Hari Ketiga di LP Cipinang dan Cerita Pembantaian Talangsari

Hari ini hari ketiga aku mendekam di penjara Cipinang. Aku sudah berani keluar dari sel. Sudah mulai bersapa dengan sesama napi.
Ilustrasi ruangan penyiksaaan (Foto: Pixabay/tama66)

Oleh: Petrus Hariyanto* 

Hari ini hari ketiga aku mendekam di penjara Cipinang. Aku sudah berani keluar dari sel. Sudah mulai bersapa dengan sesama napi. Rata-rata mereka ramah, membuat aku tidak ragu berbaur dengan mereka.

Siang harinya, kami dipanggil untuk menghadap ke kantor KPLP (Kepala Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan). Rupanya, kami disuruh membawa kasur busa. Ada empat buah kasur busa, empat kemeja lengan panjang beserta beberapa dasi. Kata sipir penjara itu semua dari Pak Lilik.

Yang paling sakit itu ketika kuku jempolku diinjak kaki kursi. Caranya, dua orang meloncat untuk menduduki kursi yang kakinya menempel di jempolku. Kukuku seketika pecah dan terkelupas, aku meraung sekeras-kerasnya.

Pak Lilik adalah ayahnya Ken Budha Kusumandaru, akrab disapa Ken Ndaru. Seorang bapak yang sangat perhatian terhadap anaknya. Selama Ken Ndaru ditahan, beliau tak pernah absen membesuk dan men-support anaknya.

Berkali-kali aku bertemu dengannya di Gedung Bundar (kejaksaan agung), tempat aku ditahan sebelum di Cipinang. Semua orang tua yang hendak membesuk anaknya harus ijin ke ruangan dekat selku. Jadilah aku sering melihat mereka bahkan bisa saling ngobrol.

Baca juga: Saat Pertama Masuk LP Cipinang

Sore harinya, aku dikejutkan dengan kedatangan dua orang napi. Yang satu tinggi dan berjenggot, satunya lebih pendek dan tubuhnya gempal. Mereka berdua mengenakan sepatu dan celana pendek.

Keringat terlihat jelas masih mengucur di wajah dan tangan mereka. Barangkali, mereka baru saja melakukan olah raga. Kemungkinan bermain bulutangkis karena salah satu dari mereka masih membawa raket.

"Kenalkan, namaku Fauzi Isman dan ini Darsono. Kami napol (narapidana politik) Lampung. Kami diutus para napol di Cipinang untuk menyerahkan barang-barang ini. Kami tahu kalian pasti tidak membawa perlengkapan mandi dan memasak," ujar Fauzi.

Kulihat barang yang mereka serahkan sangat berguna sekali. Ada tikar, panci, kompor, ember, teko, sapu, kemucing, wajan, gayung mandi.

Setelah aku memperkenalkan diri, lantas aku ajak mereka duduk di taman.

"Teman-teman kok tahu kalau kami masuk ke Cipinang?" tanyaku.

Baca juga: Hari Kedua di LP Cipinang, Seharian Kami Tak Makan

"Sebelum kalian datang kami dipanggil Kalapas (Kepala Lembaga Pemasyarakatan). Mereka minta pertimbangan kepada kami tahanan PRD akan diletakan di mana? Dan itu sudah tradisi. Dulu sewaktu Bonar Tigor Naipopos dan Fernando de Araujo mau dipindah ke Cipinang juga begitu. Dan kami selalu bersolidaritas untuk membantu keperluan mereka di penjara," ujarnya lagi.

Mereka berdua mendominasi pembicaraan. Aku, Ken Ndaru, Putut, Victor hanya merespon dengan menganggukkan kepala. Dengan lancarnya mereka menjelaskan kondisi penjara Cipinang.

Jadilah semacam inagurasi. Semakin lama kudengar semakin penting informasi yang mereka sampaikan. Mulai dari bagaimana proses besuk sampai siapa saja napol yang mendekam di sini.

Tak lupa mereka memberi nasehat agar kami membaur dengan napi kriminal dan mengambil hati mereka demi keselamatan kita sendiri.

"Blok yang kita tempati ini namanya Eka. Singkatan dari ekstrim kanan. Dulu blok ini, yakni 3E dan 3F, penuh dengan napol gerakan Islam. Ada kasus Tanjung Priok, DI/TII, Kasus Woyla, Peledakan Bom BCA. Sekarang napolnya tinggal kami bertiga, semua Kasus Lampung," ujar Darsono dengan antusiasnya.

LP CipinangPara Napol Cipinang sedang berpose sebelum pertandingan sepakbola persahabatan, sekitar Tahun 1997. Berdiri ada napi kriminal, Yokobus Eko Kurniawan, Kolonel A. Latief, Ken Budha Kusuma Ndaru, Asep Suryaman, Sri Bintang Pamungkas, Petrus Hariyanto (penulis), Anom Astika, Bungkus, Wimanjaya Litohe, napi kriminal, Fauzi Isman, selanjutnya semua napi kriminal. Duduk antara lain; napi kriminal, Andi Saputra, Putut Ariantoko, napi kriminal, Xanana Gusmao, Wilson, Ignatius Pranowo, Yakub Rumbiak, Nuku Sulaiman, Suroso, dan selebihnya napi kriminal. (Foto: Dok. Petrus Hariyanto)

"Lha yang satu lagi Eki, singkatan ekstrim kiri. Orang-orang PKI ditahan disana. Sekarang tinggal lima orang, antara lain Pak Bungkus, Pak Marsudi, Pak Latif, Pak Katno, Pak Asep Suryaman."

"Eki berada blok 2D, tempatnya jauh dari sini. Nuku Sulaiman juga berada di sana. Kalau kamu kenal Beathor Suryadi, dulunya dia juga ditahan di sana. Orangnya sudah bebas," ujar Fauzi.

"Kalau Xanana ditahan di blok apa?" tanya Victor.

Mereka menjawab kalau Xanana di blok 3A depan Masjid, sementara Fernado de Araujo dan Joao de Camara ditahan di blok 2A, yang dulunya khusus napol Timor Timur.

"Blok yang ditempati para napol lainnya adalah blok 3G, depan rumah sakit, dulunya ditempati HR Darsono. Sementara blok 3H ditempati Omar Dhani dan Subandrio. Semuanya sudah dibebaskan," ujar Fauzi.

Peristiwa Talangsari

Mendengarkan mereka berdua berbicara membuat kami terpesona. Kami benar-benar menjadi pendengar yang baik. Cerita kisah "Peristiwa Talangsari" sebenarnya sudah kami baca di media, kali ini langsung kesaksian dari para pelakunya.

Berita di media sering terkena sensor dan tidak menceritakan seuntuhnya. Bahkan, sering tidak sesuai fakta karena info diberikan dari penguasa militer.

"Kalian kok bisa tertangkap? Kalian berdua lolos ya dari penyerbuan saat itu?" tanyaku sambil mengisap rokok dalam-dalam.

Fauzi begitu antusias menjawab pertanyaanku. Katanya, kalau mereka sebenarnya ada di Jakarta dan sama sekali tidak mengetahui kejadian di lapangan.

Baca juga: Video: Petrus Hariyanto Pertama Masuk LP Cipinang

"Begini, kami ini adalah sempalan dari kelompok DI/TII Kartosuwiryo. Aku bergabung dengan Nur Hidayat (pecahan dari Faksi Condet). Setelah Abdulah Sungkar dan Abubakar Baasyir melarikan diri ke Malaysia, diantara gerakan Islam yang ingin mendirikan negara Islam, berpendapat telah terjadi kevakuman kepemimpinan."

"Mulailah terjadi konsolidasi diantara kelompok-kelompok ini untuk menentukan kepemimpinan baru. Salah satu kesepakatan yang penting adalah membangun sebuah desa Islam dan hijrah ke sana. Tujuan sementaranya untuk memilih pemimpin."

"Dipilihlah sebuah desa di Lampung. Kebetulan seorang bernama Warsidi sepakat dengan ide kami dan menyerahkan tanahnya untuk kita berhijrah ke sana, di Desa Talangsari, Way Jepara."

Walau cuma setengah hari, ia sempat mendapat pukulan pipa besi, tepat mendarat di kepala bagian belakang. Katanya, seketika itu juga ia pingsan.

"Itu Tahun 1989. Jadi masih dalam tahap mengajak banyak pihak hijrah ke Lampung. Dari kami ada yang diutus ke Bima, NTB, Palembang, Solo dan kota-kota lainnya."

LP CipinangAula tempat bermain bulutangkis. Tepat di tengah antara blok PRD 3E dan blok napol lampung di 3F. Keduanya bernana eka, ekstrim kanan (Foto: Dok. Petrus Hariyanto)

"Itu betul-betul insiden. Kejadiannya bulan Februari dan rencana kami masuk ke sana bulan April. Kami tidak hendak menyerang aparat, justru kami diserang aparat duluan."

"Kalau aku mengkritik itu kekakuan Warsidi. Ketika kegiatan pengajian dan latihan bela diri di desa itu diketahui aparat Koramil, mereka disuruh lapor."

"Warsidinya menolak lapor. Harusnya lebih luwes, tidak kaku. Nggak ada salahnya lapor. Karena menolak lapor, Warsidi dan anggota jamaah di sana dianggap melawan. Akhirnya, Kapten Sutiman, Danramil di sana beserta anak buahnya menyerbu. Mereka langsung saja menyerbu tanpa ada perundingan."

"Jamaah disana membalas karena mereka juga mempunyai senjata golok dan panah," ungkap Fauzi.

Kata Darsono, Kapten Infantri Sutiman tewas. Mayatnya diletakan di perbatasan desa.

Keesokan harinya, atas perintah Komandan Kodim Garuda Hitam, Kolonel AM Hendropriyono, Warsidi dan jamaah dari berbagai daerah itu diserbu.

Fauzi menggambarkan pasukan yang dikerahkan Hendropriyono sangat besar. Katanya, mereka menyerbu tanggal 7 Februari 1989, pukul 04.00 WIB.

"Mereka bersenjata M16, bahkan dilengkapi bom pembakar (napalm), granat, dan dua buah helikopter. Sebuah pertempuran yang tidak seimbang. Bisa dibilang Warsidi dan jamaah di sana hampir tewas semua," ungkapnya lagi.

Ketika kutanya jumlah yang tewas, Fauzi dan Darsono tidak tahu persis.

Lantas aku teringat Majalah Tempo yang membuat liputan peristiwa itu . Aku sempat membaca laporan Majalah Tempo edisi 18 Februari 1989, sebanyak 246 orang tewas dalam penyerbuan brutal itu.

Fauzi IsmanFauzi Isman (kiri) dan Petrus Hariyanto (Foto: Dok. Petrus Hariyanto)

Anak muda lulusan ilmu statistik itu mengatakan beberapa diantaranya ada yang selamat. Di Pelabuhan Bakauheni mereka malah tertangkap.

"Ada satu yang sengaja diloloskan aparat. Yang lolos ini datang ke tempat markas rahasia kami di Jakarta. Terjadilah malapetaka itu. Akibatnya, aku, Nur Hidayat dan beberapa orang dikepung aparat dan ditangkap," kenangnya.

Gang Buntu

Hari sudah begitu larut, tetapi mataku belum mau terpejam. Padahal, esok hari aku harus menghadiri sidang yang pertama kali, butuh badan yang fit.

Suasana sudah begitu sunyi, membuat aku dapat mendengar kembali sirine palang pintu kereta api. Tak lama terdengar bunyi kereta lewat. Suasana khas di malam yang hening.

Aku terus memikirkan cerita Fauzi tadi sore di taman depan sel kami. Sungguh kejam dan sadis sekali aparat militer menyiksa Fauzi dan teman-temannya. Sungguh di luar perikemanusian.

Kata Fauzi, dia ditangkap pagi hari, dibawa ke Kodim Jakarta Timur, gedung tua sekitar 500 meter dari Stasiun Jatinegara.

Walau cuma setengah hari, ia sempat mendapat pukulan pipa besi, tepat mendarat di kepala bagian belakang. Katanya, seketika itu juga ia pingsan.

Malamnya, lantas dibawa ke Kramat 7. Dua hari disiksa habis di Kramat 7. Kemudian, anak muda bertubuh gempal itu dipindahkan ke Kramat 5.

"Di Kramat 5 aku disetrum sampai dua jam. Awalnya, kabel dipasang di kedua jempol tangan, lalu kedua jempol kaki. Ketika ditempel di kedua telinga. Ketika ditempel di kedua telingaku, aku tersungkur ke belakang dan kepalaku menghantam lantai cukup keras. Membuat aku pingsan, Kemudian wajahku disiram seember air hingga sadar.

Baca juga: Disiksa Dulu Sebelum Masuk ke LP Cipinang

"Ketika sadar, aku hendak disetrum, aku bereaksi menendang kemaluan sang algojo. Akibatnya lima orang yang ahli bela diri justru membantai aku."

"Mereka menendang, memukul dengan tangan, memukul dengan double stick dan rotan. Yang terakhir membanting dengan teknik yudo sampai aku pingsan kembali."

"Yang paling sakit itu ketika kuku jempolku diinjak kaki kursi. Caranya, dua orang meloncat untuk menduduki kursi yang kakinya menempel di jempolku. Kuku aku seketika itu pecah dan terkelupas, aku meraung kesakitan sekeras-kerasnya," ujarnya dengan mimik tegang.

Tidak puas sampai di situ, aparat yang tidak diketahui identitasnya itu membawa Fauzi dan teman-temannya ke "Gang Buntu".

"Gang Buntu" adalah sebuah tempat penyiksaan. Konon, Gerwani dan orang-orang PKI disiksa di sana. Orang dengan kasus-kasus berat seperti pembajakan Pesawat Woyla di Thailand juga disiksa di sini. Banyak yang didor dan tidak selamat," ujar Fauzi.

Ia menggambarkan ruangannya berbentuk gudang dan sangat tertutup. Katanya, sinar matahari tidak bisa masuk sama sekali. Bentuknya persegi panjang, sisi kiri dan kanan ada sel sebanyak masing-masing enam kamar. Tengahnya berbentuk lapangan, tempat aparat berada di sana untuk mengawasi tahanan. Mereka dalan posisi berdiri dan siaga sambil membawa senapan otomatis. Setiap dua minggu sekali, satu peleton jaga diganti, dari berbagai kesatuan angkatan bersenjata.

"Hampir segala macam metode penyiksaan aku alami. Bila jawabanku salah di mata mereka aku langsung dipukul. Yang paling kejam mukaku dijadikan asbak. Rokok yang masih menyala merah di ujungnya diusap-usapkan ke wajahku. Dan itu dilakukan berhari-hari. Dalam hatiku, ya Tuhan wajahku apakah akan cacat nantinya?" ungkapnya lagi.

Kaki Fauzi dan teman-temannya dirantai, tangan juga diborgol.

"Aku sudah berpikir tidak akan selamat dan tidak bisa keluar. Sudah empat bulan lebih aku disekap di sana. Tapi Allah berkehendak lain. Akhirnya turun surat penahanan dari jaksa. Aku dipindahkan ke Cipinang," ujarnya dengan nada syukur.

Bahkan Fauzi bercerita dengan rasa terharu, ketika keesokan harinya keluar sel dan berjemur.

"Ya Tuhan aku kembali dapat merasakan nikmat karuniaMu. Rasanya bahagia banget kulitku tersentuh sinar mentari pagi. Sungguh ajaib rasanya, setelah hampir lima bulan tanpa tertepa matahari," ujarnya seperti orang sedang memanjatkan syukur.

Kami sendiri sore itu terharu mendengar kisahnya. Kalau Fauzi ditahan di Gang Buntu, kami juga disekap di tempat rahasia, yang akhirnya kami tahu itu Markas BIA (Badan Itelejen Negara).

Sebenarnya, Rezim Soeharto mempunyai berapa tempat rahasia untuk mengintrograsi dan menyiksa lawan-lawan politiknya. []

*Petrus Hariyanto, Mantan Sekjen Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Bagian 4 dari cerita berseri "Kisah-kisah di Balik Jeruji Besi"

Berita terkait
0
JARI 98 Perjuangkan Grasi untuk Ustadz Ruhiman ke Presiden Jokowi
Diskusi digelar sebagai ikhtiar menyikapi persoalan kasus hukum yang menimpa ustaz Ruhiman alias Maman.