LPSK: Indonesia Darurat Kekerasan Seksual

LPSK menilai saat ini Indonesia sudah dalam kondisi darurat kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan.
LPSK melakukan pertemuan dengan Wakil Gubernur DIY guna membicarakan peningkatan pelayanan perlindungan terhadap saksi dan korban di DIY. (Foto: Tagar/Ratih Keswara)

Yogyakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai saat ini Indonesia sudah dalam kondisi darurat kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan.

Hal ini dikarenakan terjadi lonjakan jumlah kasus kekerasan seksual pada anak dan perempuan dalam dua tahun terakhir.

Hal ini diungkapkan Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo usai bertemu dengan Wakil Gubernur DIY KGPAA Paku Alam X di Gedhong Pare Anom, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Selasa 6 Agustus 2019.

Hasto mengatakan, peningkatan jumlah kasus kekerasan seksual mencapai 300 persen. Karenanya, LPSK menganggap Indonesia darurat kekerasan seksual.

"Harusnya Indonesia sudah begitu. Angka 300 persen ini baru angka yang mengajukan perlindungan ke LPSK. Bayangkan kasus yang tidak terlaporkan, tentu jauh lebih banyak," imbuhnya.

Dikatakan Hasto, kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan ini tersebar merata di seluruh Indonesia. Namun sayangnya LPSK bukanlah lembaga yang dapat bekerja di sisi pencegahan.

Untuk itu, LPSK menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga dan institusi, termasuk pemerintah daerah agar dapat melakukan upaya pencegahan.

Wakil Ketua LPSK Antonius Prijadi Soesilo Wibowo menjelaskan, sudah semestinya Indonesia dinyatakan darurat kekerasan seksual pada anak dan perempuan.

Jika melihat data yang ada di LPSK, dalam satu minggu terdapat 7-10 kasus kekerasan seksual yang masuk untuk memohon perlindungan.

Ini merupakan fenomena umum, pelaku kekerasan selalu orang yang sudah dikenal

"Jadi Indonesia itu, selain darurat bencana alam, narkotika, dan korupsi, juga sudah darurat kekerasan seksual. Bagaimana tidak, semakin ke sini, kasus yang terlaporkan pun semakin miris. Korban kekerasan seksual yang terlaporkan ada yang masih balita dan korban difabel," jelasnya.

Anton mengungkapkan, LPSK pun ingin membuka kantor perwakilan di DIY agar bisa lebih dekat dengan masyarakat. Alasan lainnya ialah banyaknya potensi korban kekerasan terhadap anak dan perempuan di DIY. Hal ini bahkan telah dibuktikan dari kunjungan kerja LPSK ke kabupaten-kabupaten di DIY.

Dari data yang masuk ke Dinas Sosial di Kabupaten Kulon Progo, Gunungkidul, Sleman, dan Bantul, tercatat rata-rata ada 60 kasus yang diterima masing-masing kabupaten untuk periode Januari-Juni 2019.

"Ini artinya, rata-rata per bulan ada 10 kasus. Dan ini baru yang dilaporkan, yang tidak dilaporkan kami perkirakan lebih banyak lagi," tukasnya.

Menurut Anton, jumlah tersebut merupakan campuran antara kekerasan seksual dan fisik, dengan kasus terbanyak terjadi di Kulon Progo.

Mengenai pelaku kekerasan, Anton menegaskan jika pada umumnya pelaku adalah orang terdekat korban.

"Ini merupakan fenomena umum, pelaku kekerasan selalu orang yang sudah dikenal. Dan kasus yang melibatkan korban balita, salah satunya terjadi di Bantul. Korban kekerasan seksual ini masih berusia 2,5 tahun," imbuhnya.

Sementara itu, Wakil Gubernur DIY menegaskan, kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan memang telah menjadi keprihatinan Pemda DIY.

Menurut Sri Paduka, persoalan utama dalam hal penanganan kasus kekerasan ialah rasa malu bagi korban atau keluarga korban untuk melapor.

"Saya kira, rasa malu ini menjadi masalah secara umum di Indonesia. Karena itu, saya berharap dengan adanya kantor perwakilan LPSK di DIY ini nantinya bisa membuat kerja sama dengan Organisasi Perangkat Daerah kami lebih baik lagi," katanya.[]

Baca juga:

Berita terkait
0
Ini Alasan Mengapa Pemekaran Provinsi Papua Harus Dilakukan
Mantan Kapolri ini menyebut pemekaran wilayah sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.