Kisah Tunanetra Aceh Penembus Batas Mimpi

Tunanetra di Aceh Barat Daya diberikan keterampilan memijat demi mengubah nasib, agar tidak lagi terjun di jalan menjadi pengemis.
Tunanetra di Aceh Barat Daya diberikan pelatihan agar terampil memijat, 15 Oktober 2019. (foto: Tagar/Syamsurizal).

Aceh Barat Daya - Junaidi hari itu terlihat bersih dan rapi mengenakan batik lengan pendek dengan celana abu-abu panjang. Lahir dengan keterbatasan fisik, menjadi tunanetra, tidak lantas membuat pria asal Aceh yang baru saja dikaruniai anak laki-laki pertama ini berpangku tangan, mengharap belas kasihan orang lain dengan cara mengemis.

Berbekal semangat pantang menyerah yang tertanam dalam diri, dia juga memiliki keyakinan dan ketekunan untuk memperdalam ilmu pengetahuan, Junaidi kini memiliki jabatan yang setara dengan jutaan guru kontrak di Indonesia.

Mungkin ada benarnya, nasib seseorang tidak bisa ditebak. Belum tentu orang yang memiliki keterbatasan fisik tidak bisa meraih kesuksesan. Warga Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh ini setidaknya telah membuktikan bisa melawan ketidakberdayaan. 

Memori perjalanan hidup yang telah lama dia simpan dalam ingatan, dengan senang hati diungkapnya di tempatnya bekerja di jalan BB Jalal, Desa Pante Perak, Kecamatan Susoh. Menurut dia, kisah hidupnya bisa memotivasi orang lain untuk bangkit dari keterpurukan.

Dia menuturkan, awal mula didatangkan ke sini oleh Dinas Sosial Aceh Barat Daya dari Banda Aceh, bersama rekannya, Saipul. Mereka berdua saat ini ditugaskan melatih keterampilan memijat 12 tunanetra di Aceh Barat Daya. 

Bagi saya, ada pekerjaan yang dapat dilakukan dengan kondisi fisik seperti ini.

Sembari duduk santai di bangku empuk berbusa dalam ruangan berukuran 6x12 meter, Junaidi membuka tabir gelap soal keterpurukan sejak lahir. 

Bahkan, nasib baik tak juga menghampirnya hingga dia menyelesaikan pendidikan sekolah menegah atas (SMA). Setelah lulus, Junaidi lama menjadi penganggur, karena tak kunjung mendapat pekerjaan, bahkan saat itu tidak ada yang bisa dilakukannya dengan kondisi mata tak bisa melihat.

Kendati demikian, untuk mengemis ke orang lain tidak pernah terbesit sedikitpun di hatinya. Dia meyakini masih ada celah yang dapat dilakukan untuk mengais rezeki, meminta-minta kepada orang lain dia tegaskan bukan-lah jalan keluar.

“Usai tamat SMA saya tidak tahu harus bekerja sebagai apa, namun meski begitu untuk mengemis tidak pernah terpikir. Bagi saya, ada pekerjaan yang dapat dilakukan dengan kondisi fisik seperti ini,” kata Junaidi, ketika berbincang dengan Tagar, Jumat, 18 Oktober 2019.

Jika putus asa dan tidak tahan banting, bukan Junaidi namanya. Bagi dia, menyerah dan hanya meratapi nasib tidak akan melahirkan solusi. Sebab, hidup ini terus berjalan, dia tidak akan mendapat secercah harapan apabila hanya mengeluh, berpasrah, dan berdiam diri.

Sembari mencari informasi tentang peluang bekerja, tiada hentinya Junaidi mengangkat kedua tangan setiap salat, ia berdoa agar Tuhan memberinya kemudahan dan membuka pintu rezeki agar kehidupannya membaik.

Tahun 1996 dianggapnya sebagai angin segar. Junaidi berujar, semua dimulai dari doa yang selalu dipanjatkan dan perjuangannya tanpa henti untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Tunanetra AcehJunaidi melatih tunanetra memijat di Aceh Barat Daya pada 15 Oktober 2019. (foto: Tagar/Syamsurizal)

 Berawal dari kedatangan petugas sosial dari Kecamatan Dinas Sosial (Dinsos) Aceh yang sekarang bernama TKSK, yang kala itu tengah melakukan seminar cara membuat pemukul kasur dari rotan di Kecamatan Kuala Batee.

Junaidi ingat betul, ada seorang petugas TKSK bernama Rahmat yang mengajaknya untuk menjadi siswa baca Alquran braille serta menjadi tukang pijat di Jabar Qapur Kota Sigli, Aceh.

Melihat peluang dan jalan keluar dari keterpurukan, dia tidak mau menyianyiakan kesempatan dan waktu. Terbesit dalam hatinya, mungkin ini dia momentum tepat untuk mengubah nasib. 

Lima tahun menekuni pendidikan baca kitab suci timbul dan pijat, alhasil Junaidi meraih sertifikat. Setelah menyelesaikan pendidikannya dengan TKSK, dia memutuskan kembali ke kampung halaman.

Lantaran terhimpit faktor ekonomi, membuat Junaidi tidak bisa mengembangkan ilmu yang dia punya. Junaidi mengatakan, membangun sebuah usaha panti pijat tunanetra dan les baca surat Alquran braille hanya sebatas mimpi, karena diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk membangun.

Pada umumnya mereka (yang mengemis) belum mendapatkan pendidikan disebabkan tidak tahu ada keterampilan yang dapat dilakukan, tidak mesti mengemis.

“Lima tahun kemudian saya kembali pulang. Kembali menganggur. Kadang ada memijat beberapa orang kampung, walau kadang-kadang saja. Tapi saya tetap bersyukur,” ungkapnya seraya tersenyum.

Tidak ada ilmu yang sia-sia asal manusia mencari peluang, berusaha, dan berdoa. Setidaknya kalimat ini sudah dibuktikan Junaidi. Secercah harapan kembali mendatanginya pada tahun 2006, di mana Dinas Sosial Aceh saat itu merekrutnya untuk menjadi instruktur pelatihan Alquran braille bagi tunanetra dengan durasi kontrak satu tahun.

“Tahun 2006 saya di rekrut menjadi instruktur pelatihan Alquran braille di Dinas Sosial Aceh sampai tahun 2007,” tuturnya sambil menonaktifkan telepon genggam yang terus menerus berdering di dalam kantongnya.

Berdedikasi dalam bekerja dan penuh rasa tanggung jawab, membuat hati pihak dinas saat itu tersentuh. Perlahan, dia diangkat menjadi tenaga kontrak dan pekerjaan itu dia lakoni hingga saat ini.

Memiliki pekerjaan, perlahan membuat alur kehidupan Junaidi mulai berubah. Seorang perempuan berhati mulia dengan cinta tulus dan siap lahir batin menerimanya sebagai imam keluarga. Dari buah cinta mereka berdua, kini pasangan itu telah dikaruniai seorang putra.

“Sampai saat ini saya masih bekerja di Dinas Sosial. Saya sudah punya istri, anak kami baru satu, laki-laki, usianya baru enam bulan,” tuturnya yang tak bisa lagi mengumpatkan senyum.

Junaidi berpesan kepada orang yang memiliki keterbatasan fisik sebaiknya tidak lekas berputus asa, terlebih mencari pekerjaan yang di mata orang lain sungguh sangat menyebalkan. 

“Pada umumnya mereka (yang mengemis) belum mendapatkan pendidikan disebabkan tidak tahu ada keterampilan yang dapat dilakukan tidak mesti mengemis. Oleh sebab itu sering-seringlah mencari informasi. Jangan menyerah dan putus asa, kalau kita mau pasti ada jalan,” kata Junaidi.

Menjadi kesempatan emas bagi para tunanetra di Aceh Barat Daya dengan adanya program kepedulian pemerintah kabupaten melalui dinsos setempat yang telah membuka panti pijat tunanetra. Maka dari itu, Junaidi meminta agar ilmu dan kesempatan singkat ini benar-benar dimanfaatkan dengan baik oleh para tunanetra yang ingin berubah.

“Program pemerintah ini patut diacungi jempol. Memijat harus didasari ilmu. Jangan pernah berhenti belajar dan jangan pernah berpikir kita hanya bisa berpangku tangan. Jangan sombong. Manfaatkan apa yang sudah disediakan Pemkab, karena lewat memijat juga berpenghasilan, tidak dengan mengemis,” tutur Junaidi sambil tersenyum.

Pekerjaan yang Mengubah Nasib

Tunanetra AcehJunaidi memberikan pelatihan memijat kepada tunanetra di Aceh Barat Daya pada 15 Oktober 2019. (foto: Tagar/Syamsurizal).

Hanya terpaut dua meter dari tempat Junaidi duduk, seorang pria tunanetra terlihat asyik bercengkerama dengan rekannya. Mereka berdua adalah murid Junaidi dan Saipul dalam latihan pijat. 

Meski mengobrol tidak saling menatap muka, perbincangan mereka tampak sangat seru karena ada senda gurau di dalamnya. Saat saya mendekat, obrolan mereka sempat terhenti sesaat lantaran menjawab sapaan reporter Tagar yang menyalami untuk memperkenalkan diri.

“Nama saya Sardani,” ucapnya dengan ramah, sambil membelokkan kepalanya ke kanan kiri mencari keberadaan saya.

Kan bapak sudah tahu apa kegiatan saya dulu (mengemis). Tidak ada pekerjaan lain.

Pemuda ini tidak sungkan menceritakan kisah hidupnya sebelum mengikuti pelatihan pijat. Dia mengaku sebelum mendapat keterampilan ini, bergantung hidup menjadi pengemis.

Rutinitas sehari-harinya adalah berjalan di Blangpidie saat siang hari. Dengan suara lirih, Sardani mengatakan, menggeluti profesi ini demi memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sebab, dia tidak memiliki bekal ilmu lain.

“Kan bapak sudah tahu apa kegiatan saya dulu (pengemis). Tidak ada pekerjaan lain,” kata Sardani seraya menggelengkan kepala.

Dalam penyesalan, dia mengucap, tiada pilihan lain selain mengemis, kendati hal itu bukan pilihan hati. Semisal ada peluang pekerjaan di Aceh, tentu yang diutamakan, kata dia, orang yang memiliki kondisi fisik sempurna, tidak berpihak kepada tunanetra.

“Tidak ada pekerjaan lain. Sebenarnya saya tidak suka (mengemis),” tuturnya.

Besar harapan dengan dibuka panti pijat tunanetra ini dia dapat mengubah nasib, tidak terjun lagi dijalan mengharapkan uluran tangan orang yang terpaksa mengasihaninya.

Berbekal keterampilan memijat yang dia peroleh dari program pemerintah, Sardani bermimpi bakal menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain.

“Bersyukur dengan program ini. Selama ini saya tidak bisa bekerja lain, makanya mengemis. Program ini sangat saya syukuri. Ini mungkin tempat saya merubah nasib,” ujar Sardani sambil mengusap air mata yang perlahan menetes di pipinya.

Realitas Tunanetra Aceh Menjadi Pengemis

Tunanetra AcehTunanetra di Aceh Barat Daya diberikan keterampilan memijat pada 15 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Syamsurizal).

Bupati Kabupaten Aceh Barat Daya Akmal Ibrahim dapat dikatakan sosok pemikir. Sebagai pemimpin daerah, dia beranggapan, sudah semestinya setiap masyarakat mendapat perhatian, tidak terkecuali para tunanetra. 

Mereka yang memiliki keterbatasan fisik, telah disediakan sebuah panti pijat khusus, dan diajarkan secara gratis. Nantinya, penghasilan yang didapat tunanetra Akmal pastikan, pihaknya tidak akan melakukan pemotongan sepeser pun.

Kita melakukan upaya pembinaan dan pendampingan bagi penyandang disabilitas melalui program dan kegiatan pelatihan berbasis usaha ekonomi produktif.

Akmal mengatakan, penyandang tunanetra yang berprofesi sebagai pengemis merupakan realitas. "Mereka melakukan itu tentu karena keterbatasan fisik, serta kurangnya kepercayaan masyarakat," kata dia.

Persoalan tersebut dia pandang menyebabkan penyandang tunanetra belum dapat berpartisipasi dalam dunia kerja yang lebih profesional. Hal ini yang mengakibatkan posisi tunanetra kian terpuruk.

Akmal menilai, fenomena ini tidak boleh terus dibiarkan berlarut. Pemerintah melalui dinsos sebagai penanggung jawab dan pengurus disabilitas memiliki peran dan fungsi memberikan pembinaan bagi penyandang disabilitas di Aceh.

“Kita melakukan upaya pembinaan dan pendampingan bagi penyandang disabilitas melalui program dan kegiatan pelatihan berbasis usaha ekonomi produktif dan memberikan semua fasilitas yang mendukung bagi penyandang tunanetra termasuk menangung biaya sewa toko,” kata Akmal di Gampong Pante Perak, Kecamatan Susoh, Selasa 15 Oktober 2019.

Akmal berkata, penyandang tunanetra adalah manusia yang memiliki kebutuhan sama dengan manusia normal lainnya. Sehingga, menjadi peminta-minta merupakan salah satu cara yang dihalalkan untuk mendapatkan penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup.

“Maka dari itu pelatihan pijat bagi penyandang tunanetra ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kemampuan dasar, keahlian, keterampilan, serta profesionalisme untuk mewujudkan tunanetra yang mandiri guna meningkatnya kesejahteraan ekonomi,” ujarnya.

Menawarkan Rasa dari Pintu ke Pintu

Kepala dinas sosial setempat Ikhwansyah menerangkan panti pijat ini selama setahun ke depan akan dikelola sendiri oleh 12 tunanetra yang sudah dilatih keterampilan memijat. 

Dinas, kata dia, hanya menyediakan tempat, berikut dengan sewanya selama setahun, dan sejumlah kebutuhan untuk memijat.

“Mereka mengelola sendiri panti pijat ini. Kita hanya pembinaan. Hasil dari mereka tidak ada pemotongan apapun,” ucap Ikhwansyah.

Data yang diperoleh dinsos setempat, terdapat 153 tunanetra. Dari jumlah itu, hanya 12 orang yang siap mengikuti program tersebut. Selebihnya, ada yang beralasan tidak melanjutkan dengan alasan sudah memiliki pekerjaan.

“Data kita ada 153 orang, setelah kita data hanya 12 ini yang mau ikut, selebihnya punya kerjaan dan usaha sendiri,” tuturnya.

Ikhwansyah menyatakan, begitu sewa toko habis, setidaknya para tunanetra ini sudah punya keahlian sendiri. Mereka bisa membuka praktik di rumah masing-masing mengenai jasa pijat, dengan begitu dapat menopang hidup, tanpa harus kembali lagi ke pekerjaan sebelumnya sebagai pengemis.

“Dari program (pijat tunanetra) ini tentu nanti mereka sudah punya keahlian. Mereka bisa membuka usaha di rumah masing-masing,” kata dia di Aceh. []

Berita terkait
Setan Geunteut, Usai Magrib Culik Anak Kecil di Aceh
Hantu geunteut boleh saja dianggap sebagai mitos belaka. Namun, kesaksian korban yang diculik di Aceh, membuktikan jika makhluk gaib ada di sana.
Nasib Perempuan Aceh Tersudut Pelecehan Seksual
Kekerasan seksual terhadap perempuan Aceh terus meningkat dari tahun ke tahun. Adanya Qanun belum terimplementasikan dengan maksimal.
Petik Buah dari Halaman, Pria di Aceh Jadi Jutawan
Deni Ardiansyah, pria lajang di Aceh, lebih memilih menjadi petani buah ketimbang menjadi pekerja kantoran dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
0
Indonesia Akan Isi Kekurangan Pasokan Ayam di Singapura
Indonesia akan mengisi kekurangan pasokan ayam potong di Singapura setelah Malaysia batasi ekspor daging ayam ke Singapura