demikian, dia mengungkapkan tindakan tersebut bukan menyelesaikan masalahnya. Melainkan membuat internasionalisasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau semakin melambungnya nama gerakan separatis itu di mata Internasional.

”Ketika dilakukan operasi militer puluhan tahun di sana (Aceh). Apa yang terjadi? Terjadi internasionalisasi GAM. Intervensi internasional masuk. Ini yang harus kita hindari,” kata dia.

Dia mengungkapkan peran TNI memang sangat diperlukan dalam setiap kondisi dalam membantu keamanan Indonesia. Akan tetapi, dia menyebutkan jangan sedikit-sedikit langsung mengerahkan kekuatan militer. 

Padahal, kondisi belum genting dan cukup diatasi instansi penegak hukum seperti kepolisian.

”TNI penting sekali. Tapi, jangan diobral. Pemerintah jangan sembarangan terjunkan TNI. Dia adalah pemukul ketika polisi tidak bisa menabrak target dalam suatu kondisi,” ucapnya.

Dia menjelaskan mengerahkan kekuatan militer dalam penegakan hukum ada satu prinsip umum bahwa kondisi sudah darurat. Artinya apabila situasi ancaman sudah diluar batas kemampuan polisi. Baru kemudian kondisi hal tersebut perlu keterlibatan militer.

”Militer dalam penegakan hukum ada satu prinsip universal yaitu assistance in an emergency situation. Jadi, militer baru terlibat apabila situasi ancaman diluar batas kemampuan polisi. Polisi kan didesain bukan untuk berperang, jadi perlu kekuatan militer,” tuturnya.

Oleh karena itulah, terkait mengatasi tindak pidana terorisme di Indonesia. Ansyaad memberikan saran agar pemerintah mengedepankan pendekatan kultural atau lebih mementingkan kepentingan manusia.

Dia mencontohkan seperti penanganan tindak pidana terorisme di Peru. Dia mengungkapkan beberapa kali pemerintah setempat menggunakan kekuatan militer. Bukan selesai, malah semakin parah dan membuat semakin banyak korban berjatuhan.

Kemudian, kata dia, pemerintah setempat merubah kebijakannya dengan membentuk unit intelijen kepolisian beranggotakan 70 orang. Kemudian dalam proses penangannya dilakukan dengan pendekatan cultural.

”Siapa pimpinannya yang paling berpengaruh itu ditangkap. Tidak butuh waktu lama, ternyata berhasil ditangkap. Setelah ditangkap dan diajukan ke pengadilan. Selesai tanpa ada korban berjatuhan dan membuat marah kelompoknya,” ucapnya.

Terlepas dari itu, dia menyampaikan dalam penanganannya juga perlu bantuan organisasi masyarakat (ormas), ulama dan cendekiawan moderat. Dia meminta pemerintah memfasilitasi kegiatan mereka dalam upaya pencegahan terjadinya tindak pidana terorisme.

”Ajaran islam diberikan dengan penyesatan pemahaman oleh kelompok tertentu. Itu kita luruskan. Dengan apa, peran para ulama yang harus dikedepankan dan pemerintah memfasilitasinya,” tuturnya.

Sebagaimana diketahui, pemerintah berencana menggunakan kekuatan militer dalam penanganan terorisme di Indonesia. Hal tersebut merupakan tindak lanjut pembahasan Perpres Pelibatan TNI Mengatasi Terorisme sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Dalam Pasal 43I Ayat 1 menyebutkan tugas TNI dalam mengatasi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Sedangkan pada Ayat 2 menyebutkan dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Tentara Nasional Indonesia.

Sementara, pada ayat 3 menyebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

Sejak tahun lalu, rencana pembuatan Perpres itu mendapat penolakan dari berbagai pihak. Keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme dianggap tidak relevan dengan undang-undang TNI dan dinilai berbahaya bagi penegakan hukum dan menimbulkan bertambahnya pelanggaran HAM di Indonesia.

Sampai saat ini, pembahasan terkait Perpres terkait rencana melibatkan kekuatan militer dalam penanganan terorisme tersebut masih dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia Republik Indonesia (DPR RI).[](PEN)

Berita terkait
SETARA Institute Soroti Perpres Penanganan Aksi Terorisme
Pemgamat menilai DPR dan pemerintah belum mampu membuat batasan yang jelas tentang definisi terorisme, termasuk pelibatan TNI di dalamnya.
Berbahaya, Penanganan Terorisme TNI dan Polri Harus Dipisah
Pengamat intelijen dan keamanan Stanislaus Riyanta meminta pemerintah memetakan karakteristik terorisme untuk ditangani TNI dan Polri.
Pengamat: TNI Hadapi Terorisme yang Ancam Kepala Negara
menanggapi ihwal rancangan Perpres tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi aksi terorisme, pengamat sebut militer di seluruh dunia hadapi teroris.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.