LP Cipinang dan Kisah 3 Pejuang Timor Timur

Kisah Petrus Hariyanto, mantan Sekjen PRD, ketika mendekam di LP Cipinang dan pertemuannya dengan para pejuang Timor Timur.
Fernando de Araujo di LP Cipinang. (Foto: Dok. Petrus Hariyanto)

Oleh: Petrus Hariyanto*

Aroma kopi yang begitu kuat itu telah membangunkanku. Di ruang sel yang tak seberapa luas membuat bau masakan dan seduhan kopi tubruk akan terasa kuat. Tak ada dapur khusus, tempat memasak menyatu dengan ruang tengah sekaligus tempat tidur.

Film tersebut mempertontonkan militer Indonesia sedang menembaki pemuda dan mahasiswa di pemakaman Santa Cruz, di Dili, 12 November 1991.

Kulihat Putut sedang menyantap mi instan, di sampingnya segelas kopi yang masih mengepul. Selesai makan, ia mengambil sebatang rokok. Seketika asap memenuhi ruangan karena pertukaran udara keluar masuk terhitung buruk.

Perpaduan aroma kopi dan asap rokok membuat diriku terprovokasi untuk melakukan hal yang sama.

Jadilah kami berdua menikmati nikmatnya asap tembakau dan gurihnya sruputan kopi hitam. Beginilah seringnya kami memulai pagi di penjara, seakan energi dan pikiran menjadi fresh.

"Hari ini kita mengunjungi napol (narapidana politik) di blok lain ya? Kita ke Fernando de Araujo," pintaku ke Putut.

Putut ragu apakah diperbolehkan petugas jaga untuk bermain ke blok lain. Ia ingat perkataan Fauzi Isman beberapa hari yang lalu hanya napi yang punya jabatan tertentu dibebaskan berpergian ke blok lain. Fauzi juga mengatakan teman-teman PRD masih dalam masa isolasi karena belum menjadi napi, perkaranya belum diputus.

Baca juga: Saat Pertama Masuk LP Cipinang

Aku tetap bersikeras agar hari ini menemui Fernando. Selain Xanana, bagiku Fernando menjadi tokoh idolaku. Selama persidangannya aku sering membaca Harian Kompas. Aku lumayan mengikuti beritanya. Fotonya yang terpampang di media saat di ruang sidang menggambarkan seorang pemuda berkumis tebal terlihat begitu tegar menghadapi proses peradilan politik.

Sàat pertama dia disidangkan, sekitar April 1992, aku sudah mulai tertarik dengan gerakan mahasiswa, tetapi belum terlibat di dalamnya.

Awal mula yang mengenalkan isu penindasan di Timor Timur adalah Arief Budiman dan Romo Pujasumarta. Arief Budiman intelektual dari Universitas Satya Wacana Salatiga, dekat dengan aktivis mahasiswa. Romo Pujasumarta adalah rohaniawan Katolik di Semarang yang sangat peduli dengan aktivis mahasiswa yang kritis terhadap pemerintah. Mereka menggelar nonton bareng film dokumenter dengan mengajak para aktivis mahasiswa di Semarang. Nonton bareng dilakukan tertutup dan secara sembunyi-sembunyi di sebuah komplek pasturan di Semarang.

Film tersebut mempertontonkan militer Indonesia sedang menembaki pemuda dan mahasiswa di pemakaman Santa Cruz, di Dili, 12 November 1991.

Film itu mampu membuka pemahamanku bahwa ada yang salah dalam proses integrasi Tim-Tim menjadi propinsi ke 27.

Bertemu Fernando

Setelah keluar dari Blok 3E, kami harus berjalan kaki menyusuri jalan beraspal yang panjangnya hampir 200 meter. Ketika sampai di pos jaga utama, kami ditanya sipir penjara mau kemana? Ketika kujawab mau blok Timtim untuk berkenalan dengan Fernando, komandan jaga ternyata memperbolehkan.

Selain sipir penjara, ada juga satu anggota TNI yang berada di pos jaga utama. Kata Fauzi dia anggota Bakorstanas (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional), namanya Pak Datuk. Orangnya gemuk gempal dan tampangnya seram. Tugasnya mengawasi gerak-gerik para napol di Cipinang.

Baca juga: Hari Kedua di LP Cipinang, Seharian Kami Tak Makan

Sesungguhnya dia yang berkuasa atas diri napol di LP Cipinang. Dia mempunyai otoritas memaksa Kalapas (Kepala Lembaga Pemasyarakatan) dan jajarannya untuk menindak para napol. Memindah ke sel lain, bahkan ke LP lain.

Fernando de AraujoFernando de Araujo dan Joao Freitas Da Camara dijaga ketat polisi dan intel di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (Foto: Dok. Petrus Hariyanto)

Kebijakan ini pernah dilakukan kepada tiga napol, yakni Tri Agus Susanto Siswowiharjo, Eko Maryadi, dan Ahmad Taufiq. Mereka bertiga dipindah ke LP Cirebon karena dianggap melanggar aturan dengan mengirim tulisan ke media massa.

Ada larangan juga kepada Xanana Gusmao yang tidak boleh datang ke besukan kalau tidak dijenguk oleh anggota keluarganya. Gerak-gerik Xanana paling diawasi oleh Pak Datuk.

Untuk menuju ke blok 2A dimana Fernando tinggal, masih harus melewati ruang besukan dan Kantor KPLP (Kepala Keamanan Lembaga Pemasyarakatan). Ini pengalaman pertamaku berjalan jauh di dalam penjara. Kesanku, LP Cipinang seperti perkampungan yang luas sekali.

Baca juga: Disiksa Dulu Sebelum Masuk ke LP Cipinang

Sesuai petunjuk Fauzi, sel Fernando berada di ujung blok 2A. Setelah sampai, aku terkejut karena berkeliaran bebek dan kelinci. Ada juga kolam ikan yang dalamnya sekitar 1 meter. Bahkan di samping sel kamarnya tumbuh subur pohon tebu, pohon ketela dan pohon talas.

Blok ini mempunyai halaman yang begitu luas. Tidak seperti di blok 3E, halamannya hanya 2 meter, lalu terhalang tembok blok yang atasnya berkawat duri.

Kamar sel-nya berukuran 4 x 3 meter, temboknya bercat putih kusam. Pintu dan jendela ditutupi jeruji besi bercat biru tua, yang beberapa bagiannya sudah karatan.

Depannya berbentuk teras beratap, terdapat kursi malas dan beberapa bangku kecil. Mungkin tempat menerima tamu.

Sang tuan rumah keluar, setelah aku memanggil namanya. Fernando sempat bingung melihat kami bertiga, tetapi aku segera menyapanya untuk memperkenalkan diri.

"Kami Tapol PRD. Saya Petrus, ini Viktor dan Putut," ucapku sambil menjabat tangannya.

"Selamat datang kawan-kawan PRD di Cipinang. Kami sudah menunggu kedatangan kalian di sini. Kami mengikuti kasus kalian," sapanya dengan ramah.

Baca juga: Hari Ketiga di LP Cipinang dan Cerita Pembantaian Talangsari

Fernando mempersilahkan kami duduk. Kucoba duduk di kursi malas. Rasanya nyaman sekali. Seakan tahu apa yang sedang kunikmati dia langsung mengatakan kalau kursi itu dibeli dari napi lain.

"Harganya murah walau terbuat dari kayu jati. Karya para napi. Di sini ada bengkel kerja. Mereka dilatih membuat mebel," jelasnya.

Fernando de AraujoFernando saat berada di ruang sidang berbincang dengan salah satu pengacaranya. (Foto: Dok. Petrus Hariyanto)

Tak lama kemudian dia masuk ke kamar. Sepertinya pria bertubuh kurus itu ingin menjadi tuan rumah yang baik.

Diambilhya telur ayam kampung, lalu kuning telurnya saja dituangkan ke gelas. Ia campur dengan dua sendok madu, diaduk sampai menyatu. Kemudian, dicampur lagi dengan air teh, aduk lagi sampai menyatu.

"Ayo diminum. Rasanya nikmat dan tidak bau amis. Itu madu asli Timor Leste. Setelah dicampur dengan madu telur menjadi matang," ujarnya.

Tanpa ragu kami meminum pemberiannya. Rasanya nikmat dan benar-benar tidak bau amis. Baru pertama ini aku meminum ramuan teh seperti ini.

Pembicaraan akhirnya mengalir dengan lancar. Fernando mengatakan bahwa PRD pasti mampu mengatasi situasi politik yang represif seperti sekarang ini.

"Aku dengar kalian sudah terlatih berjuang secara klandestin. Pasti mampu lewati masa-masa seperti ini," ucapnya.

Perkataan Fernando kuiyakan. Lantas, aku teringat semua informasi yang masuk melalui kurir tentang kondisi perjuangan kawan-kawan PRD di luar penjara.

"Awalnya, kami sempat tercerai berai setelah rezim memburu dan memporak-porandakan kami. Banyak yang tertangkap dan disiksa," ucapku.

Baca juga: Dari LP Cipinang, Aku Mulai Sidang Perdana dengan Tuntutan Berlapis

"Tiga bulan setelah kami tertangkap, pada tanggal 15 November 1996 Budiman Soetjatmiko (di Rutan Kejagung) sebagai Ketua Umum PRD mengeluarkan surat kepada seluruh kader. Budiman meminta para kader terus melangkah bersama rakyat."

"Budiman menyatakan para pimpinan di penjara telah bertekad akan terus memimpin dan menjalankan amanat Kongres Sleman. Budiman menyerukan mari patuhi dan membantu kerja KPP-PRD (Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik), pimpinan bawah tanah di luar penjara," ungkapku.

Ketika proses penangkapan terjadi, para intel militer Indonesia membuat rekayasa dengan meletakkan beberapa granat dan dokumen Renetil ke atap markas kami di Denpasar.

Aku sampaikan juga ke Fernando hanya butuh tak sampai dua bulan mereka mampu konsolidasi. Kepemimpinan diserahkan kepada KPP-PRD di luar penjara.

Pada tanggal 30 September, kurang lebih dua bulan setelah dinyatakan dalang "Kerusuhan 27 Juli", KPP-PRD mengeluarkan pernyataan sikap yang dikirim ke media massa. Mereka menyatakan di tengah represi dan teror putih Rezim Orde Baru yang ganas, kami akan terus bergerak walaupun harus meratap di bawah tanah. PRD akan terus berjuang bersama rakyat untuk sebuah Indonesia yang demokratik multipartai kerakyatan.

"Gimana kabar Roy dan Wilson?" tanyanya lagi.

"Wilson tertangkap, sekarang masih ditahan di Kejagung."

"Roy selamat."

Rupanya yang paling diingat Fernando kedua kawan ini. Yang dimaksud Roy adalah Danial Indra Kusuma. Kata Fernando sebelum "Peristiwa 27 Juli" mereka berdua bertemu dengan Xanana Gusmao.

Roy, kader PRD yang paling bertanggungjawab dan intens menjalankan kerja-kerja berkaitan dengan isu Timor-Timur. Bahkan lebih jauh lagi dalam hubungan kerjasama dengan CNRM (Conselho Nacional de Resistência Maubere/Dewan Perlawan Timor Leste Untuk Kemerdekaan), Roy berhubungan langsung dengan Xanana Gusmao di penjara.

"Nih ada surat buat Sekjen SMID dari Mr. X," ujarnya ke aku yang saat itu masih Sekjen SMID (Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi).

Mr. X yang disebut ternyata surat dari Xanana Gusmao. Dalam surat itu Xanana mengucapkan terima kasih karena di berbagai kota SMID selalu membina hubungan dan bekerjasama dengan pemuda dan mahasiswa Timor Leste yang berjuang secara klandestin di Pulau Jawa.

Fernando de AraujoBersama aktivis Renetil lainnya di sebuah kos di Denpasar, Bali. (Foto: Dok. Petrus Hariyanto)

Bahkan Roy bersama aktivis yang bernaung di bawah CNRM punya tempat pertemuan khusus yang sangat dirahasiakan (bawah tanah). Di sana mereka sering berdiskusi merumuskan strategi taktik perjuangan di jantung kekuasaan rezim Orba.

Tempatnya sering berpindah-pindah, kebetulan aku satu-satunya pengurus SMID dan PRD yang boleh berhubungan dengan markas yang sangat rahasia itu.

"Di sana aku bertemu beberapa kali dengan Virgilio da Silva Guiterres, Francisco Dias, Aquita, Puto Naldo Rey, dan banyak lainnya," ujarku.

"Bagaimana kamu bisa tertangkap dulunya bung?" tanyaku balik.

Fernando kaget karena sedang larut mendengarkan ceritaku, tiba-tiba mendapat pertanyaan.

"Ya seperti kalian proses penangkapannya, sangat represif. Aku dan beberapa pengurus Renetil tertangkap 12 hari setelah "Peristiwa Santa Cruz," katanya.

Xanana Gusmao, Fernando de Araujo, Joao Freitas Da Camara, mereka bertiga tokoh pejuang kemerdekaan Timor Leste yang mendekam di LP Cipinang.

"Ketika proses penangkapan terjadi, para intel militer Indonesia membuat rekayasa dengan meletakkan beberapa granat dan dokumen Renetil ke atap markas kami di Denpasar, Bali, pada tanggal 24 November 1991."

"Penahananku dipindah ke Jakarta. Baru pada tanggal 16 April 1992, aku diadili bersama teman-teman yang lainnya," katanya.

"Teman-temanku yang diadili karena tertangkap saat aksi tanggal 19 Desember 1991 di Kedubes PPB. Aksi itu untuk memprotes penembakan yang dilakukan militer Indonesia yang telah menewaskan ratusan pemuda dan mahasiswa Timor Leste di Pemakaman Santa Cruz."

"Yang pimpin aksi si Joao Freitas Camara. Dia kuliah di Universitas Atmajaya. Dakwaannya sama dengan aku menggunakan UU Subversi. Sementara tiga yang lainnya menggunakan pasal hatzai artikelen," ungkapnya dengan antusias.

Ketika Fernando menyebut nama Joao Freitas Da Camara, tangannya menunjuk ke ruang sel sebelah. Joao mendiami ruang sel bersebelahan dengan Fernando. Joao sedang tidak menampakan batang hidungnya, kata Fernando pagi sampai pukul sembilan ia berada di dalam kamar, sedang tekun belajar. Katanya, Joao kuliah di Universitas Terbuka, mengambil program studi ekonomi pembangunan.

Ketika kutanyakan dimana Xanana berada? Fernando mengatakan beliau ada di blok lain.

"Nanti sore kamu ke lapangan bola. Beliau pasti sedang main bola. Temui saja di sana. Kalau kamu sekarang datang ke selnya, pasti vaaste (sipir penjaga blok) akan melarang kamu," ujarnya.

Kami bertiga tak bisa berlama-lama, karena baru pertama kali mengunjungi blok lain. Sampai kami pulang, tak juga berjumpa dengan Joao Freitas Da Camara. 

Xanana Gusmao, Fernando de Araujo, Joao Freitas Da Camara, mereka bertiga tokoh pejuang kemerdekaan Timor Leste yang mendekam di LP Cipinang.

Pendiri Renetil

Dalam keheningan malam kudengar lagi suara sirine palang pintu kereta api. Rasanya, aku sudah kecanduan mendengar suara itu. Tiap malam aku menanti bunyi lonceng yang dipukul berkali-kali dengan nada ajeg itu. Harus bersabar menunggunya, karena butuh suasana yang benar-benar sunyi senyap.

Suara itu seakan mampu menghipnotisku untuk melamun.

Perjumpaan tadi pagi sampai siang, sungguh berkesan. Aku bertemu dengan salah satu tokoh yang menginspirasiku dalam gerakan. Penampilannya kini berbeda, dia sudah tidak berkumis lagi.

Fernando de Araujo adalah salah satu pendiri Renetil (Resistência Nacional dos Estudantes de Timor-Leste) dan dia Sekjen pertamanya. Semacam organisasi pelajar Timor-Timur, bersifat klandestin, yang sedang menempuh pendidikan di kota-kota besar Pulau Jawa dan Bali, untuk menentang pendudukan pemerintah Indonesia di Timor-Timur.

Renetil didirikan pada tanggal 20 Juni 1988 di Denpasar Bali, oleh sepuluh mahasiswa Timor Timur. Kemudian didirikan ke kota-kota besar lain di Pulau Jawa.

Dalam pemberitaan Harian Kompas, tanggal 17 April 1992, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Fernando de Araojo melakukan tindak pidana subversi, merongrong kekuasaan negara atau pemerintah.

Dalam dakwaan itu disebutkan Fernando melakukan serangkain kegiatan politik anti integrasi dan menentang pemerintah dari tahun 1983 sampai dengan 1991.

Fernando de Araujo, kata JPU, merupakan komunikator dari gerakan bawah tanah dalam mengirimkan berita-berita ke luar negeri tentang perkembangan Timtim. Ketika Insiden Dili 12 November 1991 terjadi, sejumlah kantor berita asing langsung dikabari.

Masih menurut JPU, yang dimuat dalam Harian Kompas tanggal di atas, bahkan pernah pada bulan Mei 1991, Fernando de Araujo mengirim surat ke Presiden Amerika George Bush, meminta bantuan Amerika untuk Timtim sebagaimana bantuan yang pernah diberikan Amerika kepada Kuwait pada waktu Irak invasi ke Kuwait.

Peristiwa pembantaian di Pemakaman Santa Cruz, tanggal 12 November 1991, telah memicu perhatian dunia internasional terhadap persoalan di Timor-Timur. Versi Dewan Kehormatan Militer jumlah yang tewas 50 orang, sedang sumber dari kelompok gerakan pro kemerdekaan mencapai 273 orang meregang nyawa dalam tragedi itu.

Pemerintah Indonesia sangat tersudut pascainsiden tersebut, dan membuka mata banyak pihak bahwa proses integrasi dilakukan dengan cara kekerasan dan pelanggaran HAM.

Di Indonesia sendiri memicu banyak tokoh dan kelompok gerakan untuk bersolidaritas atas kasus tersebut. Seperti kotak pandora, persoalan integrasi Timtim ke pangkuan ibu pertiwi mulai dipertanyakan.

LP CipinangBersama Xanana Gusmao dan Fernando de Araujo di samping sel 2A yang banyak ditumbuhi pohon tebu, ketela, dan talas. (Foto: Dok. Petrus Hariyanto)

Bagi PRD masalah di Timor Timur bukan sekadar kekerasan dan pelanggaran HAM semata. PRD menganggap Rezim Soeharto melakukan invasi, disponsori negara-negara Barat, imbas perang dingin saat itu. Dan bangsa tersebut mempunyai hak memperoleh kemedekaannya.

Sebenarnya, di Tahun 1994, saat Deklarasi Persatuan Rakyat Demokratik, Bulan Mei, telah menyatakan dukungan "Referendum Bagi Rakyat Maubere". Sayangnya, oleh pengurus terpilih diubah menjadi persoalan pelanggaran HAM.

Pada tanggal 3 Agustus 1994, saat Deklarasi SMID, pencantuman dukungan "Referendum Bagi Rakyat Maubere" untuk menentukan nasibnya sendiri, dicantumkan secara tegas. Beberapa kali SMID melakukan aksi untuk menjalankan program politik tersebut.

Pada tanggal 14 sampai 16 April 1996, saat kongres pembentukan Partai Partai Rakyat Demokratik, telah memutuskan tentang hak-hak dasar mendesak, dimana pada poin 10, PRD menyatakan penghargaan terhadap hak menentukan nasib sendiri bangsa Timor-Timur dengan referendum di bawah pengawasan badan-badan dunia.

Salah satu unsur dakwaan yang ditimpakan ke aku dan kawan-kawan PRD lainnya karena PRD mencantumkan dukungan rakyat Maubere untuk memperoleh kemerdekaannya.

Dan hari-hari ke depan, aku akan hidup bersama trio pejuang kemerdekaan bangsa Timor Leste di sebuah perkampugan besar bernama LP Cipinang. []

*Petrus Hariyanto, Mantan Sekjen Partai Rakyat Demokratik (PRD)

*Bagian 6 dari cerita berseri "Kisah-kisah di Balik Jeruji Besi"

Berita terkait
0
Ini Alasan Mengapa Pemekaran Provinsi Papua Harus Dilakukan
Mantan Kapolri ini menyebut pemekaran wilayah sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.