Untuk Indonesia

Kasus Kerusakan Lingkungan di Aceh, Pelaku Kebal Hukum?

Sangat miris kasus kerusakan lingkungan di Aceh tidak diatasi, bahkan seperti sengaja diabaikan. Para aktor perusak lingkungan seolah kebal hukum.
Pengerukan Galian C dengan menggunakan alat berat di Aceh Utara menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius. (Foto: Tagar/M. Agam Khalilullah)

Oleh: Agam Khalilullah*

Kasus kerusakan lingkungan hidup masih terus terjadi, meskipun telah dikeluarkan berbagai regulasi, seolah-olah para pelakunya tetap kebal terhadap hukum. Hal itu bisa dibuktikan dengan masih banyak kasus kerusakan lingkungan yang terjadi di seluruh Indonesia.

Untuk memperbaiki terjadinya kerusakan lingkungan, tidak cukup dengan menggunakan APBN, karena apa yang sudah dirusak itu kondisinya tidak akan bisa dikembalikan seperti semula.

Seharusnya kita sebagai umat manusia mampu melestarikan dan menjaganya. Apabila kerusakan lingkungan sudah mulai terjadi, maka sama halnya seperti mengundang bencana alam.

Namun sangat miris apabila setiap kasus-kasus kerusakan lingkungan tersebut tidak diatasi dengan baik, bahkan seperti sengaja diabaikan. Sehingga para aktor perusak lingkungan tersebut bisa lebih leluasa untuk melakukan aktivitasnya.

Seperti halnya yang terjadi di Provinsi Aceh, ada beberapa kasus kerusakan lingkungan yang sampai sekarang ini belum ditangani sama sekali dan kerusakan lingkungannya semakin tergerus.

Kasus-kasus yang terjadi itu seolah-olah seperti terjadi pembiaran dan tidak diselesaikan sampai tuntas, seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Apabila lingkungan sudah mulai rusak, maka sama saja seperti mengundang bencana alam.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nur mengatakan, saat sekarang ini ada beberapa kasus kerusakan lingkungan yang terabaikan sama sekali, seharusnya Pemerintah Provinsi Aceh prioritas menyelesaikannnya.

Masing-masing kasus kerusakan lingkungan tersebut yaitu praktik alih fungsi rawa gambut menjadi kebun sawit yang dikelola oleh PT Asdal di Kabupaten Aceh Selatan, yang bisa menyebabkan bencana alam berupa banjir dan kekeringan.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas penaman sawit tersebut, maka kondisinya tidak akan pernah bisa normal seperti semula. Dalam satu batang pohon sawit, maka menyerap air sampai 12 liter dan tentunya di kawasan itu bisa menyebabkan terjadinya krisis air bersih sampai kekeringan.

Begitu juga dengan pembangunan 44 ruas jalan di berbagai hutan di Aceh dan menyebabkan banyak hutan lindung yang menjadi rusak, serta sampai luasnya menyusut atau dikenal dengan sebutan deforestasi.

Pembangunan jalan itu dilakukan di 8 kabupaten di Aceh, yaitu di Aceh Timur, Tamiang, Aceh Utara, Pidie, Gayo Lues, Subusalam, Aceh Tenggara dan Aceh Besar. Bahkan bukan hanya hutan saja yang rusak, berbagai spesies yang menghuni rimba itu menjadi terganggu, seperti gajah dan harimau.

Kasus yang sangat krusial yaitu aktivitas PT. Rencong Pulp and Paper Industry (RPPI) di Aceh Utara, yang telah mengantongi Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kayu – Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI).

Dengan adanya izin tersebut, maka menyebabkan terjadinya alih fungsi hutan. Awalnya dari hutan lindung, maka menjadi perkebunan. Maka sudah pasti menyebabkan kerusakan hutan dalam skala besar.

PT. RPPI memiliki izin IUPHHK-HTI dengan nomor 522.51/569/2011 tanggal 8 Agustus 2011 dan perubahan SK Gubernur Aceh nomor 522.51/441/2012, berlaku untuk jangka waktu 60 tahun dengan luas areal izin 10.384 hektare.

Seharusnya kita sebagai umat manusia mampu melestarikan dan menjaganya. Apabila kerusakan lingkungan sudah mulai terjadi, maka sama halnya seperti mengundang bencana alam.

Pengakuan masyarakat areal izin PT. RPPI tumpang tindih dengan tanah warga, warga juga berpendapat kehadiran PT. RPPI menyebabkan kehilangan mata pencaharian dari hasil hutan. Selain itu, PT. RPPI menjadi ancaman terhadap DAS Krueng Mane dan DAS Pasee sebagai sumber air bagi lahan pertanian warga.

Selain kasus-kasus tersebut, masih banyak kasus kerusakan lingkungan yang tidak diselesaikan dengan baik, seperti kasus tambang galian C, tambang-tambang emas ilegal, Pabrik Kebun Sawit (PKS) dan berbagai macam sektor lain.

“Kerusakan lingkungan kita ini sudah sangat parah. Namun anehnya tidak ada yang menyelesaikan dengan tuntas. Seharusnya setiap aktor yang melakukan perusakan lingkungan harus dihukum dan diberikan efek jera,” ujar Muhammad Nur.

Pengawas Independen

Untuk memaksimalkan pengawasan di sektor lingkungan hidup, dibutuhkan tim pengawas independen. Tim tersebut harus terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat, kalangan elemen sipil dan berbagai pihak lain.

Direktur Jingki Institute Zulfadli Kawon mengatakan apabila hanya berharap pada pemerintah, tidak akan pernah selesai. Apalagi saat sekarang ini banyak perusahaan dibekingi aparat penegak hukum.

“Saat ini banyak perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan dan perkebunan dibekingi aparat penegak hukum. Hal ini menjadi catatan buruk, karena persoalan kerusakan lingkungan tidak pernah diselesaikan dengan tuntas,” ujar Zulfadli.

Zulfadli mengatakan dengan adanya pengawas independen tersebut, tidak ada lagi intervensi dari pihak tertentu yang bertujuan membela pihak perusahaan, sehingga pengawasan tersebut bisa lebih maksimal.

Apabila masih berharap pada pemerintah, tentunya tidak akan pernah selesai, karena sudah pasti pihak perusahaan dan pemerintah memiliki hubungan emosional yang kuat, sehingga lebih memihak kepada perusahaan.

“Coba Anda lihat saja sekarang, sudah berapa banyak pihak perusahaan yang melakukan perusakan lingkungan yang dihukum dan tidak sama sekali. Pihak pemerintah lebih membela perusahaan daripada masyarakat,” tutur Zulfadli.

Korupsi Sumber Daya Alam

Pembukaan lahan baru atau peralihan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan, bukan hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, bahkan sampai ada yang melakukan praktik korupsi di sektor tersebut.

Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh Alfian menyebutkan praktik korupsi di sektor sumber daya alam, sudah mulai terjadi di Aceh dan tentunya pihak penegak hukum harus mampu mengusutnya.

Praktik korupsi yang pernah ditemukan oleh pihaknya, yaitu pada persoalan Hak Guna Usaha (HGU) kebun sawit. Modus yang dilakukan berupa HGU itu masuk dalam kawasan hutan lindung dan secara aturan hal tersebut tidak dibenarkan.

Pihak pemerintah melakukan pemotongan sawit yang telah ditanam itu, namun tidak sampai habis. Sisa kebun sawit yang tidak dipotong tersebut, dikelola oleh pihak ketiga atas nama koperasi dan penghasilan dari kebun itu tidak masuk kas daerah, hanya dinikmati orang-orang tertentu.

“Kasus itu kami temukan di Kabupaten Nagan Raya dan Tamiang. Tentunya perbuatan itu jelas merupakan tindak pidana korupsi. Para pelaku korupsi kini sudah semakin canggih,” ujar Alfian.

Di Provinsi Aceh, potensi paling besar terjadi tindak pidana korupsi pada sektor sumber daya alam, yaitu ada dua polanya, dari proses perizinan hingga masalah gratifikasi.

Dalam proses perizinan, biasanya pihak perusahaan melakukan praktik suap kepada pihak pejabat terkait, dan usai proses perizinan tersebut melakukan gratifikasi dalam berbagai bentuk.

“Dalam konteks Aceh saat ini banyak sekali izin yang dikeluarkan. Setelah selesai perizinan dilakukan perjanjian-perjanjian tertentu berupa gratifikasi dan akan diberikan dalam waktu-waktu tertentu,” kata Alfian.

*Penulis adalah Reporter Tagar

Berita terkait
Kajian Lingkungan Ibu Kota Baru Disorot Siti Nurbaya
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan segera melakukan studi kajian lingkungan hidup untuk dua kabupaten di Kaltim.
Moeldoko Jelaskan Kajian Lingkungan Ibu Kota Baru RI
Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan tak perlu khawatir dengan pemindahan ibu kota Indonesia dari jakarta ke Pulau Kalimantan.
Manfaat Tanaman Lidah Mertua Bagi Lingkungan
Sansevieria (lidah mertua) adalah tanaman hias yang dapat hidup dengan sedikit air dan cahaya matahari, dan banyak manfaat.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.