Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban alias LPSK memiliki berkewajiban untuk memberikan perlindungan maksimal terhadap pelapor (Whistleblower) kasus korupsi. Sayangnya, kondisi itu tak dialami Mantan Direktur Operasional PT Dutasari Citralaras Roni Wijaya
Artinya penyidik pajak maupun kejaksaan harus menangkap aktor utama yang bertanggung jawab.
Peran Roni Wijaya membantu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar kasus korupsi Wisma Atlet di Hambalang berakhir sia-sia, kini harus mendekam di penjara dengan dugaan manipulasi pajak.
Pengamat Kejaksaan Fajar Trio Winarko mengatakan ada aroma kriminalisasi dan dipastikan Roni menjadi target serangan balik para koruptor.
"Jadi ada kealpaan LPSK yang tak melakukan langkah-langkah perlindungan dan memonitor pengadilan terhadap Roni," ucap Fajar di Jakarta, Selasa, 25 Februari 2020.
LPSK, kata Fajar, diminta melakukan pengkajian atas seluruh pelapor yang pernah dilindungi, apakah mendapat serangan balik atas laporan yang mereka ungkap atau tidak.
Perlindungan tersebut, kata Fajar, tak dilakukan LPSK. Padahal sesuai UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, mereka wajib memberikan perlindungan dan pengawalan untuk memastikan para pelapor aman.
Fajar mengatakan aparat hukum menghentikan serangan balik kepada para pelapor kasus korupsi yang beritikad baik seperti Roni Wijaya. Tak terkecuali meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin segera mencermati dan menghentikan proses penuntutan terhadap Roni.
Terkait dugaan manipulasi pajak yang dilakukan Roni, sesuai Pasal 32 UU Ketentuan Umum Tata Cara Pajak menyebutkan tentang pengertian pengurus yaitu adalah orang yang nyata nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.
"Artinya penyidik pajak maupun kejaksaan harus menangkap aktor utama yang bertanggung jawab, karena telah melakukan manipulasi pajak dan jangan sampai penegak hukum error in persona atau salah tangkap," kata dia.
Belum lagi dalam Pasal 66 UU Perseroan Terbatas mengamanatkan apabila RUPS sepakat menerima laporan tahunan yang diajukan oleh direksi, maka mereka dibebaskan dari tanggung jawabnya, tugas atau kewajiban terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan (acquit et de charge). Konsekuensinya, direksi tidak dapat dituntut bertanggung-jawab dalam hal terjadinya kerugian yang diderita perseroan.
"Misalnya jika terjadi kekurangan pembayaran pajak, maka perusahaanlah yang seharusnya membayar dan bukan menimpakannya pada direksi," ungkap Fajar.
Sehingga, kata fajar, jika terjadi kesalahan dan kelalaian direksi dalam penghitungan pajak, maka kesalahan dan kelalaian Direksi dan Dekom telah diambil alih (take over) oleh Perseroan. Termasuk pula jika telah terjadi kerugian, maka kerugian tersebut adalah kerugian perseroan.
Jika LPSK ataupun Kejagung abai terhadap kasus Ronny, Fajar mengatakan situasi ini menunjukkan kepada publik menjadi whistleblower atau pelapor di Indonesia dapat merugikan pribadi dan keluarga.
"Alasannya jelas, karena sangat rentan atas pembalasan dan minim perlindungan Negara. Dikhawatir kasus-kasus seperti ini akan menyurutkan langkah para calon whistleblower dan para pelapor, khususnya dalam kasus korupsi di Indonesia," ujarnya.
Roni diketahui sudah membayar denda pelunasan pajak PT Dutasari Citralaras ke Direktorat Pajak, Kementerian Keuangan sebelum ditahan di LP Cipinang. []