Jimly Asshiddiqie Sayangkan Pemerintah Enggan Bahas RUU Pemilu

Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menyayangkan sikap pemerintah dan sebagian besar parpol cenderung menolak direvisinya UU Pemilu.
Jimly Asshiddiqie dan Presiden Jokowi. (Foto: Tagar/Instagram @JimlyAs)

Jakarta - Sejumlah pihak mendorong pemerintah dan DPR RI segera melakukan revisi Undang-undang Pemilu. Hal itu demi perbaikan pelaksaanan pemilu dan pilkada. Sayangnya, respons pemerintah dan parpol bersikap berbeda.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menyayangkan sikap pemerintah dan sebagian besar partai politik di Indonesia cenderung menolak direvisinya Undang-undang Pemilu.

Dilihat di akun Twitter @JimlyAs, eks Dewan Pertimbangan Presiden tahun 2010 itu menyampaikan pandangannya.

"Nampaknya mayoritas parpol dan pmerintah cenderung tidak mau revisi UU Pemilu. Ya sudahlah. Yang penting, Capres 2024 perlu diupayakan jangan dua tapi tiga hingga empat, biar ragam aspirasi tersebar untuk akhirnya disatukan oleh Presiden terpilih. Parpol-parpol jangan mau diborong/ngeborong untuk tujuan sempit," tulisnya.

Jimly menyebut, dirinya sudah sejak lama menganjurkan penerapan omnibus law sebagai legislative technique, bukan cuma dipahami untuk investasi bisnis melulu. 

Tapi untuk penataan sistim hukum yang harmonis dan padu secara menyeluruh. Sistim politik yang terpusat di pemilu dan kepartaian sudah semestinya juga ditata ulang secara modern dan padu.

"Sangat disayangkan, pemerintah akhirnya sudah merasa nyaman dengan sistem yang ada sekarang, tidak berminat lagi untuk memperbaiki sistem demokrasi agar lebih berkualitas dan berintegritas dalam jangka panjang," tukasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Agustyati menyatakan sepakat dengan pandangan Prof Jilmy agar revisi UU Pemilu dilakukan oleh pemerintah dan DPR RI.

"Kalau kami memandang tetap perlu ada revisi UU Pemilu. Seperti apa yang disampaikan Prof Jimly di Twitternya itu. Kita perlu memperbaiki sistem demokrasi melalui revisi UU Pemilu," ujar Nisa dihubungi lewat pesan WhatsApp, Minggu, 31 Januari 2021.

Dikatakan, jika ingin mengadirkan banyak pilihan di pilpres, tentu syarat pencalonan tidak bisa seperti sekarang. Syaratnya cukup berat, minimal 20 persen kursi atau 25 persen suara.

"Kalau syaratnya berat ujung-ujungnya hanya ada dua paslon seperti di Pilpres 2014 dan 2019. Sehingga penting ada revisi UU Pemilu," katanya.

Dalam pandangan pihaknya, kata Nisa, tidak masalah kalau masyarakat punya beberapa pilihan saat pilpres. Justru bisa memberikan alternatif pilihan ke masyarakat.

Argumen bahwa presidensialisme tak bergantung terhadap partai dan DPR tak sepenuhnya benar. Terbukti omong kosong

Partai politik pun bisa mengusung calon sendiri tanpa perlu berkoalisi dengan partai lain, sehingga partai dipaksa untuk melakukan kaderisasi menyiapkan kader terbaik untuk dicalonkan di pilpres

Untuk revisi UU Pemilu, dia kemudian menyebut sejumlah isu krusial, antara lain soal desain keserentakan pemilu. Di dalam draft RUU Pemilu saat ini, ada usulan untuk mengubah desain keserentakan menjadi pemilu serentak nasonal dan pemilu serentak daerah.

Baca juga: 

Lalu soal normalisasi jadwal pilkada, sehingga nanti ada Pilkada di 2022 dan 2023. Selain itu juga soal penataan kembali desain kelembagaan penyelenggara pemilu.

Dalam cuitan berbeda di akun Twitter, dilihat Minggu, 31 Januari 2021, peneliti politik Tanah Air, Saiful Mujani menyoroti tentang pemisahan pemilu dan pilkada.

Saiful menyebut, konflik politik karena perbedaan kepentingan adalah normal. Menurut dia, yang harus dilakukan adalah mengelolanya supaya tidak menjadi kekerasan.

Demokrasi adalah satu cara untuk tujuan itu. Pemilu dan pilkada dilakukan serempak adalah bentuk penumpukan konflik dan berisiko.

"Sebaiknya konflik dikelola dengan mendistribusikannya menurut tempat dan waktu sehingga risiko bahaya dapat ditekan dan lebih managable sesuai dengan kemampuan kita," katanya.

Dia jelaskan, pilkada dan pemilu yang tersebar menurut waktu dan tempat, risiko tak terkelolanya lebih rendah seperti pengalaman selama ini. Contoh mutakhir adalah Pilkada 2020 yang sukses besar, berlangsung damai, dan voter turnout tinggi meski di tengah pandemi.

"Pemilu dan Pilpres 2019 adalah pelajaran mahal bagi kita. Kurang terkelola dengan baik. Banyak korban berjatuhan. Ini pelajaran penting, dan jangan diulang," katanya mengingatkan.

Dikatakannya, ide review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyatukan pemilu dan pilpres dan dikabulkan MK, lebih karena alasan politik praktis ketimbang managablity demokrasi. Tidak didasarkan naskah akademik memadai.

"Kepentingan politik praktisnya adalah agar hasil pemilu legislatif tidak menentukan pilpres. Partai kecil bisa mengajukan calon tanpa syarat perolehan suara partai, karena kedua pemilunya dilakukan serempak. Tujuan ini tak tercapai," tukasnya.

Saiful menyebut, DPR tetap membuat undang-undang agar capres didasarakan pada perolehan suara partai dari pemilu sebelumnya. Tresholdnya juga tetap tinggi sehingga hanya koalisi partai yang secara umum bisa mencalonkan.

"Argumen bahwa presidensialisme tak bergantung terhadap partai dan DPR tak sepenuhnya benar. Terbukti omong kosong," tandas dia.

Diketahui sebelumnya, RUU Pemilu yang sebelumnya sudah masuk dalam bagian 33 RUU Program Legislasi Nasional Prioritas yang disampaikan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. []

Berita terkait
Empat Fraksi Walk Out, Akhirnya RUU Pemilu Disahkan
Akhirnya, setelah melalui paripurna yang cukup alot, DPR mensahkan RUU Penyelenggaraan Pemilu menjadi undang-undang.
RUU Pemilu, Demokrat Ikut Gerindra, PKB Ikut Pemerintah
Paripurna DPR untuk mengambil keputusan terhadap RUU Penyelenggaraan Pemilu mulai mengerucut terhadap pilihan ambang batas presidential threshold. 
Demokrat Berharap Paripurna Sahkan RUU Pemilu
Fraksi Partai Demokrat berharap Revisi Undang-Undang (RUU) Pemilu dapat selesai saat pelaksanaan paripurna pada Kamis (20/7) ini.