Jakarta - Pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertapati menanggapi ihwal rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi 'aksi terorisme' yang tengah dibahas pemerintah dan DPR.
Menurut Susaningtyas, secara akademis, militer di seluruh dunia juga bertugas menghadapi terorisme. Tetapi, kata dia, implikasi penanggulangan terorisme oleh militer dan polisi berbeda perspektif hukumnya, karena terorisme bisa menjadi kejahatan terhadap negara atau kejahatan terhadap publik.
Tetapi jika rezimnya adalah hak berdaulat, maka TNI yang melakukan aksi penanggulangan
"Jika terorisme mengancam keselamatan presiden atau pejabat negara lainnya sebagai simbol negara, maka terorisme tersebut menjadi kejahatan terhadap negara dan harus ditanggulangi oleh TNI," ujar Susaningtyas kepada Tagar, Minggu, 4 Oktober 2020.
Sementara, penanganan terorisme di Indonesia selama ini cenderung masih dalam klasifikasi kejahatan terhadap publik sehingga ditangani Polri semata. Di sisi lain, jenis senjata dan bom yang digunakan oleh teroris masih tergolong konvensional sehingga masuk kewenangan Polri.
"Tetapi jika senjata dan bom yang digunakan oleh teroris tergolong senjata pemusnah massal (Weapon of Mass Deatruction), seperti senjata nuklir, senjata biologi, senjata kimia dan senjata radiasi, maka yang menangani adalah TNI," ucapnya.
Selain subyek ancaman teror dan jenis senjata, Susaningtyas menyampikan rezim kedaulatan suatu negara juga berimplikasi kepada kewenangan penegakan hukum. Bagi dia, apabila kejahatan teror dilakukan di wilayah kedaulatan penuh Indonesia, maka Polri dan TNI bisa bersama-sama menanggulangi.
"Tetapi jika rezimnya adalah hak berdaulat, maka TNI yang melakukan aksi penanggulangan. Contohnya jika kejahatan teror terjadi di kapal yang berlayar di Zone Economic Exclusive (ZEE) Indonesia atau menyerang kilang pengeboran minyak PT Pertamina 15 mil dari pantai, maka teroris harus dilumpuhkan oleh Pasukan Khusus TNI," kata dia.
Kemudian, mengenai platform Tempat Kejadian Perkara (TKP) tindakan terorisme juga menjadi faktor penting. Susaningtyas menyebutkan, seperti halnya apakah terorisme tersebut terjadi di kapal atau pesawat yang tercatat berbendera suatu negara.
"Contohnya pesawat Qantas milik Australia dibajak teroris dan mendarat di Bandara Ngurah Rai, maka sesuai hukum internasional yang harus menangani hanya dua pilihan, apakah TNI atau tentara Australia," tutur dia.
Diketahui, pemerintah dan DPR mulai membahas rancangan Perpres tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Hal itu dikonfirmasi anggota Komisi III DPR, Arsul Sani yang mengatakan pihaknya telah menggelar rapat bersama Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly pada Rabu, 30 September 2020.
Arsul mengatakan, rapat saat itu digelar tertutup. Dia pun menjelaskan, DPR memahami kekhawatiran masyarakat soal rencana pemerintah melibatkan TNI dalam menangani aksi terorisme.
Selain itu, Arsul memastikan para anggota dewan pun telah menyampaikan aspirasi masyarakat itu kepada pemerintah. Dia juga menyebut pembahasannya masih terus berjalan.
- Baca juga: Cara yang Ditempuh TNI Menangani Krisis Informasi
- Baca juga: Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme dan Overdosis HAM
"Dan Menkumham sebagai wakil pemerintah menyampaikan bahwa pemerintah terbuka terhadap masukan yang disampaikan tersebut dan bersedia memperbaiki rancangan perpresnya," ujar Arsul. []