Kisah Tiga Pendaki Tersesat di Gunung Lompobattang

Kisah bertahan hidup tiga mahasiswa Makassar ketika tersesat dan menghadapi keganasan alam Gunung Lompobattang.
Pendidikan Latihan Lanjutan MPAS Mimesis, Universitas Negeri Makassar, ekspedisi lintas gunung, Lompobattang menuju Bawakaraeng. (Foto: MPAS Mimesis)

Gowa - Tiga pendaki gunung asal Universitas Negeri Makassar (UNM) punya pengalaman ekstrim saat tersesat di Gunung Lompobattang, Sulawesi Selatan. Hujan badai menjadi awal kisah mereka harus bertahan hidup di tengah hutan di kawasan puncak Lompobattang.

Adalah Tabara 25 tahun, Kanvas 25 tahun dan Petrus 24 tahun. Mereka merupakan mahasiswa Fakultas Seni dan Desain (FSD) UNM. Tergabung dalam Mahasiswa Pencinta Alam dan Seni Budaya (MPAS) Mimesis, sebuah organisasi internal kampus.

Saat ini mereka sudah lulus dan jadi pengusaha muda. Dan kejadiannya memang sudah berlalu, tiga tahun lalu. Namun kengerian keganasan alam Gunung Lompobattang masih membekas di ingatan. Setidaknya itu yang tergambar dari cerita yang disampaikan Tabara kepada Tagar, Minggu, 8 Desember 2019.

Bermula dari rencana pendakian sebagai syarat untuk bisa menjadi anggota penuh dari MPAS Memesis. Saat itu Kanvas dan Petrus masih berstatus sebagai anggota muda di kelompok pencinta alam tersebut. Dan untuk bisa menjadi anggota penuh harus melakukan pendidikan latihan lanjutan (PPL).

Dipilih lah program pendakian lintas gunung, Gunung Lompobattang dan Gunung Bawakaraeng. Dua gunung tersebut memang berdekatan. Bisa ditempuh dalam satu jalur atau rute pendakian.

Mereka berencana menuju puncak Lompobattang melalui jalur pendakian Malakaji, Kabupaten Jeneponto. Berlanjut ke puncak Bawakaraeng dan balik melalui jalur Lembanna, Kabupaten Gowa.

Hari itu, Rabu, 28 Desember 2016, sekira pukul 20.00 Wita. Tabara yang berposisi sebagai pendamping sekaligus leader, karena lebih senior dan sudah anggota penuh di MPAS Mimesis, memimpin dua rekannya di ekspedisi PPL.

Dari Makassar ketiganya berangkat menggunakan angkutan umum roda empat. Tiba di Malakaji, Tabara bersama dua rekannya langsung berjalan kaki ke jalur pendakian. Ketiganya lantas mendirikan tenda dan bermalam di pos 1, beristirahat sementara untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya.

Sekitar pukul 08.00 kami mulai perjalanan. Semuanya berjalan lancar, tidak ada halangan maupun rintangan sampai di pos 7.

Pendaki1Tabara dan Kanvas saat di puncak Gunung Lompobattang. Foto diambil oleh rekannya Petrus. (Foto: MPAS Mimesis)

Kamis, 29 Desember 2016, sekitar pukul 06.00 Wita mereka bangun dengan kondisi badan cukup segar. Pagi itu diawali dengan sarapan berlanjut olahraga ringan.

"Sekitar pukul 08.00 kami mulai perjalanan. Semuanya berjalan lancar, tidak ada halangan maupun rintangan sampai di pos 7," kenang Tabara. 

Kondisi cuaca mulai tak bersahabat saat selepas pos tujuh. Dalam perjalanan menuju pos selanjutnya, tiba-tiba hujan disertai angin kencang menerpa. Ketiganya juga berpapasan dengan sejumlah pendaki lain yang lebih memilih turun ketimbang melanjutkan ke puncak.

"Sangat banyak yang berjalan turun dengan alasan drop badannya. Ada juga yang trouble sehingga tidak bisa melanjutkan perjalanan. Rata-rata hanya sampai di pos delapan dari 10 pos untuk sampai puncak Lompobattang," kata dia.

Namun mereka tidak mempedulikan kondisi alam maupun alasan yang diutarakan pendaki lain yang memilih balik kanan. Tabara memaksakan melanjutkan perjalanan dengan alasan kepentingan PLL.

Hingga tiba di pos 9 sekitar pukul 17.00 Wita, dia memutuskan berhenti untuk mendirikan tenda dan beristirahat dengan pertimbangan hujan lebat.

"Jadi malamnya di situ sempat bercanda ria, kemudian briefing untuk perjalanan selanjutnya. Beberapa notulensi dua sahabat yang melaksanakan perjalanan PLL juga dirapikan," tuturnya.

Pagi hari pun tiba. Ketiga pendaki tersebut beraktifitas seperti pada Jumat 30 Desember 2019. Namun karena pagi itu masih hujan maka tidak banyak yang bisa dilakukan. Tabara dan dua juniornya lebih banyak menghabiskan waktu di dalam tenda sembari menunggu reda.

"Saat itu hujan, jadi kami menunggu hingga pukul 10.00 Wita untuk kembali memulai perjalanan," kata dia.

Tidak ada kendala berarti hingga mereka tiba di puncak Gunung Lompobattang. Beristirahat sebentar sembari melakukan catatan dan mendokumentasikan diri di puncak. Sekitar pukul 12.00 Wita ekspedisi berlanjut ke puncak Gunung Bawakaraeng.

Cuaca Ekstrem

Melewati jalur pos 11 menuju ke pos 12 melintasi tebing terjal di kawasan lembah Karisma. Dalam perjalanan itu lah cuaca ekstrem tiba-tiba datang menghadang.

"Jadi saat kami di tengah-tengah punggungan gunung menuju lembah karisma tiba-tiba hujan yang sangat deras turun disertai angin kencang badai. Anginnya terasa dari samping mendorong kami seperti orang kehilangan keseimbangan," beber dia.

Jalur di lembah Karisma ini memang cukup mengundang adrenalin naik bagi para pendaki yang melintasinya. Jalan setapak yang membentang hanya selebar sekitar setengah meter. Memang panjangnya tidak terlalu jauh, sekitar 20 meter. Tapi jangan ditanya soal ketinggian.

Jalur kawasan puncak gunung tersebut berada di antara jurang dalam. Tebing menganga di kanan kiri jalur setapak. Entah kedalamannya berapa, yang jelas saking dalamnya jurang, Tabara melihat pepohonan di bawah tebing ukurannya kecil-kecil.

Hanya ada dua pilihan siang itu. Terus melanjutkan perjalanan atau kembali. Sementara kondisi alam yang diperparah dengan datanya kabut tebal juga membuat jarak pandang sangat terbatas.

"Saat itu hanya bisa melihat sampak jarak sekitar dua meter," tutur dia.

Sempat terjadi perdebatan di antara mereka hingga akhirnya diputuskan untuk putar arah, balik ke jalur semula lantaran cuaca sudah tidak mendukung untuk sebuah perjalanan.

Tidak lama saat memutuskan kembali, tanpa disadari, ternyata ketiganya keluar dari jalur semestinya. Beberapa jam berjalan mereka tersesat makin jauh dari titik yang harusnya dilewati. "Ya karena kabut tebal membuat pandangan sekitar jadi tak jelas," ujarnya.

Saat itu lah kami baru tahu kalau sudah tersesat. Begitu melihat ke bawah ternyata kami sudah berada di tengah tebing.

Pendaki2Kanvas dan Petrus saat di punggung Gunung Lompobattang, Desember 2016. (Foto: MPAS Mimesis)

Hingga ketika hujan reda dan kabut mulai menyingkir, Tabara menyadari jika mereka tersesat. Ia sempat panik saat mengetahui dirinya berada di tengah-tengah tebing yang sangat tinggi dan terjal.

"Saat itu lah kami baru tahu kalau sudah tersesat. Begitu melihat ke bawah ternyata kami sudah berada di tengah tebing. Pohon-pohon di bawah saya itu sudah sangat kecil kelihatan," kata Tabara dengan mimik wajah tegang.

Sontak pemuda ini berpegang erat ke batu dan akar rumput di tebing. "Saya teriaki teman-teman untuk berusaha berkumpul. Sambil berpegangan tangan, kami putuskan untuk naik kembali ke atas," sambungnya.

Mereka baru merasa aman saat tiba di sebuah area yang cukup datar. Sampai cerita di sini, Tabara menghela napas. Ia tidak bisa membayangkan jika tetap nekat melanjutkan perjalanan ke Bawakaraeng di tengah hujan deras, angin kencang dan kabut tebal.

Lolos dari lubang jarum jatuh ke jurang, ketiganya memutuskan untuk mendirikan tenda. Terlebih langit sudah temaram, jelang malam, dan hujan deras disertai angin kencang kembali melanda. Akhirnya mereka mencari tempat aman dan ideal untuk mendirikan tenda.

"Karena kalau di puncak punggungan dirikan tenda, angin sangat kencang. Bisa-bisa tenda dibawa angin. Akhirnya kami turun sedikit cari posisi aman meskipun medannya agak miring untuk beristirahat," kata dia.

Sekitar pukul 19.00 Wita tenda sudah berdiri dan tiga pendaki muda ini membersihkan diri menggunakan air hujan. Saat beristirahat di dalam tenda mereka kembali briefing memutuskan langkah perjalanan keesokan harinya. Malam itu mereka tidur pukul 22.00 WIB dan diputuskan bergantian.

"Paginya atau Sabtu, 31 Desember 2016, kami bangun, hujan semakin deras, angin semakin kencang bahkan suara angin yang berhebus sempat membuat kami panik. Tidak ada aktivitas yang bisa kami lakukan kecuali duduk di dalam tenda," katanya.

Mereka tetap bertahan di dalam tenda karena cuaca yang sangat ekstrem. Hingga pada Minggu, 1 Januari 2017, sekitar pukul 17.00 Wita, Tabara dan dua rekannya baru menyadari jika ransum atau bekalnya sudah menipis, sebentar lagi habis.

Air hujan bisa diminum. Benar-benar habis, cemilan pun begitu.

Jika hujan tak berhenti segera maka keesokan harinya mereka harus survival alias bertahan hidup dengan memanfaatkan hasil alam. Saat itu lah mereka hanya bisa membasahi tenggorokannya dengan air hujan.

"Air hujan bisa diminum. Benar-benar habis, cemilan pun begitu. Akhirnya kami memutuskan jika angin kencang reda dan ada kesempatan untuk kembali melalui jalur Malakaji, kami harus bergerak cepat. Tapi kami ini dalam posisi terjebak, di luar jalur. Bahkan salah satu teman sudah berpikiran bahwa kami tidak bisa lagi kembali," ujar Tabara.

Begitu angin kencang surut di hari kedua tersesat atau Senin, 2 Januari 2017 sekira pukul 09.00 Wita, Tabara dan dua juniornya langsung bergegas membereskan tenda dan melanjutkan perjalanan untuk turun gunung.

Tapi terlebih dahulu mereka harus berusaha masuk jalur. Dan sebagai leader dan punya bekal pengetahuan bagaimana bertahan hidup di alam liar, Tabara telah memberi string line atau penanda garis tali yang dipasang saat pertama kali menyedari tersesat.

"Saya ikuti string line dan sekitar empat 4 jam kemudian menemukan jalur antara pos 12 ke pos 11," tuturnya.

Tapi cuaca kembali tak bersahabat. Begitu berada di jalur turun yang benar, hujan disertai angin kembali turun, malah tambah deras dan kencang anginya.

"Tapi kami putuskan untuk tetap jalan dengan basah kuyup dan memastikan tidak keluar jalur. Tidak ada alasan untuk istirahat lagi, karena bekal sudah habis. Kami terus berjalan di tengah hujan dan badai hingga pos 8 baru merasa aman," ujar Tabara.

Tiba di pos 8 sekitar pukul 17.00 Wita. Cuaca yang sudah gelap tak membuat ketiganya berhenti. Mereka tetap memaksakan jalan dalam kondisi gelap gulita malam hari dengan bekal cahaya senter untuk turun.

Sekitar pukul 02.00 Wita, Selasa dini hari, 3 Januari 2017, Tabara, Kanvas dan Petrus tiba di jalan yang menuju permukiman warga. Beristirahat di salah satu rumah warga, mereka menghubungi rekan kampusnya sesama aktivis pencinta alam.

"Kami hubungi teman-teman yang ada di Makassar untuk mengusahakan transportasi pulang. Kami pulang pagi sekitar pukul 08.00 Wita, menggunakan kendaraan umum yang sebelumnya sudah dikondisikan teman-teman di Makassar," ujarnya mengakhiri cerita. []

Baca juga: 

Berita terkait
Delapan Pendaki Tersesat di Gunung Lompobattang Sulsel
Delapan orang pendaki dikabarkan tersesat di Gunung Lompobattang, Sulsel. Begini kondisi para pendaki tersebut.
Hal yang Perlu Dilakukan Pendaki Gunung Saat Tersesat
Pendaki gunung Thoriq Rizki Maulidan hilang di Gunung Piramida. Sebenarnya ada beberapa tips saat tersesat mendaki gunung.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.